Soal Perppu KPK, Jokowi Diminta Tak Tunduk oleh Desakan

Adanya usulan dan desakan agar Jokowi mengeluarkan Perppu UU KPK dinilai salah kaprah.

oleh Muhammad Ali diperbarui 28 Sep 2019, 20:31 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2019, 20:31 WIB
Jokowi Umumkan Ibu Kota
Presiden Jokowi didampingi Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil memberikan keterangan pers rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Senin (26/8/2019). Lokasi Ibu Kota berada di wilayah Kabupaten Pejaman Penajam Pasar utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Kaltim. (Liputan6 com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) guna membatalkan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap sebagai bentuk kemunduran. Terlebih wacana itu diangkat Presiden Jokowi setelah mendapat desakan.

Pengamat politik dan hukum Sulthan Muhammad Yus mengatakan, adanya usulan dan desakan agar presiden mengeluarkan Perppu UU KPK dinilai salah kaprah. Dia menilai Perppu menurut konstitusi murni kewenangan legislasi yang dimiliki presiden tanpa melibatkan DPR dan pihak manapun. Tetapi tidak serta-merta presiden dapat mengeluarkan Perppu secara serampangan.

"Ada kriteria agar Perppu dapat dikeluarkan, yaitu Perppu bisa dilakukan jika dalam keadaan darurat serta adanya kegentingan yang memaksa, terjadi kekosongan hukum, dan atau ada undang-undang tapi tidak cukup untuk mengatur kondisi yang sedang berjalan," kata Sulthan dalam keterangan yang diterima, Sabtu (28/9/2019).

Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia ini melanjutkan, bernegara itu ada ketentuannya, ada sistemnya. Tidak bisa karena ada gejolak, lantas itu diasumsikan sebagai kegentingan yang memaksa sehingga Perppu bisa dikeluarkan begitu saja. Alasan subjektivitas presiden juga harus kuat dan memenuhi kriteria tersebut.

"Oleh karena itu, saya tidak melihat keharusan sama sekali bagi presiden untuk mengeluarkan Perppu. Konstitusi kita telah mengatur tentang mekanisme jika sebuah regulasi dianggap bermasalah. Ada legislatif review, ada eksekutif review juga ada judicial review," kata dia.

Sementara itu, lanjut Sulthan, UU KPK yang baru dilahirkan belum ada nomornya dan belum masuk dalam lembaran negara. Seharusnya semua pihak menunggu dahulu terbit, baru kemudian memberikan pertentangan lewat jalur yang diatur konstitusi.

"Beginilah idealnya cara kita dalam bernegara. Negara tidak boleh terjebak pada penggiringan opini bahwa UU KPK adalah bentuk pelemahan, dicoba dahulu KPK berjalan dengan UU baru, lalu disimpulkan. Tolong jangan suuzan berlebihan," jelas dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Jadi Preseden Buruk

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Lebih lanjut kata Sulthan, pemaksaan pengeluaran Perppu karena desakan bisa jadi preseden buruk ke depan. Dia juga menganggap selama ini KPK dalam menangani perkara selalu mengatakan jika berkeberatan jangan bermain dengan opini. Ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Misalnya praperadilan, lalu jika merasa tidak bersalah silakan buktikan di persidangan.

"Nah, ini di soal revisi UU KPK kok standar ganda. Pakai logika yang sama dong, tempur saja jalur konstitusional yang tersedia. Dan bagi saya, Perppu bukan salah satu dari jalur yang tersedia tersebut dalam masalah revisi UU KPK ini," jelas dia.

Di samping itu, Sulthan juga mengingatkan gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini tidak bisa digeneralisasi pada soal penolakan UU KPK semata. Lebih dari itu gerakan ini bentuk akumulasi kekecewaan kolektif pada cara-cara menyelenggarakan kekuasaan.

"Dan akhir-akhir ini justru aksi tersebut mulai berubah dari substansi menjadi solidarity karena sikap represif dalam penanganan masa aksi. Saya mendorong presiden agar jernih dalam melihat permasalahan," tutup dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya