Lewat Surat, Sekjen PDIP Hasto Yakini Persidangan Dirinya adalah Peradilan Politik

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan kembali jika persidangan yang menjerat dirinya merupakan sidang yang dipaksakan oleh penyidik dan Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

oleh Putu Merta Surya Putra Diperbarui 25 Apr 2025, 04:00 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2025, 04:00 WIB
Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto kembali melakukan sidang lanjutan kasus dugaan suap dan obstruction of justice (OOJ) terkait buronan Harun Masiku.
Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto kembali melakukan sidang lanjutan kasus dugaan suap dan obstruction of justice (OOJ) terkait buronan Harun Masiku. (Radityo).... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan kembali jika persidangan yang menjerat dirinya merupakan sidang yang dipaksakan oleh penyidik dan Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hasto menyebut rangkaian perkara yang dihadapinya merupakan pengadilan politik.

Hal itu disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melalui surat yang dibacakan oleh Jubir PDIP Guntur Romli di sela-sela persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Dalam surat tersebut, Hasto menjelaskan, persidangan dirinya yang dipaksakan berdasarkan keterangan yang diberikan oleh eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan eks Ketua KPU Arief Budiman pada pekan lalu, dinyatakan bahwa keputusan sudah berkekuatan hukum Yang tetap pada tahun 2020.

Di mana, uang suap yang berikan kepada Wahyu Setiawan dan eks Komisioner Bawaslu Agustiani Tio Fridelina berasal dari Harun Masiku.

“Jika dilihat di pertimbangan majelis hakim Putusan pengadilan nomor 18 Pidsus/TPK/2020/PN Jakarta Pusat dinyatakan dalam pertimbangan hakim, halaman 130, menimbang bahwa dana operasional tahap pertama tersebut berasal dari Harun Masiku,” kata Hasto lewat surat yang dibacakan Guntur Romli.

“Ini sudah ada di keputusan pengadilan tahun 2020 yang diterima saudara Saiful Bahri terdakwa pada waktu itu, saat itu secara bertahap (pemberian suap),” lanjutnya.

“Jadi keputusan ini sudah ada pada persidangan tahun 2020 bahwa uang operasional atau uang suap baik Rp 400 juta atau Rp 850 juta itu semuanya berasal dari Harun Masiku dan itu juga dikuatkan oleh kesaksian Wahyu Setiawan pada persidangan minggu yang lalu,” terangnya.

Sehingga, kata Hasto, keputusan pengadilan yang sudah inkrah nyata-nyata tidak ada keterlibatannya.

“Jadi hal tersebut membuktikan bahwa ini adalah pengadilan politik,” jelasnya.

Hasto pun meyakini, bahwa keadilan akan ditegakkan dalam persidangan dirinya.

Bahkan, dia menyebut persidangan dirinya merupakan momentum untuk menunjukan lembaga peradilan memiliki wibawa dan mandiri dalam memutus sesuatu perkara.

“Inilah momentum untuk menunjukkan lembaga peradilan yang berwibawa mandiri dan menjadi rumah bagi bekerjanya kebenaran dan keadilan,” tandas Hasto.

Guntur Romli Klaim Provokator Kembali Dikirim ke Sidang Sekjen PDIP

Guntur Romli, kembali menyoroti adanya upaya provokasi dan penyusupan dalam sidang lanjutan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).

Pernyataan ini disampaikan Guntur Romli menyusul insiden yang terjadi saat jalannya persidangan.

Menurut Guntur Romli, upaya pengiriman penyusup dan provokator ini merupakan kejadian berulang. Ia menyebutkan bahwa setelah penangkapan sejumlah penyusup pada sidang pekan lalu, aksi serupa kembali terjadi hari ini.

"Setelah tertangkapnya para penyusup ke sidang Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pekan lalu, tapi bohirnya tidak berhenti dengan mengirimkan kembali penyusup dan provokator pada sidang hari ini, Kamis 24 April 2025," ujar Guntur.

Dia menjelaskan kronologi kedatangan kelompok yang diduga provokator tersebut. Mereka tiba terlambat sekitar pukul 10.00 WIB, saat sidang telah dimulai dan ruang sidang sudah penuh.

Kelompok tersebut mengenakan kaos putih bertuliskan "SaveKPK" dan berusaha memaksa masuk ke dalam ruangan. Upaya mereka dihalangi oleh petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) Pengadilan dan Satuan Tugas (Satgas) PDI Perjuangan. Akhirnya, mereka memilih duduk di pojok lobi ruangan PN Jakarta Pusat.

Insiden memanas saat jeda sidang sekitar pukul 12.15 WIB. Ketika Hasto Kristiyanto bersama tim penasihat hukumnya menggelar konferensi pers, salah seorang dari kelompok tersebut tiba-tiba merangsek ke tengah kerumunan sambil berteriak-teriak.

Satgas PDIP pun mengamankan individu tersebut dan mengusir rekan-rekannya yang juga mengenakan kaos putih dari area lobi.

Akibat gesekan ini, aparat kepolisian kemudian masuk ke dalam Gedung Pengadilan. Terjadi aksi dorong-dorongan, dan sejumlah anggota polisi berusaha menangkap dua orang anggota Satgas PDIP yang dibela oleh anggota satgas lainnya.

Guntur Romli meluruskan kabar yang beredar mengenai bentrok antara polisi dan Satgas PDIP, menegaskan bahwa yang terjadi hanyalah dorong-dorongan.

"Keributan berhasil diredam setelah pembicaraan dua pihak," ungkapnya.

Tim Hukum Ungkap Inkonsistensi Dakwaan Jaksa

Anggota tim hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam persidangan pemeriksaan saksi terkait dugaan suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Febri mengungkapkan adanya inkonsistensi dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) serta percampuran antara fakta yang sebenarnya dengan asumsi-asumsi yang terungkap selama dua kali persidangan saksi.

Dalam keterangannya kepada awak media usai jeda persidangan, Kamis (24/4/2025), dia pun menyoroti inkonsistensi mendasar dalam dakwaan.

“Jadi tadi ada satu poin penting yang ada di dakwaan penuntut umum yang tidak terbukti. Satu poin penting, saya mulai dari satu poin yang paling mendasar. Jadi penuntut umum itu mendakwa pemberian uang sejumlah Rp 600 juta yang diberikan sebanyak 2 kali. Tadi confirm dan sesuai dengan keterangan saksi sebelumnya yang hari Kamis, minggu lalu, bahwa pemberian uang tersebut hanya terjadi satu kali. Satu kali pada tanggal 17 Desember 2019," ujar Febri.

Febri kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai ketidaksesuaian jumlah uang yang didakwakan dengan fakta persidangan.

"Yang memberikan siapa? Yang memberikan pada saat itu adalah Tio kepada Wahyu, Tio bersama Saeful Bahri. Uangnya dari mana? Uangnya dari Harun Masiku. Itu yang tadi clear terbukti dan berkesesuaian dengan sidang sebelumnya. Jadi kalau bisa disebut bagian penting dari dakwaan KPK tadi, itu gugur. Dari tuduhan awal 600 juta ternyata baru 200 juta yang diberikan. Kenapa kami berani mengatakan seperti itu? Karena tadi saksi mengatakan yang 400 atau 38.300 dolar Singapura tersebut tidak pernah berpindah tangan," jelas dia.

"Bahkan hanya diperlihatkan amplopnya tapi kemudian diambil kembali dan ingin dikembalikan oleh Ibu Tio pada Saeful. Jadi tidak pernah ada pemberian 600 apalagi penerimaan 600. Berkesesuaian ya dengan keterangan Wahyu yang kemarin. Itu yang pertama terkait dakwaan karena indikator yang bisa kita gunakan adalah dakwaan," paparnya.

Selain inkonsistensi dakwaan, Febri juga menyoroti adanya percampuran antara fakta dan asumsi yang terungkap selama persidangan.

"Yang kedua, kemarin pada saat keterangan Wahyu Setiawan seolah-olah ada fakta baru. Seolah-olah ya ada fakta baru, kalau kita semua ingat ada satu peristiwa yang disebut Wahyu Setiawan di ruang rokok. Wahyu Setiawan mendengar Saeful Bahri dan Donny bicara tentang sumber dana. Nah tadi kita tanya ke Donny, Donny ternyata mengatakan satu tidak benar semuanya di ruang rokok, karena Saeful justru ada di musola pada saat itu dan Ibu Tio ada di musola di lantai 2 gedung KPK di sela pemeriksaan," jelas Febri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya