Mendikbud Cetuskan Istilah Penikahan Massal Pendidikan dengan Industri, Apa Maknanya?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menjelaskan soal munculnya istilah pernikahan massal antara dunia pendidikan dengan dunia industri.

oleh Yopi Makdori diperbarui 27 Jun 2020, 10:57 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2020, 10:50 WIB
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memperkenalkan konsep Kampus Merdeka.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memperkenalkan konsep Kampus Merdeka. (Foto: Kemendikbud)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menjelaskan soal munculnya istilah pernikahan massal antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Menurut Nadiem, istilah itu berangkat dari realitas mengenai hubungan sektor pendidikan dengan industri yang dipandangnya belum terjalin secara maksimal.

"Karena yang saya lihat selama ini tuh banyak sekali ya cuman mungkin (baru) kencan-kencananlah. Jadi cuman pede kate (pendekatan) saja atau mungkin formalitas saja pergi kencan, tapi belum ada yang benar-benar menikah," ucap Nadiem dalam sesi diskusi daring bersama Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto pada Sabtu (27/6/2020).

Nadiem menjelaskan, pernikahan memerlukan komitmen bersama menjalin hubungan dalam tempo waktu yang cukup panjang, atau bahkan selama-lamanya. Nah, lanjut Nadiem hal ini juga mesti terjalin antara dunia pendidikan dengan dunia industri.

"Jadi menurut saya pernikahan massal ini analogi yang tepat karena itu menunjukkan komitmen permanen gitu loh. Karena gak ada yang namanya vokasi kalau tidak praktisinya, kurikulumnya, seluruh pola belajarnya itu mengikuti industri, ya itu namanya vokasi baru bisa dibilang vokasi. Jadi kita mesti bernikah dan beranak jangan cuma kencan-kencan aja, jangan cuma MoU-MoU aja gitu loh," ucap dia.

Nadiem mengungkapkan bahwa permintaan dunia industri akan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja begitu besar. Namun ironisnya, lanjut Nadiem kendati banyak talenta-talenta potensial yang dibutuhkan dalam dunia industri, namun justru banyak pula lulusan SMK misalnya yang menjadi pengangguran.

"(Ini) tidak ada matching daripada apa yang kualifikasi dari lulusan itu terhadap demand yang ada. Padahal itu demand-nya besar sekali, jadi itu ada miss-match," jelas Nadiem.

Mendikbud juga menjelaskan kriteria suatu lembaga pendidikan bisa disebut sudah menikah dengan dunia industri, misalnya kurikulum yang digunakan mesti datang dari mitra industrinya. Selain juga praktisi atau pengajarnya mesti sebagian besar dari industri.

"Dan yang ketiga adalah kita harus lihat hasilnya mana, surat pernikahannya mana. Surat pernikahan itu gak aji kalau gak ada perjanjian rekrutmen. Kalau gak ada perjanjian 'saya akan meng-hire atau merekrut lulusan-lulusannya' artinya saya belum percaya mengenai kualitas kurikulum itu. Kalau saya (industri) sudah teken tanda tangan saya akan menerima lulusan, itu baru namanya pernikahan yang sah," tandas Mendikbud.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dorong Perkawinan Massal

Sebelumnya, Nadiem Makarim mendorong dunia pendidikan utamanya pendidikan tinggi untuk melakukan perkawinan massal dengan industri. Hal ini juga tergambar dari kebijakan Kampus Merdeka yang dicetuskan mantan Bos Gojek Indonesia itu beberapa bulan lalu.

Konsep Kampus Merdeka sendiri merupakan pengejawantahan dari Merdeka Belajar yang diaplikasikan dalam dunia perguruan tinggi. Ada empat ruang lingkup Kampus Merdeka, salah satunya mengenai upaya untuk mempermudah pembukaan program studi baru.

"Sekarang membuka prodi baru tantangannya sangat besar, perguruan tinggi ditantang untuk menjawab semua kebutuhan industri, kebutuhan negara, dan lain-lain," kata Mendikbud Nadiem Makarim di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Jumat (24/1/2020).

Nadiem menyebutkan, di saat yang bersamaan perguruan tinggi juga ditantang untuk menciptakan mata kurikulum baru dan prodi baru. Sedangkan proses untuk mendapatkan izin tersebut dari Kementerian Pendidikan itu sangat berat.

"Kriterianya juga sangat berat. Tapi mereka butuh ditantang untuk menjawab kebutuhan industri yang selalu berubah," jelas Nadiem Makarim.

Di samping itu, lanjut Nadiem begitu banyak kurikulum dalam suatu prodi yang sifatnya begitu teoritis. Atau, istilah Nadiem sebagai tidak link and match dengan kebutuhan dunia industri.

"Dan yang ketiga banyak prodi yang kontennya, materinya itu belum bisa bersaing di panggung dunia. Belum pada saat ini, banyak yang bagus, tapi dibilang bisa bersaing di panggung dunia belum bisa dibilang begitu," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya