5 Istilah yang Kerap Dipakai saat Pandemi Covid-19 Tapi Diganti Pemerintah

Salah satunya adalah istilah new normal yang selalu digunakan belakangan ini saat pandemi Corona Covid-19.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 14 Jul 2020, 15:54 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2020, 15:54 WIB
Kelemahan Virus Corona
Ilustrasi Pandemi Covid-19 Credit: pexels.com/cottonbro

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengganti beberapa istilah yang kerap kali digunakan selama masa pandemi Corona Covid-19 di Indonesia.

Salah satunya adalah istilah new normal yang selalu digunakan belakangan ini saat pandemi Corona Covid-19.

Menurut Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, istilah new normal kini diganti dengan adaptasi kebiasaan baru.

"Soal new normal, setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak gunakan new normal, sekarang istilahnya apa itu adaptasi dengan keadaan yang baru," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 13 Juli 2020.

Tak hanya itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengganti istilah orang dalam pengawasan (ODP), Pasien dalam pengawasan (PDP) serta orang tanpa gejala (OTG).

Semua istilah tersebut diganti menjadi kasus suspek, porbable, konfirmasi, dan erat.

Berikut istilah-istilah yang diganti pemerintah selama masa pandemi Corona Covid-19 dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

New Normal dan Lockdown

Muhadjir Effendy
Menko PMK Muhadjir Effendy Menko Muhadjir sampaikan Presiden Jokowi minta sosialisasi COVID-19 menggunakan bahasa dan simbol lokal usai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/7/2020). (Dok Humas Sekretariat Kabinet)

Pemerintah tak akan menggunakan istilah new normal yang kerap digunakan selama pandemi virus Corona Covid-19.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, istilah new normal kini diganti dengan adaptasi kebiasaan baru.

"Soal new normal, setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak gunakan new normal, sekarang istilahnya apa itu adaptasi dengan keadaan yang baru," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 13 Juli 2020.

Dia mengakui, istilah new normal dan lockdown memang tak sesuai dengan undang-undang (UU). Muhadjir menjelaskan, jika merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, saat ini Indonesia seharusnya masuk dalam masa transisi rehabilitasi sosial ekonomi dan rekonstruksi sosial ekonomi.

Namun, kata dia, istilah itu tidak untuk menggambarkan bencana non alam, seperti pandemi Corona. Untuk itu, UU Penanggulangan Bencana akan segeta direvisi.

"Atas insiatif DPR Komisi VIII, maka UU 24/2007 ini akan segera direvisi dengan seiring perkembangan yang ada ini. Terutama karena kita sudah alami bencana wabah non alam ini," ujar Muhadjir.

Menurut dia, UU yang direvisi tersebut nantinya akan menetapkan istilah yang sesuai dengan kondisi saat ini. Sehingga, Muhadjir meminta agar pergantian istilah new normal tersebut tidak diributkan lagi.

"Jadi istilah new normal, lockdown itu memang enggak sesuai UU. Sehingga kita kalau gunakan harus hati-hati. Termasuk juga dengan adaptasi baru itu," ucap dia.

Muhadjir menjelaskan, new normal adalah sebuah istilah yang dikeluarkan oleh Roger McNamee dari bukunya yang berjudul The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk. Dalam buku itu, istilah new normal tak ada kaitannya dengan Covid-19.

"Karena itu kita harus hati-hati gunakan diksi itu, tapi ya enggak dilarang namanya juga istilah. Apalagi wartawan kan punya kebebasan pakai diksi apa pun itu untuk menarik pembaca," jelas Muhadjir.

 

OTG, ODP, dan PDP

Terawan Agus Putranto
Menkes Terawan Agus Putranto memberikan penghargaan untuk 5 tenaga medis COVID-19 yang gugur di Jawa Tengah dalam kunjungan kerja di Semarang, Sabtu (11/7/2020). (Dok Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan)

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Dalam surat yang berisi 207 halaman tersebut Terawan mengganti istilah orang dalam pengawasan (ODP), Pasien dalam pengawasan (PDP) serta orang tanpa gejala (OTG). Istilah tersebut diganti jadi kasus suspek, porbable, konfirmasi, dan erat.

"Untuk kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, kontak erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG)," tertulis pada bab 3 terkait surveilans epidomologi halaman 31 yang diteken Terawan, Senin, 13 Juli 2020.

Selanjutnya kasus suspek dijelaskan yang memiliki kriteria yaitu orang dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Lalu pada 14 hari terkahir sebelum timbul timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

"Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19," kutip peraturan tersebut.

Dalam peraturan tersebut juga menjelaskan ISPA berat membutuhkan perawatan di rumah sakit. Selanjutnya istilah pasien dalam pengawasan (PDP) dikenal dengan kasus saspek.

"ISPA yaitu demam (> 38 derajat celcius) atau riwaat demam; dan disertai salah satu gejala,tanda penyakit pernapasan seperti: batuk atau sesak napas, sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat," kutip peraturan tersebut.

Kasus porbable yaitu kasus suspek dengan ISPA berat, meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 serta belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kemudian kasuskonfirmasi.

"Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi Virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR," bunyi peraturan tersebut.

Adapun kasus konfirmasi terbagi jadi dua yaitu kasus konfirmasi dengan gejala kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan terkait kriteria kontak erat. Yaitu orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable. Kontak erat yang dimaksud yaitu bertatap muka, sentuhan fisik, memberikan perawatan langsung.

"Situasi lainnya yang mengindikasi adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat," dalam peraturan tersebut.

Pada kasus probable atau konfirmasi bergejala (simptomatik) untuk melakukan kontak erat periode kontak hal tersebut dihitung selama dua hari kasus tersebut muncul. Kemudian hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

"Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari dua hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi," tulis peraturan tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya