Perppu UU KPK Dinilai Bisa Munculkan Preseden Kurang Baik

Perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya tergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang masuk dalam kategori darurat.

oleh Muhammad Ali diperbarui 28 Sep 2019, 12:22 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2019, 12:22 WIB
DPR Sahkan Revisi UU KPK
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat politik Universitas Indonesia Ade Reza Hariyadi menilai penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait UU KPK bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Bisa menjadi preseden yang kurang baik dalam ketatanegaraan kita, di mana satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit di-perppu-kan," katanya di Jakarta, Jumat 27 September 2019.

Hal itu disampaikannya usai diskusi bertema "Dinamika Seputar Revisi UU KPK: Studi Kedalaman Politik Legislasi" di Universitas Negeri Jakarta.

Ia mengakui bahwa perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya tergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting sehingga perlu mengeluarkan perppu.

"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk memenuhi tuntutan publik," katanya.

Namun, kata dia, pemerintah bisa saja dinilai mencari aman demi menjaga citra politik, sebab sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.

"Pemerintah kan 'co-legislator' dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," katanya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Bangun Tradisi Ketatanegaraan

DPR Sahkan Revisi UU KPK
Menkumham Yasonna Laoly berjabat tangan dengan Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah usai menyampaikan pandangan akhir pemerintah terhadap revisi UU KPK dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (17/9/2019). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menurut dia, untuk membangun tradisi ketatanegaraan yang lebih mapan dan elegan ada baiknya disahkan dulu sebagai UU, baru kemudian mempersilakan jika ada yang mau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Itu lebih elegan, dan menghindari potensi kewenangan berlebihan di tangan Presiden dalam membuat kebijakan setingkat UU. Bisa menjadi preseden yang berulang-ulang, sedikit-sedikit diintervensi, ditafsirkan keadaan darurat, kemudian di-perppu-kan," katanya.

Sementara itu, Direktur LBHA Trisakti Ucok Rolando P Tamba mengatakan, bahwa perppu merupakan kewenangan Presiden, tetapi harus ada syarat yang dipenuhi, yakni kondisi yang mendesak.

Jika kemudian adanya demonstrasi-demonstrasi dinilai sebagai kondisi mendesak untuk mengeluarkan perppu, ia mengingatkan bahwa demonstrasi adalah hak menyampaikan pendapat yang sudah diatur konstitusi.

Selain perppu, kata dia, sebenarnya ada dua cara lagi untuk membatalkan UU KPK, yakni mengajukan "judicial review" ke MK yang sudah diatur negara dengan memberikan saluran-saluran dalam konteks demokrasi.

"Bisa juga lewat upaya 'legislatif review'. DPR periode mendatang bisa merevisi lagi UU KPK karena melihat kemungkinan ada pasal-pasal yang dianggap memperlemah KPK," kata Ucok.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya