Liputan6.com, Jakarta Anggota Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono meyakini amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 untuk memberi kewenangan MPR menetapkan GBHN tidak akan melebar kemana-mana. Sebab, untuk melakukan amandemen UUD sudah diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 diatur bahwa untuk amandemen UUD harus disebutkan secara jelas pasal yang akan diubah, alasan perubahan pasal, dan bagaimana perumusan perubahan pasal.
Baca Juga
"Jadi tidak mungkin melebar kemana-mana," ucapnya ketika berbicara sebagai narasumber dalam diskusi panel bertema "Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945" di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (10/9/2019). Diskusi panel yang digelar MPR ini merupakan kegiatan dalam Festival Konstitusi dan Anti Korupsi yang berlangsung di UGM, 10 -11 September 2019. Narasumber lain dalam diskusi ini adalah Prof Dr Kaelan (Guru Besar Filsafat UGM) dan Prof Dr Ratno Lukito (Guri Besar UIN Sunan Kalijaga).
Advertisement
Apakah mungkin amandemen UUD untuk memberi kewenangan MPR menetapkan GBHN? "Tergantung kekuatan di MPR. Kalau DPR dengan jumlah anggota 575 orang setuju MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN, ya pasti bisa," jawab Bambang.
"Semua fraksi di MPR sudah setuju dengan menghidupkan kembali GBHN. Sekarang tergantung pada pimpinan partai. Kalau pimpinan partai oke maka sudah selesai," imbuhnya.
Terkait GBHN Bambang mengungkapkan MPR sudah lama mengkaji reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN. Tapi bukan berarti seperti GBHN pada masa Orde Baru. "Istilah GBHN ini menimbulkan kesalahpahaman bahwa kita akan mengembalikan GBHN seperti pada masa Orde Baru. Padahal tidak seperti itu," ujarnya.
Karena kesalahpahaman itu, kata Bambang, ada ahli hukum yang mengatakan bahwa dengan GBHN maka kembali ke masa Orde Baru, pemerintah anti demokrasi dan otoriter. Ada juga pengamat politik yang menyebut GBHN sebagai haluan fatamorgana.
"Ada persepsi GBHN seperti masa Orde Baru. Akan ada evaluasi pelaksanaan GBHN setiap lima tahun dan evaluasi terhadap presiden. Padahal bukan seperti itu," kata anggota DPD dari Jawa Tengah ini.
Bambang menjelaskan di MPR masih ada perbedaan pendapat apakah GBHN diatur melalui Ketetapan MPR atau melalui Undang-Undang. Akhirnya diputuskan bahwa Haluan Negara yang sifatnya makro dan berjangka panjang serta menyangkut seluruh aspek kehidupan bernegara ditetapkan melalui Ketetapan MPR. "Yang diputuskan MPR adalah Haluan Negara," tuturnya.
Haluan Negara itu isinya sangat singkat hanya sekitar 10 halaman. Isi Haluan Negara adalah program jangka panjang 25 atau 50 tahun yang akan datang dan bersifat mengikat semua lembaga negara. Haluan Negara itu akan menjadi landasan haluan pembangunan seperti GBHN pada masa lalu atau pembangunan jangka pendek dan menengah.
Kesalahpahaman yang lain, lanjut Bambang, adalah istilah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut Bambang, lembaga tertinggi negara hanyalah istilah fungsional dan soal tafsir. "Kesimpulan yang sudah kita sepakati adalah MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara melainkan lembaga dengan kewenangan tertinggi karena mempunyai kewenangan mengubah dan menetapkan UUD," katanya.
Memberi kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN tidak berarti MPR menjadi lembaga tertinggi negara. MPR menjadi lembaga tertinggi pada waktu lalu, jelas Bambang, karena MPR memiliki kewenangan memilih presiden dan wakil presiden. Sekarang kewenangan itu sudah tidak ada sehingga tidak mungkin MPR menjadi lembaga tertinggi negara.
(*)