Liputan6.com, Jakarta - Sastrawan Sapardi Djoko Damono tengah dirawat di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Selatan. Pencipta puisi "Aku Ingin" itu butuh donor darah B+.
Kerabat Sapardi, Sonya Sondakh, mengatakan sudah ada beberapa orang yang menawarkan untuk menjadi pendonor bagi sang penyair.
"Sudah ada beberapa. Kabar bapak butuh donor darah yang menyebarkan itu mahasiswa. Jadi, ada beberapa mahasiswa yang sudah menawarkan untuk mendonorkan darah. Tapi masih saya tampung," ujar Sonya ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Advertisement
Menurut dia, kondisi kesehatan Sapardi Djoko Damono tak kali ini saja drop. Namun, belum diketahui penyebab sakit Sapardi. Pencipta novel Hujan Bulan Juni tersebut masih membutuhkan diagnosis lebih lanjut.
"Sebenarnya ini sudah ketiga kalinya. Sebelumnya pernah drop juga. Tapi untuk tahu penyakitnya, kata dokter harus periksa sumsum tulang belakangnya dan itu antrenya panjang," kata Sonya.
Namun, dia meminta agar sakit Sapardi Djoko Damono tidak dibesar-besarkan.
Puisi Jadi Gombalan Generasi Milenial
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu…
Mungkin 10 tahun yang lalu puisi karya Sapardi Djoko Damono ini hanya mentok di meja mahasiswa jurusan sastra.
Seiring perkembangan zaman, puisi tersebut kini menjelma menjadi “ayat-ayat cinta” yang kerap dipakai anak-anak milenial untuk menggombali kekasih. Diksinya yang sederhana sehingga maknanya relatif mudah dimengerti membuat puisi ini menjadi sangat “hits” di kalangan anak muda.
Maraknya gombalan anak milenial dengan memakai puisi "Aku Ingin" ditanggapi santai oleh sang penyair Sapardi Djoko Damono. Saat dihubungi Liputan6.com beberapa waktu lalu, Sapardi mengatakan, bukankah saat ini banyak orang bahkan menggunakan kutipan ayat-ayat kitab suci untuk menggombali orang?
Karya sastra, khususnya puisi, tidak perlu diberi jarak dengan orang-orang. Puisi, menurut dia, adalah hasil karya manusia yang biasa saja, sama dengan yang dihasilkan orang-orang kreatif lainnya.
“Anggapan puisi sebagai suatu yang adiluhung bagi saya merupakan anggapan yang mengerikan sekali. Anggapan yang penuh kata-kata kosong begitu bagi saya malah merendahkan atau bahkan meledek puisi,” kata Sapardi.
Advertisement