KPK: Suap Impor Pangan Akibat Kebijakan Kementan dan Kemendag Tidak Sinkron

KPK menilai ketidaksinkronan itu membuka celah terjadinya praktik perdagangan yang berpengaruh terhadap penentuan kuota.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Agu 2019, 08:49 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2019, 08:49 WIB
Laode
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberikan keterangan di gedung KPK. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - KPK menilai berulangnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) di sektor impor pangan adalah karena dua kementerian tidak punya kebijakan yang sinkron di bidang pangan.

"Titik lemahnya itu sebenarnya, kan sebenarnya itu kan ada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Tetapi ini kelihatannya antara Kementerian Perdagangan dan Pertanian tidak selalu sinkron, jadi misalnya seperti kemarin saat ada impor beras Kementerian Pertanian mengatakan beras banyak tapi masih saja di impor, akhirnya Kepala Bulog mengeluh, mau ditaruh di mana impor ini karena gudangnya sudah penuh?" kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung Lemhanas Jakarta, Jumat 9 Agustus 2019.

Laode menyampaikan hal ini seusai KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra (INY) bersama lima orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin impor bawang putih Tahun 2019.

I Nyoman diduga menerima "fee" sebesar Rp 2 miliar dari pemilik PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung agar Afung mendapat kuota impor bawang putih.

"Fee" yang disepakati oleh I Nyoman adalah Rp 1.700 sampai Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor atau Rp 3,6 miliar untuk 20 ribu ton bawang putih.

Namun untuk memenuhi "fee" tersebut, Afung meminjam dari Zulfikar namun baru terealisasi Rp 2,1 miliar dan ditransfer ke rekening rekan Afung yaitu Doddy Wahyudi lalu ditransfer ke rekening Nyoman sebesar Rp 2 miliar.

"Dan itu aneh sebenarnya, masa pemerintahan tidak bisa berkoordinasi dengan baik? Ya seperti itu berulang, dan kita berharap sebenarnya ini disetop, tapi sampai sekarang tidak juga," ungkap Laode seperti dikutip dari Antara.

Kasus impor pangan sebelumnya juga pernah terjadi pada 2013 lalu dalam perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian yang menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq serta pada 2016 ada kasus suap terkait dengan pengurusan kuota gula impor yang melibatkan Ketua DPD saat itu Irman Gusman.

"Dulu kita pernah impor sapi, sekarang bawang, sebelumnya dulu sapi juga. Ini kelihatan modusnya masih sama. Cuma modus bergeraknya beda-beda. Jadi kita harus menyesuaikan diri untuk hal itu," tambah Laode.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Celah Praktik Kotor

Laode
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dan Juri Bicara KPK Febri Diansyah memberi keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ia pun meminta agar pemerintah dapat tegas untuk menghentikan praktik korupsi tersebut agar penentuan kuota kuota tidak selalu menjadi lahan untuk suap-menyuap.

"Karena hampir semua komoditas terjadi, sehingga di pasar masih kelebihan karena mereka ingin mendapat keuntungan ekonomi," ungkap Laode.

Ketidaksinkronan itu juga membuka celah terjadinya praktik perdagangan pengaruh (trading in influence) untuk penentuan kuota.

"Perdagangan pengaruh juga akhirnya dimanfaatkan karena selisih harga komoditi di luar negeri dengan dalam negeri itu tinggi sekali. Seperti bawang putih harganya satu kilo di sini berapa? Kalau di China murah sekali, beras juga begitu harga beras itu setengahnya harga per kilogram di luar negeri dengan dalam negeri," jelas Laode.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya