Hukuman Mati Sumbang Angka Golput Pemilu 2019

Para pembela kemanusiaan merasa kecewa karena pada pemerintahan Jokowi jumlah eksekusi hukuman mati begitu banyak.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Apr 2019, 13:12 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2019, 13:12 WIB
Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati
Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) Ricky Gunawan mengatakan, praktik hukuman mati pada era kepemimpinan Presiden Jokowi menyumbang angka golput pada Pilpres 2019. Menurut Ricky, para pembela kemanusiaan merasa kecewa karena pada pemerintahan Jokowi jumlah eksekusi hukuman mati begitu banyak.

"Pada era kepemimpinan SBY yang dua periode saja tidak sebanyak di era Jokowi," kata Ricky di Jakarta ditulis Kamis (11/4/2019).

Bila Jokowi hendak memperbaiki citra dirinya agar angka golput bisa ditekan, ia menyarankan Pemerintah Jokowi mendeklarasikan moratorium hukuman mati. "Penghapusan hukuman mati akan menjadi legacy (warisan) bagi Pemerintahan Jokowi," ujar Ricky.

Selain itu, dirinya juga menyarankan beberapa perbaikan yang harus dilakukan Pemerintah Jokowi, seperti membenahi sistem peradilan di Indonesia supaya bersih dan adil.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Kompas Moral

Ilustrasi eksekusi penembakan
Ilustrasi eksekusi mati

Direktur LBH Masyarakat itu menjelaskan jika Indonesia terus menerus melakukan vonis mati, tapi tidak diimbangi dengan eksekusinya, maka lambat laun terpidana mati itu akan menumpuk.

"Akan diapakan jika ada begitu banyak terpidana mati? Dieksekusi secara massal tidak mungkin," kata Ricky.

Ia juga melihat bahwa tidak ada masyarakat yang mempercayai bahwa kondisi sistem peradilan kita dalam keadaan baik-baik saja.

"Apakah pantas jika sistem hukum yang cacat itu diberi wewenang untuk menghukum mati?" ucap Ricky.

Bagi Ricky, kepemimpinan yang kuat itu bukan menggandeng militer atau mengeberak meja, melainkan kepemimpinan yang menggunakan kemanusiaan dan kompas moral dalam setiap tindakannya.

 

Tak Kurangi Kejahatan

Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati
Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati

Sementara itu, Amnesty Internasional menegaskan penerapan hukuman mati tidak mengurangi jumlah kejahatan.

"Banyak pelaku vonis mati sebelum (ia) dieksekusi tetap melanjutkan operasi peredaran narkotika di Lapas," kata kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia.

Menurut Usman, jika alasan hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera, maka efek itu hanya berlaku kepada pelaku karena sudah meninggal.

"Mungkin efek getar yang dimaksud. Efek getar adalah efek yang ditimbulkan dari sebuah penghukuman kepada masyarakat yang sebenarnya tidak melakukan kejahatan, tapi dengan hukuman itu masyarakat diharapkan takut kalau melakukanya," ujar Usman.

Usman mencontohkan dalam kasus narkotika. Ia mengutip data Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menunjukan tren kenaikan kasus narkoba di Indonesia sebagai negara yang memberlakukan hukuman mati kepada bandar dan pengedar narkoba.

"Angka kejahatan narkotika justru naik, dari 600-an (kasus) di 2015, 800-an di tahun 2016, 2017 mencapai 900-an sampai 2018 di atas seribu (kasus)," jelas Usman.

Usman menilai bahwa hal itu menunjukan tidak adanya efek gentar bagi para pelaku, meskipun diancam dengan hukuman mati.

Menurut Usman masih ada hukuman lain yang bisa menggantikan hukuman mati, misalnya hukuman seumur hidup. Namun begitu, hal itu juga perlu diperkuat dengan perbaikan tata kelola Lapas di Indonesia.

"Harus diikuti dengan perbaikan lapas supaya tidak bisa melanjutkan bisnisnya dari dalam Lapas. Apalagi seperti beberapa kasus bandar narkotika yang mengadakan pesta seks, melakukan pengendalian bisnis narkotika dari dalam sel," tegas Usman.

Bukan hanya itu, Usman melihat bahwa alternatif hukuman mati itu masih banyak, seperti hukuman kurungan selama-lamanya.

"Sejauh itu adil dan setimpal," kata Usman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya