Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Rifki Fadilah menilai Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan peringkat Indeks Kemudahan Berusaha atau yang dikenal dengan Ease of Doing Business (EODB) 2020.
Berdasarkan laporan Bank Dunia terkait EODB 2020, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 190 negara yang disurvei. Beberapa indikator yang merupakan ketertinggalan Indonesia, antara lain Memulai Usaha, Konstruksi Perizinan, Pendaftaran Properti, Perdagangan Lintas Batas, dan Penegakan Hukum terhadap Kontrak.
Menurut Rifki Fadilah, upaya mendorong EODB 2020 dapat dilakukan dengan efisiensi regulasi karena dinilai berbelit dan prosesnya panjang. Efisiensi regulasi dengan Omnibus Law juga dapat mengurangi biaya transaksi yang selama ini menghambat investasi.
Advertisement
Omnibus Law juga dinilai dapat meminimalisir terjadinya praktik korupsi secara institusional di sektor manufaktur karena adanya pengurangan biaya transaksi pada perizinan usaha dan investasi.
Menurut Rifki, sektor manufaktur sendiri merupakan sektor yang paling rentan terkena biaya-biaya yang tidak diperlukan terkait kewenangan Pemerintah Daerah. Misalnya, di dalam data EODB 2020, waktu pengurusan perizinan konstruksi bangunan di Indonesia dapat mencapai hampir 200 hari.
Hal tersebut dapat menjadi salah satu kendala yang cukup pelik bagi sektor manufaktur karena terdapat birokrasi yang berbelit-belit hingga hampir 1 tahun, hanya untuk mengurus perizinan bangunan.
"endala ini dapat berkembang menjadi institutional corruption yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun instansi pemerintah untuk mempercepat birokrasi perizinan tersebut,” katanya, Senin (4/5/2020).
Berikan Iklim Kondusif
Dengan demikian, skema kebijakan Omnibus Law, termasuk yang diusulkan Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, diharapkan dapat memberikan iklim kondusif untuk investasi dan kemudahan berusaha Indonesia, serta meningkatkan daya saing Indonesia dan kesejahteraan pada umumnya.
“Hal ini akan dimungkinkan mengingat skema kebijakan Omnibus Law akan menghindarkan biaya-biaya yang tidak diperlukan, karena adanya institutional corruption yang terjadi pada pihak-pihak tertentu,” tutupnya.
Seperti diketahui, DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk membahas RUU Cipta Kerja. Pembahasan RUU ini dilakukan menyusul setelah diterimanya Surat Presiden (surpres) terkait salah satu klaster Omnibus Law pada pertengahan Februari 2020. Namun, saat ini, DPR dan Pemerintah sepakat untuk menunda pembahasan RUU mengingat wabah virus corona atau covid-19 yang terus menyebar di tanah air.
Advertisement