HEADLINE: Ramalan Air Laut Naik hingga Bundaran HI pada 2025, Faktanya?

Bahwa air laut dari pesisir Jakarta akan sampai di Bundaran HI itu nyata. Namun, bisakah peristiwa alam itu dicegah?

oleh RinaldoDelvira HutabaratLizsa EgehamRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 23 Nov 2018, 00:09 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2018, 00:09 WIB
Jakarta Banjir
Banjir di Bundaran Indosat, Jakarta. (twitter.com/@SoundRhythm)

Liputan6.com, Jakarta - Prabowo Subianto kembali melempar kabar tentang nasib dunia dan Indonesia di masa depan. Calon presiden nomor urut 2 itu memprediksi sebentar lagi, Bumi akan mengalami defisit air bersih.

"Dunia akan hadapi defisit air bersih pada 2025. Itu enggak lama lagi," kata Prabowo dalam acara Indonesia Economic Forum bertajuk Connecting Indonesia a New Five Year Agenda, di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu 21 November 2018.

Dia mencontohkan, saat ini terjadi kekeringan hebat sebagai dampak dari perubahan iklim di California, Amerika Serikat. Dia pun meminta Indonesia bersiap menghadapi kemungkinan serupa.

Karena, bukan tidak mungkin, Nusantara khususnya Jakarta akan merasakan dampak dari perubahan iklim. Terutama wilayah Jakarta Utara.

Bahkan, dia memperkirakan pada 2025 air dari Jakarta Utara tersebut bisa naik hingga ke kawasan Bundaran HI di Jakarta Pusat.

"Laut di utara Jakarta rising (naik). Diperkirakan air Tanjung Priok pada 2025 akan sampai pada Kempinski, Grand Hyatt, Bundaran HI," jelas Prabowo.

Bukan prediksi yang baru sebenarnya. Namun banyak versi menyebut soal kapan pastinya air akan merendam kawasan Bundaran HI.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga misalnya, punya pendapat lain soal kapan air laut akan sampai ke Jakarta Pusat.

"Perkiraan dari teman-teman ITB yang membuat simulasi hidrologi, seandainya Jakarta tidak melakukan pembenahan radikal dalam tata kelola air dan penanganan banjir, muka pantai Jakarta sudah masuk di daerah Dukuh Atas (tak jauh dari Bundaran HI) pada 2050," ujar Nirwono kepada Liputan6.com, Kamis (22/11/2018) malam.

Dia mengatakan, yang saat ini terjadi adalah penurunan tanah 8-24 cm per tahun, terutama di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.

"Penurunan permukaan tanah arah ke laut itu semakin pesat akibat penyedotan air tanah yang tidak terkendali. Ini membuat rongga-rongga air kosong dan memampat akibat tekanan pembangunan gedung dan lalu-lalang kendaraan berat," jelas Nirwono.

Rongga yang kosong itu, menurut dia kini sudah mulai terisi air laut, di mana intrusi air laut sudah mencapai 14 kilometer dari pesisir pantai ke daratan atau di sekitar Bundaran HI.

"Sementara akibat pemanasan global dan pelelehan es di kutub, permukaan air laut juga naik 4-8 cm per tahun di pesisir pantai utara Jakarta," papar Nirwono.

Infografis Ramalan Air Laut Naik hingga Bundaran HI. (Liputan6.com/Triyasni)

Sementara itu, Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo menegaskan, lembaganya melihat pesisir utara Jakarta masih dalam kondisi normal. Tidak ada perubahan garis pantai yang menyebabkan pergeseran garis pantai masuk ke daratan.

"Tidak ada tanda-tanda, sampai saat ini pasang maksimum juga sampai pada angka normalnya. Jadi tidak anomali, tidak ada ketidaknormalan. Masih normal. Pasang tertinggi maupun surut terendah," jelas Eko kepada Liputan6.com, Kamis (22/11/2018) malam.

Dia mengakui, BMKG memang tidak mempunyai data untuk penurunan tanah yang terjadi. Namun dipastikan, kenaikan permukaan air laut masih dalam batas normal.

"Jadi, jika semuanya berlangsung normal, tidak ada penurunan tanah, tidak ada kenaikan air laut yang melebihi angka normal, maka kejadian tersebut (air laut sampai ke Bundaran HI) tidak akan terjadi," papar Eko.

Kendati demikian, dia sepakat bahwa semua langkah untuk mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah perlu dilakukan.

"Para ilmuwan lebih banyak menjadikan penggunaan air tanah yang berlebihan itu sebagai penyebab penurunan permukaan tanah. Caranya (mencegahnya) dengan menghemat penggunaan air tanah, dan tidak menggunakan secara berlebih-lebihan," ujar Eko.

Bak gayung bersambut, Kepala Dinas Sumber Daya Air Pemprov DKI Teguh Hendrawan mengatakan, pihaknya memang terus membatasi penggunaan air tanah dan memperluas penggunaan air pipa.

Selain itu, pihaknya juga akan mengurangi aliran air yang berujung ke laut. Apabila aliran sungai atau banjir kembali ke laut, hal itu diyakini akan membuat permukaan laut kian meninggi dan memperparah penurunan muka tanah Ibu Kota.

"Air kiriman Bogor, hujan lokal tidak dikelola dan ke laut, Pak Gubernur bilang jangan sampai terjadi lagi. Bagaimana air hujan dikelola sebagai air baku," kata Teguh kepada Liputan6.com, Kamis siang kemarin.

Lantas, masih perlukah pembangunan tanggul laut raksasa yang sudah digagas sejak lama itu?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Menanti Tanggul Laut Raksasa

Proyek Tanggul Laut Muara Baru. Dok Kementerian PUPR.
Proyek Tanggul Laut Muara Baru. Dok Kementerian PUPR.

Salah satu pihak yang sepakat dengan prediksi Prabowo Subianto adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Dia membenarkan ucapan Prabowo soal air laut di utara Jakarta akan mencapai Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada 2025 mendatang.

Basuki mengatakan, pernyataan Prabowo Subianto benar karena berdasarkan data penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara 10 hingga 12 cm per tahun.

"Kan saya pernah bilang dulu 15 tahun lagi (Jakarta) akan tenggelam, atau kita harus bikin tanggul karena tidak ada satu pun sungai di Jakarta yang bisa mengaliri ke laut dengan kecepatan penurunan tanah 10-13 cm per tahun. Jadi, itu betul Pak Prabowo kalau menurut itungan," ujar Basuki di Bogor, Rabu (21/1/2018).

Karena itu, lanjut dia, untuk mengantisipasi serta mencegah kemungkinan itu, pemerintah memunculkan program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau tanggul laut raksasa.

"NCICD itu tanggul laut, untuk protection. Jadi bukan untuk banjir atau untuk apa, tapi penanggulangan lingkungan," jelas Basuki.

Ia menambahkan, kebiasaan masyarakat DKI Jakarta dan gedung-gedung tinggi menggunakan air tanah juga menjadi penyebab utama turunnya permukaan tanah. Oleh karena itu, pembangunan tanggul sudah menjadi kebutuhan yang harus dilakukan agar DKI Jakarta tidak tenggelam.

"Dengan penurunan 10-12 cm per tahun itu 15 tahun lagi. Insyaallah kalau 15 tahun lagi saya masih hidup, itu semua sungai tidak bisa mengalir, makanya harus bikin tanggul," ujar Basuki.

Sementara itu, pengamat tata kota Nirwono Joga menegaskan Pemprov DKI Jakarta harus segera menyusun Rencana Induk Sumber Daya Air (SDA). Hal itu berisikan rencana penanganan banjir, rob, dan genangan. Demikian pula rencana pengelolaan air baku, air bersih, dan rencana pengelolaan air limbah.

"Rencana induk harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Kerja Perangkat Daerah, serta Rencana Anggaran Biaya dan Pendapatan Daerah," ujar Nirwono.

Pada saatnya nanti, lanjut dia, rencana induk itu akan menjadi acuan bagi siapa pun yang memimpin Jakarta ke depan. Dengan adanya rencana induk akan memudahkan pemimpin untuk melanjutkan pekerjaan mencegah Ibu Kota ditenggelamkan air laut.

"Siapa pun Gubernur DKI nantinya wajib melaksanakan, tidak perlu lagi istilah-istilah baru dalam penanganan banjir dan tinggal fokus pada pelaksanaan Rencana Induk SDA itu," pungkas Nirwono.

BMKG pun menyambut baik langkah pemerintah membangun NCICD atau tanggul laut raksasa. Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo mengatakan, pembangunan tanggul raksasa adalah upaya menghemat dengan menampung air hujan sebagai cadangan air bersih yang nantinya bisa digunakan masyarakat.

"Nantinya diharapkan masyarakat tidak serta merta mengambil air tanah secara berlebihan untuk keperluan industri. Waduk itu juga berguna untuk pencegahan banjir ketika saluran air di Ibu Kota tidak mencukupi daya tampungnya," ujar Eko.

Di sisi lain, dia memastikan bahwa saat ini belum perlu dilakukannya relokasi untuk warga yang tinggal di pesisir pantai utara Jakarta. Intinya, warga harus tetap waspada dan menaati aturan yang ada.

"Belum perlu, masih aman. Namun masyarakat juga harus bijak, masyarakat yang tinggal di garis pantai tetap harus mempunyai pengetahuan, kesadaran tentang bahaya yang mengancam. Yang penting, jangan membangun melebihi dari aturan yang sudah ditetapkan negara atau masuk ke garis pantai," tandas Eko.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menolak menanggapi benar atau tidak prediksi pada 2025 kawasan Bundaran HI akan terendam air laut dari pantai utara Jakarta.

"Saya enggak komentar soal ramalan, saya menyiapkan tentang program yang memang sudah direncanakan pemerintah. Itu tugas saya," kata Anies di Jakarta Pusat, Rabu 21 November 2018.

Salah satu antisipasi yang dimaksud Anies adalah langkahnya bersama pemerintah pusat membangun NCID atau tanggul laut raksasa.

"Mengapa di sana dibangun program NCICD dengan pemerintah pusat? Untuk tanggul yang berada di pantai, dan itu akan kami teruskan, kami akan tuntaskan. Harapannya untuk menjaga, mengamankan," ujar dia.

Solusi lain adalah melarang penyedotan air yang menyebabkan turunnya permukaan tanah dan membangun drainase vertikal secara masif.

"Harapannya saat musim penghujan kita membantu mengisi tanah-tanah kita dengan air yang cukup," kata Anies.

Tanah Jakarta yang Terus Bergerak

Drainase Buruk, Banjir Rob Genangi Kawasan Pelabuhan Tanjung Emas
Warga menaiki becak untuk melintasi banjir rob di jalan Yos Sudarso Semarang di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas (24/4). Banjir rob ini terjadi karena dipicu oleh salah satunya sistem drainase yang masih kurang baik. (Liputan6.com/Gholib)

Turunnya permukaan tanah serta banjir besar yang akan merendam Ibu Kota bukanlah ramalan. Bahkan bagi Jakarta, banjir sejatinya bukanlah bencana, melainkan 'teman dekat' karena air memang tak pernah menjauh dari kota yang dulunya bernama Batavia ini.

Sungai yang mengalir dari hulu serta permukaan tanah yang terus menurun, telah membuat air tak mau menjauh dari Jakarta. Bahkan, akhir tahun lalu Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan kecepatan penurunan muka tanah yang terjadi akan membuat Jakarta menghadapi banjir besar pada 2030.

"Kalau tidak salah (penurunan di pesisir Jakarta) 12 cm per tahun, sedangkan Jakarta ini kalau tidak melakukan apa-apa, kita ada penurunan muka tanah kira-kira 7 cm per tahun. Kalau tahun 2030 tidak dilakukan apa-apa maka Jakarta akan kena banjir dari dua arah," ujar Bambang saat meninjau proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Kalibaru, Jakarta Utara, Jumat 8 Desember 2017.

Kecepatan penurunan permukaan tanah tersebut, menurut dia, kini tak bisa lagi ditanggulangi oleh tingginya tanggul pengaman pantai. Hal tersebut terbukti di wilayah Muara Baru, Jakarta Utara yang wilayahnya terkena limpahan banjir rob.

"Insiden di Muara Baru, itu terjadi karena meskipun tanggulnya sudah cukup tinggi, kira-kira 2,4 meter, tapi ternyata tinggi air lautnya 2,5 meter. Sehingga meskipun sudah ada tanggul, tetap airnya masuk," papar Bambang.

Data ini bersesuaian dengan hasil riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jakarta Utara. Bahkan, hasil riset ini lebih mencengangkan, di mana setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai hingga 25 cm.

"Ini adalah salah satu penurunan tanah terbesar di dunia, karena kita bayangkan dalam 10 tahun penurunannya mencapai 2,5 meter," kata Heri Andreas, salah satu doktor di bidang geodesi ITB yang terlibat dalam penelitian ini seperti dilansir BBC, pertengahan Agustus lalu.

Heri menekankan bahwa peluang Jakarta untuk tenggelam, tidak mengada-ada. Ada data yang berbicara. "Jika tidak dilakukan apa-apa, maka pada tahun 2050 sekitar 95 persen wilayah Jakarta Utara sudah berada di bawah (permukaan) laut," ujarnya.

Penurunan tanah tidak hanya terjadi di Jakarta Utara, tetapi di seluruh DKI Jakarta. Jakarta Barat turun sampai 15 cm per tahun. Jakarta Timur 10 cm setiap tahunnya. Penurunan tanah sedalam 2 cm terjadi di Jakarta Pusat. Sementara, di Jakarta Selatan penurunannya sekitar 1 cm per tahun.

Penurunan itu disebabkan oleh banyak faktor. Yaitu faktor alami seperti adanya pengaruh dari proses geologi bumi, kemudian faktor pengambilan air tanah serta faktor massa bangunan.

Namun, menurut Heri penyebab utama penurunan tanah ini adalah karena pengambilan air-tanah dalam yang berlebihan. Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak di kedalaman sekitar 80 sampai 300 meter di bawah permukaan tanah.

"80-90 persen penyebab penurunan tanah karena itu. Kalau pengambilan air-tanah dalam dihentikan, penurunan permukaan tanah juga berhenti," tegas dia.

Penghentian eksploitasi air tanah, menurut Heri, harus segera dilakukan. Sebab gejala penurunan tanah semakin memburuk dan tidak lagi sulit dicari, khususnya di Jakarta Utara.

Di Muara Baru, sebuah gedung dua lantai yang berdiri sejak tahun 1970-an, hampir menjadi gedung satu lantai. Sekitar tiga perempat lantai dasar gedung telah terbenam masuk ke tanah dan digenangi air.

Dampak juga dirasakan nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara. Mahardi, yang telah melaut dari pelabuhan itu sejak 14 tahun lalu, menuturkan bagaimana tanggul yang dibangun dengan tinggi sekitar satu meter, tidak mampu lagi menahan air laut ketika pasang terjadi.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sadar bahwa penurunan permukaan tanah di Jakarta karena pengambilan air tanah dalam yang berlebihan. Sejak pertengahan Maret 2018, Anies dan timnya menginspeksi puluhan gedung, dimulai dari gedung-gedung bertingkat di sepanjang jalan protokol Sudirman dan Thamrin.

Dari inspeksi awal itu, Anies menemukan, 56 gedung memiliki sumur pengambilan air tanah dengan kedalaman lebih 200 meter. Sebanyak 33 di antaranya ilegal, tidak memiliki izin atau sudah habis masa berlakunya. Selain itu, dari total 80 gedung, 37 gedung belum memiliki sumur resapan, atau sumur resapannya tidak berfungsi.

Namun, belum ada sanksi bagi mereka yang melanggar. Padahal, perlu adanya ketegasan agar penggunaan air tanah dalam tak dilakukan sesukanya.

Heri menyarankan Anies untuk meniru apa yang dilakukan Tokyo. Ibu kota Jepang itu sebelum 1975 juga mengalami masalah penurunan permukaan tanah.

"Tokyo benar-benar menghentikan penggunaan air tanah. Tidak ada lagi gedung yang diperbolehkan mengambil air tanah," ujar dia.

Dengan menerapkan kebijakan itu sejak 1975, penurunan permukaan tanah di Tokyo pun berhenti. Berbeda dengan Jakarta, hingga kini tanahnya terus bergerak turun, ketika air bergerak naik akibat pemanasan global.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya