Liputan6.com, Jakarta Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Dalam penangkapan yang dilakukan, tim gabungan mengamankan sejumlah uang terkait suap jual beli jabatan di Pemkab Nganjuk Jawa Timur. Uang tersebut masih dalam proses penghitungan.
Baca Juga
Yang menarik, Bupati Nganjuk Novi ini dikenal sebagai sosok yang banyak mendapatkan pujian dari sejumlah kalangan. Bukan hanya itu saja, dalam proses OTT ini, disebutkan dipimpin oleh penyidik KPK yang ternyata tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk alih status sebagai ASN.
Advertisement
Hal ini pun sempat diutarakan oleh Mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui akun Twitter pribadinya. Dia pun kembali menyentil proses TWK di lembaga antirasuah tersebut.
Diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tak lolos dalam TWK tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah penyidik yang mengungkapkan kasus korupsi kakap.
"Jadi gini, OTT kasus besar yang masih selamatkan muka KPK pasca Revisi UU & Pimpinan baru ternyata ditangani penyelidik/penyidik yang justru terancam disingkirkan gara-gara tes wawasan kebangsaan yang kontroversial," cuit Febri dalam Twitter pribadinya, seperti dilihat Liputan6com, Senin (10/5/2021).
Febri merinci sejumlah peristiwa OTT yang dilakukan oleh penyidik yang terancam tersingkir. Mulai dari komisioner KPU hingga yang terbaru pada hari ini, Bupati Nganjuk.
"Misal: OTT KPU, Bansos Covid19, Benur KKP, Cimahi, Gub Sulsel, Nganjuk, dan lainnya," rinci Febri.
Walau demikian, Febri tidak mengungkap siapa nama penyidik/penyilidik yang disebut tidak lulus tes tersebut namun banyak berkontribusi dalam OTT kasus besar KPK.
Sementara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana langsung melihat bahwa tak cocok antara tak lolosnya pegawai akan kinerja dalam menindak kasus korupsi. Hal ini dibuktikan dengan proses OTT Bupati Nganjuk tersebut.
"OTT Nganjuk ini dipimpin oleh seseorang yang namanya tercantum diantara 75 pegawai KPK. Konyolnya, orang ini malah disebutkan tidak memiliki wawasan kebangsaan karena gagal melewati Tes Wawasan Kebangsaan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin (10/5/2021).
ICW pun bingung terhadap tolak ukur pegawai KPK yang dianggap memiliki wawasan kebangsaan. Pasalnya, Kurnia menilai tugas penyelidik dan penyidik KPK yang menangkap para koruptor sudah melampui rasa cinta kepada tanah air.
"Jika TWK dianggap sebatas tes untuk menguji rasa cinta terhadap tanah air, bukankah selama ini yang dilakukan penyelidik dan penyidik KPK telah melampaui itu?" ujarnya.
"Menangkap koruptor, musuh bangsa Indonesia, dengan risiko yang kadang kala dapat mengancam nyawanya sendiri," sambung Kurnia.
Untuk itu, ICW prihatin dengan kondisi lembaga antirasuah dimana banyak pegawai yang memiliki wawasan kebangsaan namun tak diloloskan dalam tes. Dia heran pegawai-pegawai yang telah bekerja maksimal justru disingkarkan.
"Maka dari itu, kondisi KPK kian mengkhawatirkan. Bisa dibayangkan, tatkala ada pegawai yang bekerja maksimal, malah disingkirkan oleh Pimpinan KPK sendiri dengan segala cara, salah satunya TWK," kata Kurnia.
Diakui
Penangkapan terhadap Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat dipimpin oleh Harun Al Rasyid, Kasatgas Penyelidik KPK yang disebut menjadi bagian dari 75 pegawai yang tak lolos asesmen TWK.
Hal tersebut dibenarkan sendiri oleh Harun Al Rasyid.
Kepada Liputan6.com, Harun tak membantah dirinya yang memimpin penangkapan terhadap Novi Rahman Hidayat. Dia hanya memberikan keterangan singkat soal perihal ini.
"InsyaAllah," ujar Harun kepada Liputan6.com, Senin (10/5/2021).
Polemik soal TWK ini juga menimbulkan banyak kabar. Salah satunya, beredar surat keputusan (SK) pimpinan KPK terkait hasil asesemen TWK pegawai.
Dalam SK itu disebutkan jika 75 pegawai yang tak lolos uji TWK akan dinonaktifkan.
Dalam SK yang tersebar terdapat empat poin, pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.
Kedua, memerintahkan kepada pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Ketiga, menetapkan lampiran keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Dalam surat itu mencantum salinan disampaikan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN), Dewan Pengawas KPK, serta para pegawai yang tak lolos ASN.
Namun, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan pihaknya hanya mengumumkan hasil asesmen TWK terhadap 1.351 pegawai lembaga antirasuah.
Menurut dia, dari 1.351 pegawai, 75 di antaranya tak lulus uji TWK tersebut. Dirinya memastikan pihaknya tak pernah mengumumkan akan adanya pemecatan terhadap pegawai yang tak lulus uji TWK tersebut.
"Kami hanya mengumumkan hasil TWK, dan tidak ada pemecatan kepada siapapun pegawai KPK," ujar Ghufron saat dikonfirmasi, Minggu (9/5/2021).
Ghufron memastikan pihaknya bukan melempar tanggung jawab terkait hasil uji TWK yang dijalani pegawai lembaga antirasuah sebagai syarat ASN, menyusul adanya pernyataan untuk berkoodinasi dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kemenpan RB.
"Hal ini bukan kami melempar tanggung jawab, namun untuk menyamakan persepsi dan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang tugas dibidang aparatur sipil negara," jelas Ghufron.
Koordinasi kepada BPN dan Kemenpan RB menurut Ghufron, lantaran dua lembaga tersebut merupakan lembaga yang mengurus soal status ASN.
Sementara KPK merupakan lembaga penegak hukum yang mengatur kepegawaian secara otonom dan berbeda dengan ASN.
"Secara materiil, mengapa itu kami lakukan, karena itu semua adalah proses hukum yang didasarkan pada pemahaman dan kondisi hukum sebelum adanya putusan MK atas uji materi dan formil terhadap UU 19/2019," kata Ghufron.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Beri Kesempatan
Politisi Golkar Agun Gunanjar Sudarsa menyatakan, mereka harus diberi peluang lagi. Misalnya dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"KPK harus membuka PPPK yang ukuran gajinya tidak bisa disamakan dengan ASN biasa. Pasalnya kompetensinya yang dibutuhkan itu sangat luar biasa, maka mereka tidak terikat terhadap pangkat dan golongan tapi lebih kepada kompetensi," kata Agun dalam keterangannya, Senin (10/5/2021).
Pria yang duduk sebagai anggota Komisi XI DPR ini menuturkan, KPK harus mengklasifikasikan dulu bidang apa saja yang membutuhkan PPPK. Nantinya semua harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Mereka juga harus setia pada Pancasila dan UU 1945 atau persis sama dengan ASN lainnya," ungkap Agun.
Menurut dia, opsi ini bisa diambil sehingga tidak ada kebinggungan seperti ini.
"Jadi bukan seperti seleksi sekarang yang malah membuat saya bingung. Kok jadi tes wawasan kebangsaan," kata Agun.
Senada, anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI, John Kenedy Azis berharap agar TWK dapat dilakukan secara objektif sehingga tak ada pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, hasilnya juga disampaikan dengan transparan.
"Agar masyarakat benar-benar mengetahui mana saja penyidik atau pegawai KPK yang telah banyak berkontribusi terhadap Pencegahan, Penanggulangan dan Penindakan korupsi, serta mana saja yang tidak berkontribusi di republik tercinta ini," kata dia.
John mengapresiasi sikap pimpinan KPK yang tidak langsung memecat 75 pegawai yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Namun anggota Komisi VIII ini juga meminta transparansi komisi antirasuah itu dalam pengumuman hasil tes pegawainya.
"Saya usulkan agar kepada calon yang di nyatakan tidak lulus sebaiknya diberikan kesempatan untuk ikut remedial training dan dilakukan tes yang lebih tepat untuk mutasi menjadi ASN," kata John Kenedy.Â
Advertisement
KPK Diujung Tanduk
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai kondisi KPK sedang berada di ujung tanduk. Sebab 75 pegawai KPK terancam diberhentikan lantaran tidak lolos tes kebangsaan. Dia menilai, ada upaya pemberantasan korupsi dikerdilkan, dilumpuhkan hingga dimatikan.
"Jika dilihat, kondisi kita dalam pemberantasan korupsi saat ini kian parah di bulan Ramadhan, miris. Bulan yang semestinya membentuk pribadi kita yang anti-korupsi dan anti suap. Dapat dikatakan upaya pemberantasan korupsi tidak hanya mau dikerdilkan, atau mau dilumpuhkan, tetapi memang ingin dimatikan," ujar Mardani kepada wartawan, Senin (10/5/2021).
Dia meminta agar publik perlu menyadari bahwa KPK saat ini benar-benar ada di ujung tanduk. Setidaknya ada tiga monumen reformasi, yakni KPK, KPU, hingga Mahkamah Konstitusi.
"Monumen yang didirikan mahasiswa, LSM dan akademisi di 1998. Kita tidak ingin salah satunya hancur lebur dan jadi buta huruf terhadap keadilan," tegasnya.
Mardani mengatakan, tes wawasan kebangsaan tidak ada dalam UU KPK. Dalam revisi sebelumnya hanya mengatur alih status kepegawaian
"Lucu jika melihat tes ini karena secara peraturan per UU KPK yang baru tidak mengatur alih status kepegawaian KPK melalui test wawasan kebangsaan," ucapnya.