LIPI Curiga Ada Agenda Tertentu dalam Revisi UU KPK

Kecurigaannya didasari oleh keseragaman argumentasi antara DPR dan Istana ihwal revisi UU KPK.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Sep 2019, 06:53 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2019, 06:53 WIB
Tolak Revisi RUU KPK
Pegawai KPK membawa poster saat menggelar aksi di Lobi Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (6/9/2019). Dalam aksi menolak revisi UU KPK tersebut, mereka mengenakan baju serba hitam lengkap dengan masker penutup mulut dan memasang KPK Lines di sekitar pintu masuk. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Moch Nurhasim mencurigai adanya agenda tertentu terkait inisiasi revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) oleh DPR.

"Ada semacam agenda politik besar sebagai transaksi di antara kedua kubu (pemerintah dan DPR) untuk suatu capaian tertentu," kata Nurhasim di Gedung LIPI, Jakarta Selatan, Selasa 10 September 2019.

Kecurigaannya didasari oleh keseragaman argumentasi antara DPR dan Istana atau pemerintah ihwal dukungan terhadap revisi UU KPK. Menurut Nurhasim, keduanya berdalih bahwa revisi UU KPK tersebut merupakan bentuk penguatan lembaga antikorupsi.

Padahal, menurutnya, secara jelas revisi itu hendak mendisfungsikan KPK. "Kami tidak habis pikir gimana logikanya kalau usulan UU Nomor 30 Tahun 2002 itu memperkuat KPK apabila minimal 10 substansinya (10 poin dalam revisi UU KPK) itu memperlemah KPK," tegasnya.

"Apakah ini yg disebut politik kartel seperti tadi yang disampaikan Prof Haris," imbuh Nurhasim.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Desak Presiden Bersikap

Jokowi Bertemu Tokoh Papua
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyapa para tokoh Papua saat mengadakan pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Jokowi mengundang 61 tokoh asal Papua dan Papua Barat untuk membicarakan masalah percepatan kesejahteraan di Tanah Papua. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nurhasim mendesak Presiden Joko Widodo atau Jikowi segera bersikap dalam masalah ini. Menurutnya, jika presiden terus diam, maka prasangka publik terhadap pemerintahan yang ia pimpin akan semakin buruk.

"Presiden segera mengambil suatu posisi. Posisinya ada di mana, apakah posisinya mendukung, menolak ataukah posisinya diam saja dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan politik di parlemen," tanya Nurhasim.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya