ICJR: Hukuman Terhadap Pelaku Ujaran Kebencian Palestina Beri Dampak Buruk

Dalam kasus MS misalnya. Siswi tersebut tidak perlu dikeluarkan dari sekolah. ICJR menilai sanksi tersebut memberi stigma baru dan memberikan resiko terhambatnya akses pendidikan bagi MS.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 19 Mei 2021, 15:34 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2021, 15:33 WIB
Ilustrasi bendera Palestina
Palestina (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti penanganan kasus penghinaan terhadap Palestina yang menimpa petugas kebersihan berinsial HL (23) di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Siswi SMA berinisial MS di Kabupaten Bengkulu Tengah.

Dalam rilisnya, ICJR menjelaskan HL dan MS tidak sengaja mengujarkan kebencian pada golongan tertentu.

Menurut dia, HL dan MS pada dasarnya tidak memiliki pemahaman mempuni tentang isu okupasi Israel atas Palestina. Unggahan dilakukan atas dasar reaksi ketidaktahuan dan ketidakbijakan menggunakan media sosial.

ICJR menyebut, keduanya tentu tidak bisa dijerat UU ITE. Sementara itu, ICJR menyarankan kepada pihak kepolisian memberikan edukasi.

"Bukan hukuman yang justru memberikan dampak yang lebih buruk ataupun kriminalisasi berlebihan bahkan penahanan yang tidak diperlukan," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (19/5/2021).

Dalam kasus MS misalnya. Siswi tersebut tidak perlu dikeluarkan dari sekolah. ICJR menilai sanksi tersebut memberi stigma baru dan memberikan resiko terhambatnya akses pendidikan bagi MS.

"Dinas pendidikan yang menggelar rapat untuk penyelesaian sengkata ini pun harusnya peka, menganalisis secara mendalam dampak sistemik yang akan terjadi jika MS dikeluarkan dari sekolah, langkah tersebut justru memperburuk akar masalah, seharusnya MS diberikan edukasi," ucap dia.

Sementara pada kasus HL, pihak kepolisian tidak perlu melakukan penahanan. Dengan begitu, HL justru kehilangan pekerjaan, memiliki catatan kriminal dan pemenjaraan akan berdampak sistemik pada HL beserta keluarganya.

"Aparat tidak perlu mengambil kesempatan seolah melakukan hal yang baik dengan memproses kasus ini, padahal yang perlu dilakukan adalah mengedukasikan MS, HL dan publik," ucap dia.

ICJR menyinggung Surat Edaran Kaplori Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, bahwa dalam konteks penegakan hukum di ruang digital Polri harus mengedepankan edukasi dan langkah persuasif atas dugaan kriminalisasi.

"Aparat jelas punya cukup mental untuk melihat bahwa 2 kasus ini tidak memerlukan intervensi hukum pidana," ucap dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Evaluasi Terhadap Penggunaan Hukum

Untuk itu ICJR mendesak agar Kepolisian melakukan evaluasi terhadap penggunaan hukum pidana yang sangat eseksif ini, menghentikan segala proses pidana terhadap kasus-kasus serupa yang mana tidak memerlukan intervensi hukum pidana sama sekali.

ICJR juga meminta Presiden turun tangan dalam persoalan pembatasan hak atas pendidikan dan perlindungan anak. Anak perlu mendapatkan kembali haknya, serta mendapatkan edukasi, bukan menjadi korban kebijakan populis.

Sebelumnya, polisi menahan seorang petugas kebersihan berinisial HL (23) di Lombok, Nusa Tenggara Barat sejak 17 Mei 2021, yang mengunggah konten bernuansa penghinaan terhadap Palestina di media sosial TikTok.

Sementara itu, MS, seorang siswi SMA di salah satu Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng), dikeluarkan dari sekolahnya pada 18 Mei 2021.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya