Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Dedi Mulyadi baru-baru ini menggelar apel siaga Satgas Anti-Premanisme di kawasan industri untuk menanggulangi keresahan masyarakat terkait aksi ormas yang meminta Tunjangan Hari Raya (THR) secara paksa.
Dalam acara tersebut, Dedi menekankan pentingnya perlindungan bagi masyarakat, termasuk petani, pedagang, buruh, dan pengusaha dari praktik premanisme yang meresahkan. Menurut Dedi, tindakan pemalakan sering kali terjadi di berbagai lokasi, mulai dari jalan raya hingga kawasan industri.
Advertisement
Baca Juga
"Yang disebut warga ini masyarakat biasa, petani, pedagang, buruh, hingga pengusaha. Semuanya harus dilindungi karena premanisme itu berlangsung mulai dari pasar, jalan, sampai ke kawasan industri," ujarnya.
Advertisement
Satgas Anti-Premanisme, yang terdiri dari unsur TNI-Polri dan Polisi Militer, telah beroperasi untuk memastikan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Dedi menyebutkan bahwa Satgas ini telah berhasil menangkap lebih dari 20 pelaku aksi premanisme di berbagai daerah seperti Bekasi dan Subang.
"Jadi sekarang Satgas sudah beroperasi, bukan hanya sekadar tahap imbauan, tetapi juga penindakan," tambahnya.
Bupati Karawang Aep Syaepuloh mengatakan saat ini operasional Satgas masih berjalan secara mandiri dan swadaya.
"Satgas sementara operasionalnya mandiri dulu, swadaya dulu kami, supaya bisa memberikan yang terbaik," katanya.
Aep mengaku belum ada regulasi terkait dengan pembentukan dan beroperasinya Satgas Anti-Premanisme di Karawang.
Ia memastikan tanpa menunggu regulasi lebih lanjut, sesuai instruksi Gubernur Dedi Mulyadi Satgas akan terus beroperasi untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat. Meski begitu pihaknya akan segera mengurus regulasi tersebut.
Hak Ormas atas THR dan Tindakan Meminta Secara Paksa
Meskipun banyak ormas meminta THR, penting untuk dicatat bahwa anggota ormas tidak berhak atas THR tersebut. Hal ini karena THR keagamaan hanya diberikan kepada pekerja atau buruh yang memiliki hubungan kerja formal dengan pengusaha, seperti Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Anggota ormas umumnya tidak memiliki hubungan kerja formal, sehingga tidak memiliki dasar hukum untuk meminta THR.
Namun, dalam beberapa kasus, ormas telah meminta THR kepada perusahaan dengan cara yang memaksa dan mengancam. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran hukum. Meminta THR dengan paksaan dan intimidasi termasuk dalam kategori pemerasan, yang dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP dan Pasal 482 UU 1/2023.
Lebih jauh, tindakan kekerasan atau penggangguan ketertiban umum yang dilakukan oleh anggota ormas dalam rangka meminta THR juga melanggar Pasal 59 Perppu Ormas. Tindakan ini dapat berujung pada sanksi administratif dan/atau pidana, yang bertentangan dengan esensi ormas sebagai ruang artikulasi dan pemberdayaan masyarakat.
Advertisement
Tanggapan Pemerintah dan Pihak Terkait
Pemerintah, termasuk Menko PMK dan Kementerian Agama, telah memberikan penolakan tegas terhadap praktik ormas yang meminta THR dengan cara memaksa. Pernyataan Wamenag yang sebelumnya dianggap memaklumi praktik tersebut telah diklarifikasi sebagai pandangan pribadi dan bukan sikap resmi Kementerian Agama.
Kepolisian juga menghimbau masyarakat untuk melaporkan tindakan ormas yang meminta THR secara paksa kepada pihak berwajib melalui jalur resmi. DPR dan berbagai pihak mendesak pemerintah untuk bertindak tegas dalam menangani masalah ini dan memberikan solusi yang tuntas, bukan hanya imbauan. Beberapa daerah bahkan telah mengeluarkan larangan resmi untuk ormas meminta THR.
Beberapa pengamat menilai praktik ini disebabkan oleh kurangnya penghasilan tetap bagi sebagian anggota ormas dan tingginya angka pengangguran. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengatasi akar masalah ini agar tidak terus berulang.
Infografis
Advertisement
