Liputan6.com, Jakarta Porter atau kuli panggul ramai dijumpai kala musim mudik tiba. Tugasnya mulia, membantu para pemudik yang tak jarang membawa tas dan buah tangan dari kampung halaman yang banyak dan berat.
Ongkos jasa mereka memang tak seberapa. Tak jarang mereka hanya dibayar senyum oleh pelanggan yang telah dibantu. Atau pula mendapat omelan karena sedikit kesalahan.
Kisah para kuli panggul, utamanya semasa Lebaran, coba Tim Liputan6.com rangkum.
Advertisement
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
1. Cerita Kakek Pendi, Mengabdi Jadi Porter 30 Tahun Tanpa Henti
Pendi (70) tak lagi muda, namun masih kuat mengangkat koper maupun berbagai barang para penumpang ke lantai tiga stasiun. Dengan sigap pria asal Riau ini menawarkan jasanya kepada setiap penumpang yang akan memasuki stasiun maupun yang keluar dari Stasiun Gambir menuju parkiran.
Pendi telah bekerja sebagai porter sejak 30 tahun lalu. Dia berkisah, saat itu rel kereta masih di bawah, bukan di lantai tiga seperti saat ini.
"Sudah 30 tahun, sejak kereta masih di bawah, (kelas) ekonomi," ujarnya.
Pendi mengatakan, selain dia ada porter lainnya yang telah puluhan tahun bekerja dan usianya hampir sama dengan dirinya. Namun hari ini, rekannya tersebut tengah izin.
Pendi tinggal di Depok. Setiap hari dia berangkat dan pulang kerja menggunakan KRL. Dia berjalan kaki dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Gambir, dan begitu juga sebaliknya saat pulang kerja.
Menurutnya, karena sering jalan kaki itulah yang membuatnya tetap bugar sampai saat ini. Pendi mulai bekerja pukul 08.00 sampai 18.00 WIB.
Advertisement
2. Kisah Rohim, Porter Peduli Kebersihan di Stasiun Gambir
Kebersihan Stasiun Gambir juga tak lepas dari peran para porter. Rohim salah satu porter di Stasiun Gambir mengatakan, setiap hari selama tiga kali para porter bergotong royong membersihkan beberapa area di kawasan stasiun. Ada tiga sif gotong royong kebersihan ini yaitu pagi, malam (selepas Maghrib) dan pukul 23.00.
Bagi Rohim dkk, ini adalah bentuk kepedulian mereka dengan tempat yang telah menjadi ladang mata pencaharian mereka ini.
"Ini atas kesadaran kita. Ini kan ibaratnya sawah kita, kita nyari makan di sini, makanya kita harus ikutan merawat dan menjaga," ujar Rohim.
"Kami punya prinsip lihat sampah langsung pungut. Kita tanggap. Enggak nunggu cleaning service. Ibaratnya ada rumput di sawah kita ambil (cabut)," sambung dia.
Tak hanya perihal kebersihan. Para porter pun akan sigap dan tanggap membantu para penumpang jika dibutuhkan pertolongan.
Tiap bulan para porter mengeluarkan iuran Rp 15 ribu per orang. Iuran ini dialokasikan untuk membeli peralatan kebersihan. Selain itu juga dianggarkan untuk para porter yang membutuhkan bantuan.
4. Pengakuan Tarno, Porter Gambir Kerja Ikhlas Lebih dari 12 Jam
Tarno seorang porter atau pengangkut barang penumpang di Stasiun Gambir sudah sering merasakan keluh kesah dari para penumpang. Laki-laki paruh baya tersebut sudah bekerja selama 30 tahun jadi pengangkut barang. Setiap penumpang dihadapinya dengan lapang dada dan tidak mengeluh sama sekali.
Mulai dari penumpang yang cerewet, hingga ramah. Bekerja kurang lebih 12 jam, Tarno selalu bersyukur. Tidak ada keluhan. Setiap ada penumpang yang turun dari mobil dia langsung sigap untuk membantu dan menawarkan.
Asal bisa membantu dan mendapatkan uang untuk kehidupan dia jalani dengan suka cita. Sapa dan senyum selalu diutamakan kepada para penumpang yang membawa barang banyak.
"Sukanya kalau ketemu penumpang yang enak, kalau enggak sukanya ya namanya ngelayanin. Kadang ngelayanin orang cerewet. Sifatnya sama, ya disyukuri aja," kata Tarno ketika ditemui merdeka.com di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (7/6).
Meski lelaki asal Purwokerto ini tidak mudik usai lebaran. Hasil yang didapat pun kali ini disebutnya telah cukup untuk bisa membawa oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman.
Advertisement