Aturan Batu Bara Bukan Limbah Bahaya Dinilai Jadi Ancaman Kesehatan dan Lingkungan Hidup

Pencemaran dalam abu batubara dapat menyebabkan terjadinya kanker, penyakit ginjal, kerusakan organ reproduksi, dan kerusakan pada sistem saraf khususnya pada anak-anak

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Mar 2021, 17:48 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2021, 17:48 WIB
ilustrasi abu batu bara.
ilustrasi abu batu bara. (dok. Andraberila/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) menilai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adanya potensi pengenduran penegakan hukum terhadap pelaku usaha terlebih pengelola batu bara. Diketahui pemerintah telah menghapus limbah baru bara bukan lagi masuk kategori limbah bahan berbahan dan beracun (B3).

"Adanya potensi 'mengendurkan' penegakan hukum terhadap pelaku usaha pengelola abu batu bara. Sebagai contoh, dalam konteks penegakan hukum perdata, pengelola abu batubara berpotensi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena bukan merupakan kategori B3," kata Kepala divisi Pengendalian Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhilah, Jumat (12/3/2021).

Tidak hanya itu kata dia dalam konteks penegakan hukum pidana, dengan dikeluarkannya abu batubara dari kategori limbah B3, para pelaku usaha tidak dapat dikenakan ancaman pidana lagi. Sebab dalam aturan tersebut tidak ada aturan ketat terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan pengelolaan abu batubara ataupun tidak melakukan pengelolaan abu batubara namun tidak sesuai spesifikasi.

"Penegakan hukum bagi pelaku usaha untuk tidak serius mengelola abu batubara yang dihasilkannya diperlemah dengan ketentuan ini," ungkapnya.

Sehingga pada akhirnya, bentuk pelonggaran regulasi pengelolaan abu batubara ini memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Dia juga membeberkan studi membuktikan bahwa bahan beracun dan berbahaya yang ditemukan dalam abu batubara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia.

"Pencemaran dalam abu batubara dapat menyebabkan terjadinya kanker, penyakit ginjal, kerusakan organ reproduksi, dan kerusakan pada sistem saraf khususnya pada anak-anak," katanya.

Sebelumnya diketahui pemerintah menghapus limbah baru bara bukan lagi masuk kategori limbah bahan berbahan dan beracun (B3). Penghapusan tersebut tertuang pada peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Limbah Padat

Kategori limbah B3 adalah Fly Ash dan Buttom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku, serta keperluan sektor konstruksi. Pada pasal 459 ayat 3 (C) dijelaskan Fly Ash baru bara dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tidak termasuk sebagai limbah B3, melainkan nonB3.

"Pemanfaatan Limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidi"zed Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan," dalam aturan tersebut dikutip merdeka.com, Jumat (12/3).

Sementara pada pasal 54 ayat 1 huruf a PP 101/2014 tentang pengelolaan limbah B3 dijelaskan bahwa debu batu bara dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah B3.

"Contoh Pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku antara lain Pemanfaatan Limbah B3 fly ash dari proses pembakaran batu bara pada kegiatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dimanfaatkan sebagai substitusi bahan baku alumina silika pada industri semen," dalam aturan tersebut.

Tetapi Bled tersebut dicabut lewat PP 22, bersama empat PP lainnya. Diketahui PP tersebut diteken Jokowi pada 2 Februari 2021.

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya