Liputan6.com, Jakarta - Kasus warga negara Indonesia (WNI) terancam hukuman mati di luar negeri tak pernah usai. Meski Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI telah memberikan perlindungan hukum dan pendampingan bagi WNI yang menghadapi ancaman hukuman mati, jumlah kasus tersebut terus bertambah setiap tahunnya.
Data terbaru Kemlu RI mengungkap, saat ini masih ada sebanyak 157 WNI yang terancam vonis hukuman mati di negeri orang, dengan mayoritas kasus menimpa para pekerja migran di Malaysia, dan sisanya tersebar di Laos, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Delapan kasus di antaranya bahkan telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menyinggung soal keseriusan dan komitmen pemerintah Indonesia terkait perlindungan para WNI yang ada di luar negeri. Dia menyebut bahwa informasi tentang kasus hukum yang menimpa WNI di luar negeri sering kali baru diterima di masa-masa kritis.
Advertisement
"Seperti saat sudah divonis, sehingga ruang untuk melakukan pendampingan hukum itu sangat terbatas. Jadi sering kali pekerja migran kita itu dihadapkan pada pengadilan dengan ancaman hukuman mati tanpa pembelaan. Berkali-kali misalnya Saudi mengeksekusi mati pekerja migran kita tanpa pemberitahuan," ujar Wahyu saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (24/4/2025).
Menurut dia, hal ini terjadi lantaran diplomasi perlindungan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap para WNI yang bekerja di luar negeri, masih kurang maksimal. Bahkan upaya diplomasi yang dilakukan masih dianggap sepele oleh negara-negara tujuan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Jadi memang dibutuhkan keseriusan, komitmen pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemlu. Jadi harus update perkembangan-perkembangan kasus pekerja migran kita yang terancam hukuman mati," tutur Wahyu.
Apalagi sejak 2023 lalu parlemen Malaysia telah menghapus hukuman mati sebagai opsi untuk beberapa kejahatan serius. Melalui amandemen ini, Malaysia memiliki alternatif hukuman penjara 30-40 tahun atau hukuman cambuk sebagai ganti hukuman mati wajib.
"Saya kira Malaysia itu sekarang secara gradual itu sudah menghapus hukuman mati. Jadi ini peluang, ruang bagi Indonesia untuk kemudian membebaskan mereka yang sudah divonis tetap. Nah ini memang mensyaratkan adanya diplomasi yang tangguh, yang kuat, mengenai pembebasan mereka dari hukuman mati. Misalnya dengan langkah transfer of prisoner," ucap Wahyu.
Lebih lanjut, peneliti senior Migrant Care ini menuturkan bahwa kasus WNI terjerat hukuman mati tidak selalu berbanding lurus dengan problem yang terjadi pada agen penyalur. Sebab, menurut dia, tak sedikit WNI yang dieksekusi mati di Arab Saudi juga berangkat secara resmi.
"Bahkan yang Saudi hampir semua melalui (penyalur) tenaga kerja, jadi tidak bisa juga mengkambinghitamkan penempatan, documented, meskipun itu juga masalah," kata Wahyu.
Dia pun menegaskan, yang harus dilakukan secara komprehensif oleh pemerintah adalah melakukan tata kelola penempatan yang berorientasi pada perlindungan pekerja migran. Wahyu melihat bahwa saat ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) hanya fokus pada pendapatan devisa.
Hal ini merujuk pada rencana pemerintah Indonesia yang akan mengirim ratusan ribu pekerja migran ke Arab Saudi setelah pencabutan moratorium yang berlaku sejak 10 tahun silam.
"Sekarang ini saya lihat Kementerian P2MI itu orientasinya hanya mengirimkan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan devisa, untuk mendapatkan remiten. Itu enggak bener menurut saya."
"Kemudian juga diplomat kita, diplomasi kita harus benar-benar maksimal. Saya melihat di pemerintahan sekarang ini agenda perlindungan WNI ke luar negeri tidak banyak mendapatkan perhatian. Beda dengan zamannya Bu Retno," ucap Wahyu Susilo menandaskan.
Presiden Perlu Turun Tangan?
Senada dengan Wahyu, Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana juga menyatakan bahwa langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan pendampingan hukum bagi WNI yang terancam eksekusi mati di luar negeri, di samping juga upaya diplomasi. Kendati, pemerintah tidak bisa mengintervensi sistem hukum negara lain.
"Mau apa lagi, ya pendampingan. Mungkin Pak Menlu atau Bapak Presidan juga bisa komunikasi dengan Perdana Menteri atau Menlu di Malaysia. Tapi balik lagi, itu bergantung pada hukum di negara setempat, hukum di Malaysia. Kalau hukum di Malaysia membolehkan ya bisa, kalau enggak bisa ya enggak bisa," ujar Hikmahanto saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.
Sementara terhadap vonis mati WNI yang telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah, pemerintah bisa mengajukan judicial review atau peninjauan kembali dengan menyertakan novum atau bukti baru yang menyatakan terdakwa tidak bersalah atau tidak patut dihukum mati. Namun tetap dengan catatan apabila upaya tersebut dimungkinkan oleh aturan hukum negara setempat.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam beberapa waktu terakhir telah melakukan kerja sama dengan beberapa negara untuk pemindahan atau pemulangan terpidana mati ke negara asalnya atau transfer of prisoner. Terbaru, pemerintah memulangkan terpidana mati Serge Areski Atlaoui ke negara asalnya, Prancis, setelah sebelumnya juga lebih dulu memulangkan terpidana mati Mary Jane ke Filipina dan lima terpidana mati Bali Nine ke Australia.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra pada awal 2025 lalu mengatakan bahwa pemerintah perlu menyelesaikan aturan perundang-undangan tentang transfer of prisoner dan exchange of prisoner atau pertukaran tahanan. Tujuannya agar Indonesia bisa memulangkan warganya yang berstatus terpidana mati di luar negeri.
Namun Hikmahanto tidak bisa memastikan apakah upaya yang digagas Yusril tersebut bisa diterapkan dengan Malaysia. "Itu tergantung pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia mau enggak melakukan sama seperti Prof Yusril. Kan tiap negara memiliki kedaulatan masing-masing."
Lebih lanjut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) ini menampik anggapan yang menyebut bahwa alotnya negosiasi pemerintah dalam membebaskan warganya dari ancaman eksekusi mati, lantaran di Indonesia juga masih menerapkan hukuman mati. "Enggak bisa. Kan masing-masing negara punya kedaulatan. Enggak ada pengaruh," katanya.
Karena itu, selain pendampingan dan diplomasi, pemerintah juga perlu melakukan upaya pencegahan dengan melakukan perbaikan mulai dari hulu. Pemerintah harus tegas terhadap agen-agen atau penyalur dalam merekrut dan mengirim pekerja migran ke luar negeri. Di samping itu, pemerintah juga harus lebih masif memberikan imbauan atau pengetahuan kepada WNI agar tidak mudah terjebak dalam sindikat peredaran narkoba di luar negeri.
"Kita ini punya banyak agen yang enggak bener dalam merekrut tenaga migran kita. Itu yang juga jadi masalah. Karena kalau tenaga migran kita direkrut asal-asalan kemudian sampai sana tidak bisa bekerja, majikan marah, akhirnya pekerja migran kita marah juga tidak bisa mengendalikan diri kemudian membunuh, itu juga yang membuat mereka masuk penjara. Jadi memang harus diperbaiki mulai dari hulunya," ujar Hikmahanto Juwana memungkasi.
Advertisement
Negara Harus Hadir, Jangan Biarkan WNI Sendirian
Anggota Komisi I DPR RI, Okta Kumala Dewi menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kondisi WNI yang tengah menghadapi berbagai persoalan hukum di luar negeri, mulai dari ancaman hukuman mati, deportasi, hingga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Sebanyak 157 WNI yang saat ini menunggu eksekusi hukuman mati di berbagai negara, terutama Malaysia, adalah angka yang sangat mengkhawatirkan dan menyayat hati kita sebagai sesama bangsa. Ini bukan sekadar angka, ini adalah nyawa,” ujar Okta dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.
Selain itu, dia juga menyoroti situasi 15 WNI di Amerika Serikat yang terancam deportasi akibat kebijakan imigrasi, serta maraknya kasus TPPO yang banyak menimpa pekerja migran Indonesia non-prosedural alias ilegal di beberapa negara Asia Tenggara.
“Negara harus benar-benar hadir. Saya mendorong Kementerian Luar Negeri untuk lebih intensif melakukan diplomasi dan negosiasi dalam berbagai bentuk, baik hukum maupun pendekatan lainnya, untuk menyelamatkan WNI dari jeratan hukuman mati dan berbagai ancaman hukum lainnya,” katanya.
Sebab, perlindungan terhadap seluruh warga negara adalah amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Lebih lanjut, politikus PAN ini juga mengapresiasi langkah Kemlu RI yang bekerja sama dengan UN Women dalam meluncurkan aplikasi chatbot SARI, yang dirancang untuk memberikan informasi dan panduan kepada PMI di luar negeri. kendati begitu, ia menekankan pentingnya strategi sosialisasi yang efektif.
“Peluncuran aplikasi SARI ini adalah langkah maju, tapi perlu didorong dengan kampanye yang masif dan terarah agar benar-benar sampai dan dipahami oleh para PMI di lapangan, terutama yang berada di daerah-daerah terpencil,” kata Okta.
Sementara terkait maraknya TPPO, dia menekankan pentingnya sinergitas antarlembaga. Ia menyoroti fakta bahwa dari total devisa negara sebesar Rp235,3 triliun yang dihasilkan oleh PMI, 80 persen di antaranya berasal dari pekerja perempuan.
“Kontribusi PMI luar biasa, terutama perempuan. Sudah saatnya mereka mendapatkan perlindungan maksimal. Kita tidak bisa hanya mengandalkan satu instansi. Butuh kerja kolaboratif lintas kementerian, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil,” kata Okta Kumala Dewi memungkasi.
Ratusan WNI Terancam Hukuman Mati di Malaysia
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan bahwa kasus WNI yang terancam eksekusi mati terus bertambah tiap tahunnya, kendati pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya. Data terbaru Kemlu RI, saat ini masih ada 157 WNI yang terancam hukuman mati di negeri orang.
Seratus lebih atau mayoritas WNI tersebut merupakan pekerja migran di Malaysia, sementara sisanya tersebar di Laos, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
"Kasus WNI terancam hukuman mati merupakan kasus prioritas dari Kemlu dan kita klasifikasikan sebagai high profile case," kata Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) Judha Nugraha dalam pertemuan terbatas dengan sejumlah media, Rabu (23/4/2025) kemarin.
Dia menyebut, peredaran narkoba mendominasi kasus yang menghadapkan ratusan WNI itu pada ancaman hukuman mati, di samping juga ada kasus pembunuhan.
"Mostly banyak kasus terkait dengan kurir. Masalah apakah mereka sadar atau tidak tentu itu nanti dibuktikan di pengadilan. Namun kebanyakan mereka kurir, diminta untuk membawa barang, pengakuannya mereka tidak aware dengan barang yang dia bawa, dan kemudian pada saat sampai di airport ketahuan bahwa dia membawa barang itu," tutur Judha.
Dia menjelaskan bahwa selama proses hukum berlangsung, pengajuan banding terhadap vonis hukuman mati seseorang dapat dilakukan sesuai aturan negara masing-masing. Tercatat pada 2024, pemerintah berhasil menyelamatkan 137 WNI dari hukuman mati, dengan 75 di antaranya mendapat pengurungan hukuman, dan 62 lainnya langsung bebas.
"Misalnya di Malaysia, bisa jadi bebas murni atau turun menjadi hukuman penjara dan cambuk. Atau di Timur Tengah, bisa jadi bebas murni atau turun menjadi hukuman penjara dan pembayaran diyat (denda atau pembayaran harta berupa uang)," katanya.
Judha memastikan bahwa negara melalui Kemlu RI dan lembaga terkait, terus melakukan pendampingan hukum bagi terdakwa selama proses hukum berlangsung.
"Jadi, kita siapkan pengacara untuk bisa memberikan pembelaan dan juga pendampingan hukum secara awal hingga proses litigasinya berkekuatan hukum tetap," tuturnya.
"Nah, ketika sudah berkekuatan hukum tetap pun dan ketika memang proses litigasinya sudah selesai, langkah-langkah luar biasa dalam bentuk pelindungan diplomatik juga kita lakukan. Seperti contoh misalkan surat dari Bapak Presiden kepada Kepala Negara terkait untuk minta pengampunan," katanya menambahkan.
Advertisement
Upaya Meloloskan Warga Karawang dari Eksekusi Mati di Saudi
Salah satu contohnya, Pemerintah Indonesia melalui KBRI Riyadh tengah melakukan pendampingan intensif terhadap Susanti, WNI asal Karawang, Jawa Barat yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Kasus yang menyeretnya sejak 2009 itu kini memasuki fase krusial, di mana proses permohonan pemaafan atau tanazul dari keluarga korban tengah diupayakan.
Adapun vonis awal yang diterima Susanti adalah had gillah, yang artinya menerima vonis hukuman mati tanpa ada opsi pemaafan.
"Keluarga memaafkan, raja memaafkan, tapi tidak menghentikan proses hukum berlangsung," ungkap Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha dalam pertemuan terbatas dengan sejumlah media, Rabu (23/4/2025).
Namun setelah mendapat pendampingan hukum dari pemerintah Indonesia, vonis Susanti turun dari had gillah ke qisas, di mana keluarga korban berhak menuntut ganti berdasarkan prinsip nyawa. Hukuman ini dapat dicabut jika terdakwa mendapat pengampunan dari keluarga korban.
"Setelah berjalannya waktu, vonis qisas ini sudah berkekuatan hukum tetap hingga setelah kita lakukan proses banding hingga kasasi, prosesnya tetap qisas dan kemudian berkekuatan hukum tetap. Nah, pada saat itulah kemudian sesuai dengan hukum yang berlaku di Saudi dibukalah pintu tanazul atau pemaafan," sambung Judha.
Dalam proses ini, KBRI Riyadh membantu pihak Susanti untuk menjalin komunikasi dengan pihak keluarga korban dan Lembaga Pemaafan di Arab Saudi.
"Jadi tujuannya adalah satu. Kita pastikan pemaafan yang diberikan keluarga dan pintu itu sudah dibuka. Memang kemudian keluarga korban meminta diyat (pembayaran denda yang dilakukan oleh pelaku kejahatan)," kata Judha.
Judha menyebut bahwa pihak keluarga korban meminta uang diyat senilai 30 juta riyal atau sekitar Rp120 miliar.
Sejauh ini pihak KBRI Riyadh terus melakukan negosiasi serta meminta perpanjangan tenggat waktu yang diindikasikan akan diberikan oleh pihak keluarga.
"Kita akan terus melakukan penampingan kepada pihak keluarga Susanti untuk proses tanazul. Termasuk kami juga membawa keluarga Susanti ke Saudi. Kita pun memfasilitasi orang tua Susanti untuk ke Saudi untuk bertemu dengan Susanti dan juga beberapa pihak yang ada di Saudi," imbuh Judha.
2 Pesan Penting Agar WNI Tak Terjerat Kasus Berat di Luar Negeri
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sejatinya telah berkali-kali melakukan upaya pencegahan agar WNI di luar negeri tidak terjebak pada kasus hukum yang dapat menyeretnya ke 'tiang gantungan'. Namun nyatanya, jumlah kasus tersebut masih saja bertambah, seiring dengan banyaknya WNI yang berhasil diselamatkan.
"Sebagai gambaran, pada tahun 2023, pemerintah berhasil menyelamatkan 19 warga negara Indonesia dari ancaman hukuman mati. Namun, di tahun yang sama, penambahan kasus baru itu mencapai 25 kasus. Jadi, tantangan terbesar kita adalah bagaimana kita melakukan langkah penjagaan secara efektif agar kasus-kasus baru itu bisa kita tekan seminimal mungkin," kata Judha dalam pertemuan terbatas dengan sejumlah media, Rabu (23/4/2025).
Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus serupa:
Pertama, pentingnya memahami modus yang mungkin terjadi. "Mengingat kasus yang paling banyak terjadi adalah peredaran narkotika, maka pahami berbagai macam modus yang dilakukan," jelas Judha.
Dalam banyak kejadian, Judha menyebut bahwa korban biasanya akan dijebak dengan cara menjalin hubungan asmara.
"Sebagai contoh, dulu ada pekerja migran kita dari Hongkong, dipacari, kemudian ingin pulang ke Indonesia, diminta untuk mampir dulu ke India, terus bawa barang, mampir dulu ke Malaysia, baru ke Indonesia," lanjut dia.
"Nah, pada saat dia bawa barang dari India ke Malaysia, di situ dia bawa tas pacarnya. Dan dia tidak tahu apa isinya, sampai di sana kemudian dia baru tahu isinya narkotika," tutur Judha.
Kedua, terkait kasus pembunuhan. WNI diminta untuk tidak main hakim sendiri dan melakukan upaya sendiri dalam menyelesaikan kasus.
"Kita memahami bahwa berbagai macam konflik mungkin dapat terjadi, apalagi dalam konteks pekerjaan-pekerjaan yang sektor domestik. Jika ada masalah, segera laporkan kepada otoritas setempat ataupun kepada perwakilan RI setempat. Jangan main hakim sendiri," tegas Judha.
Ia mencontohkan dalam satu kasus ketika seorang pekerja migran asal Indonesia mengalami pelecehan seksual oleh majikan, namun tidak mau melaporkannya.
"Akhirnya dia pendam terus. Ketika sexual harassment itu terjadi berkali-kali, akhirnya dia tidak tahan," ungkap Judha.
"Akhirnya dia justru merancang pembunuhan kepada majikannya. Jadi ketika majikannya pulang salat subuh, dia sudah menyiapkan kayu, pulang, dipukul sampai mati. Urusan jadi berbeda," imbuhnya.
Maka dari itu, Judha mengimbau jika WNI di luar negeri mengalami kasus apapun, segera melaporkan ke otoritas atau perwakilan RI setempat.
"Jangan mengambil upaya sendiri untuk menyelesaikan kasus," tutup dia.
Advertisement
Infografis Upaya Cegah WNI Divonis Mati
