Liputan6.com, Jakarta - Ketua Bidang Pengembangan Peranan Perempuan Tunas Indonesia Raya (TIDAR), Rahayu Saraswati menilai, saat ini banyak yang keliru memaknai feminisme yang diperjuangkan Raden Ajeng (RA) Kartini.
Hal itu disampaikan Rahayu Saraswati dalam diskusi virtual dalam rangka memperingati Hari Kartini yang digelar TIDAR, organisasi sayap Partai Gerindra.
Advertisement
"Yang pertama kalau kita bicara tentang Kartini kita sebenarnya merayakan feminis sejati Indonesia ya, banyak yang saya rasa mulai keliru tentang pemahaman kata feminisme," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (23/4/2021).
Menurut Sara, panggilan akrab Rahayu Saraswati, feminisme adalah gerakan emansipasi wanita yang berkembang sejak abad ke-18, saat dimulai tuntutan persamaan hak politik, ekonomi, budaya dan ruang publik. Feminisme bukan ideologi yang menebar kebencian pada kaum pria.
Dia menuturkan, kekeliruan arti feminisme semakin kuat dari pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dari sini muncul perdebatan mengenai feminisme.
"Sayangnya sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan karena kembali lagi ada mulai perbedaan persepsi yang mungkin bisa kita katakan lupa tentang perjuangan Kartini," kata dia.
Untuk itu, dia berharap feminisme tidak lagi menjadi perdebatan. Karena feminisme pada ujungnya, pada hakekatnya adalah pemikiran atau kesepakatan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
"Hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk bisa bekerja, hak untuk melakukan hal-hal yang mungkin berbeda dan bertolak belakang dari budayanya," kata dia.
Sara mengatakan, ada sejumlah tantangan besar untuk mencapai tujuan feminisme. Antara lain soal keterwakilan perempuan di sejumlah lini, baik di pemerintahan maupun lembaga dan organisasi.
Sebab, arti feminisme saja saat ini masih menjadi perdebatan. Padahal, menurut dia, feminisme adalah kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
"Kalau sistemnya itu tidak memberikan ruang adanya keterwakilan perempuan tersebut di swasta maupun juga di pemerintahan sudah pasti dengan sendirinya akan mempersulit adanya perempuan untuk naik kelas," kata dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Keterwakilan Perempuan di DPR Belum Mencapai 30 Persen
Selain itu, sempitnya ruang perempuan dalam mendapatkan pendidikan juga menjadi salah satu tantangan soal kesamaan hak. Untuk itu dia berharap kedepan hal ini tidak terjadi lagi, terlebih jika ingin adanya keterwakilan perempuan terwujud.
Apalagi Pemerintah tengah mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan. Sementara faktanya, sejak pemilihan umum (Pemilu) 2004 lalu, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30 persen.
"Kalau misalkan mau ada keterwakilan perempuan tapi perempuan tidak berpendidikan kan tidak bisa. Padahal rasio kependudukan di Indonesia itu beda tipis 50,9% laki-laki 49 persen perempuan artinya hampir sama," kata dia.
Advertisement