Mengenal Tradisi Unik Betawi yang Sirna Tergerus Zaman

Menurut aktivis Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, tradisi Betawi yang raib itu menyelimuti beberapa jenis adat. Apa saja?

oleh Muhammad Ali diperbarui 22 Jun 2019, 10:35 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2019, 10:35 WIB
Warna-warni Mural Betawi di Kampung Pitung
Mural pendekar Pitung terlihat di Kampung Pitung, Marunda, Jakarta, Senin (2/7). Mural-mural bernuansa Betawi kini menghiasi destinasi wisata rumah dan masjid Pitung. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ragam tradisi unik dimiliki oleh masyarakat Betawi. Kebiasaan ataupun adat istiadat itu pun terus mengalir ke anak cucu mereka agar dapat melestarikannya di masa mendatang.

Namun seiring perkembangan zaman, ragam tradisi itu perlahan mulai tergerus. Masyarakat Betawi pun meninggalkannya hingga kini akhirnya menjadi sirna alias raib.

Menurut aktivis Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, tradisi yang raib itu menyelimuti beberapa jenis adat. Mulai dari seni hingga ritual terkait dengan sosio-kultural.

"Kalau dari musik, ada sampyong yang udah enggak ada," ujar Yahya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, musik sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibanding musik Betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari nama salah satu alat musik, yaitu sampyong, semacam kordofan bambu berdawai dua utas.

Orkes ini selalu mengiringi tari uncul dan permainan ujungan, yakni permainan yang terdiri dari dua pasangan laki-laki yang saling memukul betis lawannya dengan tongkat rotan sepanjang 80 cm.

Kesenian musik sampyong ini telah berkembang sejak masa Kerajaan Salakanagara.

Selain itu, kata Yahya, ada juga musik gambang kromong lagu dalam yang tinggal kenangan. Dalam jenisnya, jenis gambang kromong terbagi atas lagu dalem, lagu sayur, dan modern.

"Gambang kromong dalem itu semacam yang klasiknya. Nah kalau yang modern, kayak musik yang dibawain sama Haji Benyamin Suaeb," jelas dia.

Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong merupakan lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya.

Kesenian lainnya yang tak ditemui saat ini, yaitu seni ubrug. Seni itu hilang seiring minimnya sosok yang mampu menjadi lakon pertunjukan tersebut.

"Tradisi yang sudah hilang juga adalah seni ubrug. Sekarang seni pertunjukan ini sudah bermetamorfosis ke seni topeng. Udah enggak ada yang main, tapi kostumnya masih ada," ungkap ayah satu putri ini.

Ubrug Betawi biasa tampil di berbagai tempat seperti panggung hajatan, kampung–kampung, pasar, maupun stasiun. Untuk menarik penonton, pemain ubrug Betawi biasanya membunyikan terompet, rebana biang, dan gendang di sepanjang perjalanan. Nantinya, para penonton memberikan saweran usai menikmati pertunjukan tersebut.

Dalam pagelaran itu, para lakon biasanya melontarkan banyolan khas Betawi yang mengundang tawa penonton. Humor yang dibawakan pemain seringkali bersifat kritik sosial dan sindiran terhadap seseorang atau sekelompok yang dianggap menyimpang adat kebiasaan yang berlaku.

Namun hal pokok yang ada pada teater ubrug Betawi hanyalah sebuah pertunjukan yang menghibur di mana jalur cerita adalah hal yang kurang begitu diperhitungkan.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Piara Pengantin

Mengintip Proses Pembuatan Batik Betawi di Bekasi
Pengrajin melakukan proses pencantingan saat membuat kain batik Betawi di rumah produksi Batik Seraci, Kampung Kebon Kelapa, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (2/10). Kain Batik Seraci dipasarkan hingga ke Jepang dan Eropa. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sedangkan dari segi adat pernikahan, Betawi memiliki tradisi yang unik. Kata Yahya, sebelum proses pernikahan digelar, calon mempelai pengantin wanita harus menjalani ritual khusus agar proses acara nantinya dapat berjalan dengan baik.

"Di pernikahan, ada yang namanya tradisi piara pengantin," ungkap dia.

Piara pengantin itu, ucap dia, dilakukan oleh orang khusus yang dianggap memiliki keistimewaan. Dia akan melakukan perawatan sang calon pengantin dalam beberapa hari hingga acara berlangsung.

"Jadi dua minggu sebelum akad, pengantin wanita itu dirawat, dipiara," ujar dia.

Dalam proses pingit itu, sang calon mempelai wanita akan menjalani sejumlah terapi kecantikan. Seperti lulur, memapas gigi, juga ada rambut pengantin yang dihilangkan. "Itu ada jampi-jampinya," ujar dia.

Selain itu, ada pula pantangan yang harus ditaati selama proses pingit itu. Sang calon mempelai wanita diminta tidak mengonsumi makanan yang mengandung minyak serta tidak diperkenankan kulitnya terpapar sinar matahari pada jam tertentu.

"Ada pantangannya juga, ada. Misal enggak boleh makan makanan yang digoreng. Juga tidak boleh kena matahari pada jam tertentu, agar tidak mempengaruhi pori-pori kulit yang sudah diterapi," ujar dia.

Setelah proses itu dijalani secara sempurna, sang pengantin wanita selanjutnya siap untuk menjalani akad nikah. Kesempatan itu menjadi momen berharga yang tak dapat dilupakan.

"Pas acaranya, pengantin itu bagaikan raja dan ratu. Baunya harum," ujar dia.

 

Sebab Tradisi Raib

Melihat Pembangunan Kampung Betawi di Setu Babakan
Pekerja menyelesaikan pembuatan rumah Betawi di tengah Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (10/3). Pulau buatan yang berada di tengah Setu Babakan ini nantinya akan disulap menjadi destinasi wisata budaya Betawi. (merdeka.com/Arie Basuki)

Menurut Yahya, banyak faktor yang menjadi penyebab hilangnya tradisi unik tersebut. Di antaranya minimnya pengenalan tradisi ini terhadap keturunan masyarakat Betawi.

"Tradisi itu diwariskan oleh para penduhulu kita secara alamiah. Biasanya kalau bapaknya tampil, anaknya ikut dan menyaksikan. Dan itu menjadi ajang transfer ilmu secara alami," jelas Yahya.

Tak hanya itu, penyebab lain ialah kurangnya perhatian seniman Betawi terhadap kearifan lokal yang sudah lama terjaga. Mereka menjadi lupa tatkala telah menjadi publik figur.

"Ada beberapa seniman yang dimanjakan media. Seniman muda misalnya yang tenar lewat sinetron. Itu membuat mereka besar kepala," ujar pria kelahiran 56 tahun lalu itu.

Namun begitu, dia meyakini kesenian tradisional mempunyai kemampuan dalam mempertahankan jati dirinya. Bahkan tradisi yang tenggelam itu akan kembali muncul dengan konsep yang berbeda.

"Tradisi yang sudah meninggal suatu saat muncul dengan chasing berbeda. Tapi kita tidak boleh tinggal diam melihat kondisi itu terjadi," ucap dia.

Karena itu, dia meminta kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar dapat memperhatikan tradisi yang ada. Jangan sampai kearifan lokal itu hilang tergerus hanya sebab tak adanya kepedulian dari semua pihak.

"Semua masyarakat Jakarta, siapa pun itu harus dikenalkan kembali tradisi itu," pinta pria yang pernah menjadi wartawan majalah ini.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya