Pakar Hukum Anggap GBHN Tidak Bertentangan dengan Sistem Presidensial

Paka hukum tata negara dari Unpad berpendapat, GBHN bisa dibangkitkan kembali tanpa harus bertentangan dengan sistem presidensial.

oleh Yopi Makdori diperbarui 21 Agu 2019, 11:34 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2019, 11:34 WIB
Jokowi Sampaikan Pidato Kenegaraan
Suasana sidang Tahunan MPR Tahun 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Sidang tersebut beragendakan penyampaian pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Selama ini upaya untuk membangkitkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kerap tersandung dengan ketakutan akan reinkarnasi sistem Orde Baru. Dalam rezim orde baru, rakyat tidak berhak memilih presidennya secara langsung. Pemilihan presiden diwakilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad), Mei Susanto menyebut, ada ketakutan bertubrukannya GBHN dengan sistem presidensial.

"Sistem yang dulu mewajibkan pertanggungjawaban presiden kepada MPR karena GBHN ditetapkan oleh MPR. Dan itu juga karena terpisah dengan Undang Undang Dasar," ucap Susanto kepada Liputan6.com, Selasa (20/8/2019).

Susanto mengungkapkan, dalam penelitian yang pernah ia publikasi, GBHN bisa dibangkitkan kembali tanpa harus bertentangan dengan sistem presidensial, yakni dengan memasukkannya ke dalam konstitusi, atau Undang-Undang Dasar 1945.

"Saya temukan di beberapa negara, seperti di India, di Filipina itu ada yang namanya directive principal state policy (DPSP). Jadi DPSP ini semacam haluan negara juga," kata Susanto.

DPSP tersebut, lanjut Susanto, masuk ke dalam konstitusi negara-negara itu. Meski negara itu menggunakan sistem presidensial seperti Indonesia.

"Ketika (GBHN) ditaruh di undang-undang dasar, maka seluruh lembaga negara, tidak hanya presiden, tapi juga lembaga eksekutif dan yudikatif itu harus melaksanakan DPSP (GBHN)," papar Susanto.

Atau dengan kata lain, lanjutnya, seluruh unsur milik negara wajib menjalankan GBHN ini, bilamana GBHN disematkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tak Bertanggung Jawab ke MPR

Pidato Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama pimpinan MPR dalam rangka Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/7/2019). Sidang beragendakan penyampaian pidato kenegaraan Presiden dalam rangka HUT Ke-74 Republik Indonesia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Karena bukan dihasilkan oleh TAP MPR, menurut Susanto, presiden tidak ada kewajiban untuk bertanggung jawab dihadapan MPR. Begitupun kepada DPR, hal ini dikarenakan sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah presidensial.

Susanto hanya mengajukan opsi bahwa rakyatlah sebagai penilai dari aplikasi GBHN. Atau dengan kata lain, seluruh lembaga negara itu bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat.

"Diharapkan itu menjadi evaluasi bagi presiden bahwa jika anda tidak bisa memenuhi haluan negara dalam undang-undang dasar kita, sekaligus jika ia akan mencalonkan kembali, rakyat tak usah memilihnya. Karena dianggap telah gagal," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya