3 Hal Positif RUU Cipta Kerja untuk Pekerja yang Kurang Terekspos

Menurut Ristadi, banyak yang tak membaca utuh dan komprehensif postur RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Sep 2020, 13:28 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2020, 12:03 WIB
Pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, Rabu (12/2/2020).
Pemerintah menyerahkan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR, Rabu (12/2/2020). (Merdeka.com/ Ahda Baihaqi)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional, Ristadi mengatakan, pada prinsipnya Serikat Pekerja setuju pada upaya pemerintah melakukan debirokratisasi, mempermudah ijin investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan membuka lapangan kerja, namun jangan sampai mengabaikan perlindungan dan kesejahteraan buruh di Indonesia.

Hal itu disampaikan Ristadi dalam forum diskusi online bertema Bagaimana Posisi dan Nasib Pekerja dalam RUU Cipta Kerja, Jumat (11/9/2020) malam.

Menurut Ristadi, Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja terdapat di Bab IV, Pasal 88, 89,90,91, itu ada yang menghapus dan menambahi, tiga undang-undang yang berlaku, yaitu UU Ketenagakerjaan, UU BPJS dan UU SJSN.

"Ada yang dihapus, tapi muncul di pasal lain yang kalau tidak dibaca teliti seolah sudah dihapus di RUU Cipta Kerja, seperti larangan pengusaha membayar upah minimum itu masih ada di pasal lain," katanya.

Menurut Ristadi, banyak yang tak membaca utuh dan komprehensif postur RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Selain itu menjadi tidak obyektif ketika ada sentimen politik.

Menurutnya, ada hal-hal baru dalam RUU Cipta Kerja yang belum diatur undang-undang sebelumnya, dan cukup positif namun kurang terekspos.

Pertama, akan diberikannya kompensasi kepada pekerja kontrak yang di PHK dalam masa kerja minimal satu tahun.

Kedua, akan diatur soal jaminan kehilangan pekerjaan yang dalam UU BPJS itu tidak ada.

Ketiga, ada pengaturan tentang penghargaan lainnya. Yang akan diberikan pada pekerja yang masih aktif bekerja dalam rentang masa kerja minimal 3-6 tahun mendapat satu bulan gaji, masa kerja 6-9 tahun mendapat dua bulan gaji, dan seterusnya kelipatan 3 tahun.

"Itu kurang terekspos, mungkin dianggap kurang menarik, lebih tertarik pada isi yang menghantam pemerintah seperti indikasi pesangon hilang, PHK dipermudah dan lain sebagainya," ujar Ristadi.

Meski demikian Ristadi juga mengungkapkan masih ada hal yang dianggap rekan-rekan buruh berpotensi merugikan pekerja seperti tentang penurunan nilai pesangon, dari batas sepuluh tahun menjadi delapan tahun, ada penurunan satu bulan gaji.

"Kemudian secara menyeluruh belum diatur bagaimana kalau perusahaan pailit, bangkrut itu bagaimana penyelesaian ya, hanya disebutkan akan diatur dalam peraturan pemerintah," terangnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Fakta di Lapangan

Ristadi juga menjelaskan fakta ketenagakerjaan di Indonesia saat ini. Dari hasil survei KSPN pertengahan 2019 di 23 kabupaten kota Industri besar, di enam provinsi di Jawa. Dengan mengambil responden yang tidak berserikat.

"Dari 1.000 responden hanya 6 orang yang statusnya pekerja tetap, sementara 994 pekerja kontrak dengan masa kontrak rata-rata di atas lima tahun. Ada 692 yang mendapat upah di bawah upah minimum. Namun yang cukup bagus ada 768 sudah ikut Jamsostek, " papar Ristadi.

Dia juga melihat kondisi pekerja di sektor perbankan dan otomotif yang relatif bagus. Tapi di sektor padat kerja, tekstil garmen, hotel, pariwisata dan yang lain masih memprihatinkan.

"Jadi, sikap kami terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja, kami berharap revisi atau ketentuan UU baru harusnya menjawab fakta-fakta lapangan itu," ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya