DPR Minta Kemendikbud dan Pemprov DKI Lindungi Calon Siswa Korban Diskriminasi PPDB

Komisi X DPR menilai, ada ketidaksingkronan proses PPDB di DKI dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019.

oleh Yopi Makdori diperbarui 04 Jul 2020, 08:46 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2020, 08:46 WIB
DPR
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melindungi korban diskriminasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Adanya ketidaksingkronan proses PPDB di DKI dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44/2019 tentang PPDB tingkat TK, SD, SMP, SMP, dan SMK membuat banyak calon siswa yang dirugikan.

“Kami menilai ada ketidaksingkronan proses PPDB di DKI Jakarta dengan Permendikbud 44/2019 sehingga terjadi diskriminasi terhadap calon siswa yang diterima di sekolah negeri, terutama terkait pengarusutamaan faktor usia dibandingkan faktor lain,” ujar Syaiful Huda Senin (29/6/2020).

Syaiful Huda menerangkan bahwa Komisi X DPR terus melakukan pemantauan terhadap proses PPDB di DKI Jakarta, termasuk menerima berbagai laporan dari orang tua siswa.

Dari situ diketahui bahwa ada banyak kejanggalan dalam proses PPDB seperti mengedepankan faktor usia, kuota zonasi yang hanya 40 persen, hingga minimnya sosialisasi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis PPDB ke publik. 

“Kondisi ini memicu ketidakpuasan publik terbukti dengan adanya unjuk rasa, pengaduan ke DPR, hingga ke Ombudsman RI,” ujarnya. 

Kejanggalan proses PPDB di DKI, lanjut dia, juga dibuktikan dengan temuan Komisi Perlidnungan Anak Indonesia (KPAI). Dari pengaduan yang diterima KPAI, 65 persen di antaranya berasal dari calon siswa/orang tua siswa yang merasa dirugikan dalam PPDB DKI. 

Sebagian mereka mengeluh terkait pengarusutamaan usia dalam proses penerimaan calon siswa. Bahkan ada kasus di wilayah Cipinang Muara di mana ada calon siswa tidak bisa diterima di SMP Negeri, padahal ada 24 sekolah di zona tersebut karena faktor usia. 

“Selain itu juga ditemukan keluhan teknis seperti server PPDB online yang lemot, keterlambatan verifikasi data, tidak transparannya panitia PPDB, hingga munculnya dugaan manipulasi data keluarga,” katanya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Buat Rombel Baru

Memantau Pendaftaran PPDB DKI Jalur Zonasi
Calon peserta didik baru saat menunggu orangtua mereka melakukan pendaftaran PPDB DKI Jalur Zonasi di SMA Negeri 21, Jakarta, Senin (24/6/2019). Pendaftaran PPDB DKI Jakarta Jalur Zonasi SMP-SMA dibuka pada 24-26 Juni 2019 mulai pukul 08.00-16.00 WIB. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Melihat fakta-fakta tersebut, kata Syaiful Huda, harus ada solusi agar para siswa yang dirugikan dalam proses PPDB tetap mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah negeri di DKI Jakarta.

Menurutnya, saat ini tengah digodok kebijakan penambahan kuota dalam rombongan belajar (Rombel) di sekolah-sekolah negeri yang ada di Jakarta. Namun menurutnya kebijakan tersebut bakal tidak akan menampung para siswa yang tersingkir dari PPBD DKI karena alasan usia.

“Kalau menambah kuota Rombel itu berarti maksimal hanya menampung tambahan 4 siswa per kelas dan itu pasti tidak mencukupi,” ucapnya. 

Politikus PKB ini mendesak agar Kemendikbud dan Dinas Pendidikan DKI membuat Rombel baru. Dengan demikian, kuota siswa yang diterima akan lebih besar. Sehingga mereka yang terdiskriminasi dalam PPDB DKI bisa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di zonasi mereka masing-masing. 

“Bagi kami, seharusnya ada evaluasi total dari PPDB DKI sehingga tercipta proses PPDB yang fair. Tapi kalau hal itu terlalu besar dampak negatifnya dan menambah kuota sebagai jalan tengah ya harus maksimal. Jangan hanya menambah sekedar menambah kuota Rombel, tapi buat Rombel baru sehingga daya tampungnya lebih besar,” tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya