KPU Ubah Tahapan dan Peraturan Menyusul Putusan MK soal UU Pemilu

KPU akan terlebih dulu melakukan rapat konsultasi ke DPR sebelum mengambil keputusan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 11 Jan 2018, 16:53 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2018, 16:53 WIB
KPU Luncurkan Buku Pemilu
Ketua KPU Arief Budiman memberikan paparan dalam peluncuran buku di Media Center KPU RI, Jakarta, Rabu (13/12). KPU RI meluncurkan Buku dengan judul "Pemilu dan Demokrasi Terkonsolidasi, Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2014." (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersiap mengubah beberapa tahapan dan peraturan Pemilu 2019, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK memutuskan semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilu 2019 harus melewati verifikasi faktual, Kamis (11/1/2018).

"Iya revisi. Tahapannya harus direvisi, PKPU (Peraturan KPU) juga harus direvisi," ucap Ketua KPU Arief Budiman di gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 173 ayat (1) dan (3) menyatakan verifikasi faktual hanya diterapkan pada partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Perlakuan berbeda terkait verifikasi faktual dinilai MK bertentangan dengan konstitusi.

Arief menuturkan, akan melaporkan perkembangan terbaru pada DPR. KPU dan DPR akan menggelar rapat konsultasi. KPU juga akan melaksanakan rapat pleno di internal.

"Kita ambil salinannya, kita rapat pleno, lalu action," ungkap Arief.

Meski demikian, dia enggan berspekulasi putusan MK akan berdampak pada mundurnya jadwal pemilu. Yang jelas, menurut Arief, verifikasi faktual harus dilakukan terlebih dulu.

"Nanti kita hitung dulu. (Yang dilakukan) faktual saja," pungkas pria yang dua periode menjadi komisioner KPU itu.

 

Pertimbangan MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Mahkamah Konstitusi (MK) menyetujui verifikasi faktual diterapkan pada semua partai politik peserta pemilu 2019. Menurut Majelis Hakim Manahan M.P. Sitompul, MK pernah mengeluarkan putusan Nomor 52/PUU-X/2012 pada 29 Agustus 2012.

Putusan itu juga terkait persoalan verifikasi parpol. Dari sana, kata dia, dapat ditarik benang merah untuk menjelaskan prinsip perlakuan pada parpol. "Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu. Sebab, perlakukan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan," ucap Hakim Mahanan dalam persidangan MK, Jakarta, Kamis (1/11/2018).

Meski demikian, lanjut dia, perlakuan berbeda bukanlah sesuatu yang yang tidak selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam ranah kontestasi politik seperti pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 173 ayat (1) dan (3) menyatakan verifikasi faktual hanya diterapkan pada partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Perlakuan berbeda terkait verifikasi faktual dinilai MK bertentangan dengan konstitusi.

"Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan pemilu," ungkap Hakim Manahan.

Selain itu, masih kata dia, dengan dilakukannya verifikasi ke semua parpol, penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu bisa saja terjadi. Sementara, Majelis Hakim I Dewa Gede Palguna menyebut, dengan verifikasi menyeluruh, KPU bisa memastikan tidak ada celah masalah yang bisa jadi persoalan di kemudian hari.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya