Kisah Suci Apriani, Gadis Muda Penentang Praktik Pernikahan Anak di NTB

Suci Apriani mengaku kerap mendapatkan gunjingan ataupun cibiran dari warga karena menggagalkan pernikahan anak.

oleh Ika Defianti diperbarui 08 Apr 2021, 14:55 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2021, 20:05 WIB
Suci Apriani, gadis asal NTB gencar menyuarakan kepedulian tentang fenomena pernikahan anak.
Suci Apriani, gadis asal NTB gencar menyuarakan kepedulian tentang fenomena pernikahan anak. (Foto: dokumentasi Suci Apriani)

Liputan6.com, Jakarta - Suci Apriani, perempuan muda asal Nusa Tenggara Barat (NTB) berhasil menggagalkan sejumlah pernikahan anak. Dia aktif menyuarakan permasalahan anak dan perempuan di wilayahnya.

Langkah Suci tidaklah mudah. Dia menuturkan, berawal dari keprihatinan karena angka pernikahan anak yang cukup tinggi, harus melawan rasa tidak percaya dirinya saat berhadapan dengan orang banyak.

Saat itu usianya masih 17 tahun, masih duduk di bangku SMA. Suci yang tumbuh sebagai anak pemalu itu harus memberanikan diri mengajak para remaja di Desa Kediri, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk menyuarakan tentang permasalahan anak dan perempuan. Salah satunya mengenai pernikahan anak.

Ketertarikan Suci berawal dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerjasama dengan empat desa di Lombok Barat. Setiap desa membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) pada 2017, seperti halnya di desa tempat tinggalnya.

Suci yang kini merupakan mahasiswi tingkat atas di Universitas Mataram itu pun menjadi bagian KPAD perwakilan remaja pertama setelah kelompok itu terbentuk dan legal.

Saat memulainya, dia mendatangi rumah warga untuk meminta remaja di setiap keluarga ikut serta dalam gerakan tersebut. Awalnya, tak banyak remaja yang mau ikut bergabung.

Sebab, pernikahan anak di desanya dianggap lumrah oleh sejumlah pihak. Selain alasan budaya, permasalahan ekonomi menjadi faktor terlaksana pernikahan anak.

Sejak 2017 hingga 2021, Suci yang kini berusia 21 tahun, bersama teman-temannya telah beberapa kali menggagalkan pernikahan anak di desanya. Umur calon mempelai pun bervariatif, mulai dari 13 tahun untuk perempuan hingga 17 tahun itu laki-laki.

"Awal 2017 ada dua aduan, yang satu telah digagalkan dan satunya tidak bisa. Karena si perempuan sudah dianggap tidak bersih atau suci, jadi harus tetap dinikahkan," kata Suci saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 16 Maret 2021.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Cerita Mediasi Gagalkan Pernikahan Anak

Diskusi mengenai soal pernikahan anak dengan warga.
Diskusi mengenai soal pernikahan anak dengan warga. (Foto: dokumentasi Suci Apriani)

Suci mengatakan, penggagalan itu berawal dari aduan warga ataupun keluarga yang mengetahui adanya rencana pernikahan. Dia kemudian melakukan mediasi bersama calon mempelai perempuan dan keluarganya.

Biasanya mediasi itu dilakukan saat terjadi tradisi merarik atau kawin lari yang merupakan istilah dalam perkawinan Suku Sasak. Yakni seorang laki-laki membawa kabur perempuan untuk dijadikan istri.

Menurut Suci, biasanya kedua belah pihak akan membuat janji untuk bertemu dan si perempuan akan diajak ke rumah keluarga pihak laki-laki.

Saat tradisi merarik, calon istri akan diinapkan beberapa hari atau maksimal tiga hari. Saat ini, kata Suci, muncul pemahaman bahwa sejumlah orang melakukan tradisi tersebut dengan seenaknya.

"Jadi tiga hari itu kesempatan kami untuk melakukan mediasi calon pengantin perempuan. Kalau melebihi tiga hari, pernikahan akan susah untuk digagalkan. Bila berhasil kita akan antarkan dia pulang ke keluarganya," ucap Suci.

Saat ada penggagalan pernikahan, warga akan beranggapan hal itu sebagai aib. Sedangkan pihak laki-laki akan terus berusaha mempertahankan agar pernikahan tetap terlaksana.

Dia mengatakan, beberapa kali muncul penolakan penggagalan pernikahan anak dari warga, keluarga pihak laki-laki, bahkan tokoh desa setempat.

Suatu hari, dia pernah menjemput salah satu perempuan yang akhirnya memilih untuk tidak menikah. Karena ada penolakan dari warga, saat proses penjemputan dia pun menggunakan mobil pemerintah. Alasannya demi keselamatan.

"Saat si calon perempuan kita antarkan pulang dia ditolak warga sekitar, karena pernikahannya gagal. Mereka mengelilingi mobil yang kami naiki, akhirnya sambil menunggu warga tenang dan mau menerima, si perempuan ditampung sementara di rumah aman," ucap Suci.

Mendapat Cibiran

Suci Apriani bersama sejumlah remaja perempuan mengkampanyekan penolakan pernikahan anak.
Suci Apriani bersama sejumlah remaja perempuan mengkampanyekan penolakan pernikahan anak (Foto: dokumentasi Suci Apriani)

Selain penolakan, Suci juga seringkali mendapatkan gunjingan ataupun cibiran dari warga karena menggagalkan pernikahan anaknya.

Tak ditegur sapa oleh warga sudah menjadi makanan sehari-hari Suci. Menurut dia, aduan yang paling banyak diterima yakni saat pandemi Covid-19. Dia mengaku mencapai 25 laporan pernikahan anak.

Padahal, pada 2019 hanya terdapat empat aduan soal pernikahan anak. Peningkatan jumlah laporan itu merupakan dampak kesadaran warga mengenai pernikahan anak mulai membaik.

"Tahun 2021 ini sudah ada lima aduan dan semua bisa digagalkan. Karena alhamdulillah sudah ada Perda tentang Pencegahan Perkawinan Anak di NTB," ujar dia.

Selain melakukan mediasi untuk calon mempelai dalam pernikahan anak, Suci bersama teman-temannya juga seringkali melakukan kegiatan sosialisasi terkait hak anak dan perempuan.

Sebab sejauh ini, banyak anak perempuan di desanya yang belum terpenuhi haknya secara utuh. Mulai dari hak pendidikan, berpendapat di depan umum, sampai pelayanan kesehatan.

Pilihan Selain Menikah Dini

Kegiatan petisi mengumpulkan tanda tangan untuk mencegah pernikahan anak.
Kegiatan petisi mengumpulkan tanda tangan untuk mencegah pernikahan anak. (Foto: dokumentasi Suci Apriani)

Salah satu cara yang dilakukan yaitu membina dan mendorong para anak agar terjun dalam dunia usaha. Misalnya membuat kerajinan tangan.

"Bukan keuntungan dari usahanya yang kita harapkan. Tapi bagaimana anak ini punya kegiatan positif yang menjadi pilihan selain menikah," ucap Suci.

Selain itu edukasi juga diberikan kepada para orang tua hingga remaja. Seperti melalui media sosial, diskusi kecil, posyandu remaja, hingga gotong-royong yang dilakukan secara berkala.

Suci mengatakan, dengan adanya rangkaian kegiatan, masyarakat menjadi lebih paham mengenai sejumlah permasalahan anak dan perempuan. Bahkan saat ini dari hasil kegiatan yang ada, masyarakat ikut serta dalam penyebarluasan pencegahan kekerasan, pemenuhan hak anak, hingga menyuarakan kasus pelecehan.

"Karena ini bukan tentang anaknya saja, bila orangtua paham tidak akan ada kasus itu (pernikahan anak). Keputusan juga lebih banyak dari orangtuanya, untuk melanjutkan atau tidak pernikahan itu," tandas Suci.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya