Kisah Gus Dur Luluhkan Hati Nuriyah, dari Jombang hingga Kairo dan Peran Tukang Ramal

Kala itu, untuk pertama kalinya, Gus Dur menyimpan hati terhadap seorang perempuan. Kegigihannya menaklukkan pujaan hati menjadi inspirasi bagi setiap orang. Berikut kisahnya....

oleh Yopi Makdori diperbarui 25 Feb 2021, 08:02 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2021, 08:02 WIB
20150804-Milad Gus Dur, Keluarga Lakukan Ziarah Bersama-Jatim
Istri mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah terharu saat berdoa di makam Gus Dur di komplek pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, Selasa (4/8/2015). Ziarah tersebut bertepatan dengan hari lahir Gus Dur. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kala itu, untuk pertama kalinya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyimpan hati terhadap seorang perempuan. Selama ini, dia hanya menjadi pengagum wanita-wanita di layar perak yang ditontonnya.

Pada awal 1960-an, Gus Dur yang dikenal sebagai kutu buku, menjatuhkan cintanya untuk sosok perempuan yang terkenal cerdas di sebuah madrasah di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur bernama Nuriyah (Sinta Nuriyah). 

Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003) menyebut, saat itu, Gus Dur adalah pengajar di madrasah tersebut. Sedangkan, Nuriyah merupakan siswi di sana.

Nuriyah dikenal sebagai gadis paling cantik di kelasnya. Dia juga punya pemikiran bebas, sehingga menarik perhatian banyak pemuda di lingkungan pesantren itu, tak terkecuali Gus Dur.

Predikat sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy'ari, tak serta-merta membuat Presiden ke-4 Indonesia itu mudah mendapatkan hati Nuriyah.

Justru dia harus berjuang lama sampai gadis pujaannya itu terpikat. Barton menyebut, Gus Dur harus bekerja keras selama beberapa tahun untuk mendapatkan cinta gadis ini.

Nuriyah sering kali menolak buku pemberian dari pemuda yang bakal menjadi wajah toleransi di Indonesia itu.

Bahkan, Gus Dur mendapat tantangan baru ketika harus berangkat ke Kairo, Mesir pada November 1963. Pria yang hobi menonton sepak bola dan film itu mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, satu dari perguruan tinggi kebanggaan umat Islam yang telah berusia ribuan tahun. 

Selama di Kairo, dia intens berkorespondensi dengan Nuriyah. Surat-surat gadis ini datang secara teratur. Dia pun menafsirkannya sebagai tanda tidak sepenuhnya ditolak oleh Nuriyah. 

Menurut Gus Dur, masih dalam buku Barton, Nuriyah pandai berkorespondensi.

Setelah beberapa tahun surat menyurat, anehnya, hubungan keduanya menjadi lebih dalam. Lebih dari sekadar persahabatan, seperti ketika masih di Jombang. Meski, awalnya, hubungan keduanya tidak begitu mulus.

Menjelang 1966, Nuriyah pun menerima Gus Dur sebagai calon pendamping hidupnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Peran Tukang Ramal

Gus Dur dan Sinta Nuriyah saat menjadi pengantin/istimewa
Saat mengucap ijab-kabul, tak ada yang menyangka mereka nantinya akan menjadi imam bagi seluruh bangsa Indonesia.

Hubungan yang semakin dekat, tak lantas membuat Nuriyah langsung mantap menerima Gus Dur sebagai pendampingnya. Sebelum menerima Gus Dur, dia dilanda kegalauan.

Dia ragu, apakah Gus Dur pendamping yang tepat untuknya?

Keraguan itu membuat Nuriyah nekat mendatangi tukang ramal. Dia ingin memastikan pertanyaan di benaknya itu. Atau haruskah dia mencari pemuda lain sebagai pendamping hidupnya?

Rupanya, tukang ramal itu memberikan jawaban tegas, "Jangan mencari-cari lagi, yang sekarang ini akan menjadi teman hidup Anda."

Bukannya tenang, jawaban ini malah mengganggu pikiran Nuriyah. Hatinya tetap belum yakin betul, dia benar-benar mencintai Gus Dur atau tidak.

Namun, intensitas surat menyurat yang dilakukannya dengan Gus Dur mengubah hati gadis yang lahir pada 8 Maret 1948 itu.

Nuriyah menjadi yakin mengenai apa yang sebenarnya ia cari.

Sisi lain, Gus Dur terus bekerja keras menaklukkan pujaan hatinya tersebut. Pada 1966, pendekatan Gus Dur kepada Nuriyah semakin intensif. Melalui suratnya, dia mencoba menanyakan, Nuriyah mau dan siap menjadi istrinya atau tidak. 

Namun, jawaban Nuriyah masih mengambang, "Mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati. Hanya Tuhan yang tahu."

Tak patah semangat, Gus Dur semakin gencar berusaha menaklukkan hati gadis itu.

Setelah menerima hasil ujian akhir tahun pada pertengahan 1966, Gus Dur kembali menulis surat ke Nuriyah dan menumpahkan segenap perasaan kecewanya terhadap hasil ujian yang ia peroleh. Nuriyah segera membalas dengan kata-kata yang menghibur.

"Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda, tetapi paling tidak berhasil dalam kisah cinta."

Balasan Nuriyah ditafsirkan Gus Dur sebagai bentuk penerimaan gadis itu terhadapnya. Setelah itu, Gus Dur segera menulis surat kepada ibunya untuk meminang Nuriyah. Mereka pun bertunangan.

Pada pertengahan 1968, Nuriyah menamatkan sekolahnya di Pesantren Tambakberas Jombang. Dia berencana meneruskan studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Orangtua Nuriyah memutuskan, sebelum mondok di Yogyakarta, Nuriyah dan Gus Dur saling mengikat dalam pernikahan.

Namun, kala itu, Gus Dur tengah berada di Irak, setelah menempuh studi di Mesir. Artinya mereka dipisahkan jarak lebih dari 12.000 kilometer.

 

Nikah Diwakilkan

20150804-Milad Gus Dur, Keluarga Lakukan Ziarah Bersama-Jatim
Istri mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah saat melakukan ziarah di makam Gus Dur di komplek pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, Selasa (4/8/2015). Ziarah tersebut bertepatan dengan hari lahir Gus Dur. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Gus Dur kala itu sudah setengah jalan dalam studinya di Irak dan tidak mempunyai waktu maupun uang untuk menikah di Tanah Air.

Masalah ini akhirnya dapat dipecahkan dan pernikahan antara Gus Dur dan Nuriyah akan dilangsungkan September tahun itu juga dengan mewakilkan pernikahannya kepada sang kakek dari garis ibu, Kiai Bisri Syansuri.

Jalan keluar itu malah menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak bagi mereka yang tidak tahu apa rencana sebenarnya.

Para tamu menjadi heboh ketika melihat seorang kiai berumur 81 tahun bersanding dengan seorang pengantin wanita usia muda.

Walaupun secara teknis Gus Dur dan Nuriyah telah menikah, mereka menganggap perkawinan ini tak lebih daripada pertunangan. Mereka sepakat akan hidup bersama setelah menyelesaikan studi. 

Dari pernikahan tersebut, Gus Dur bersama Nuriyah dikaruniai empat anak perempuan, yakni Alissa Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnusfus, dan Inayah Wulandari.

Tidak seperti kebanyakan kiai yang melakukan praktik poligami, Gus Dur mengikuti jejak ayahnya KH Wahid Hasyim bermonogami.

Dalam mendidik para buah hatinya, Gus Dur mengedepankan demokrasi. Dia tidak bertindak otoriter dalam menentukan jalan anak-anaknya, apakah itu persoalan pendidikan, pacaran, maupun pekerjaan yang hendak mereka ambil.

Gus Dur hanya mengarahkan dan memberikan saran.

 

**Tidak semua orang bisa dan punya kesempatan untuk bertemu dengan belahan jiwa dan saling memberikan cinta abadi hingga lanjut usia sampai maut memisahkan. Seribu Kali Cinta merupakan ungkapan tekad untuk memberikan cinta abadi kepada sang belahan jiwa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya