Liputan6.com, Jakarta Selasa pagi, 25 Mei 2021, Letjen TNI Ganip Warsito dilantik Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jenderal bintang tiga yang baru 3 bulan menjabat sebagai Kepala Staf Umum (Kasum) TNI itu menggantikan koleganya Letjen TNI Doni Monardo.
"Kami mohon pamit sebagai Kepala BNPB sekaligus sebagai Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Juga berakhirnya masa tugas sebagai TNI aktif dan memasuki masa purna bakti," ungkap Doni di Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Sementara, Ganip menyebut mengemban amanah sebagai Kepala BNPB tidaklah gampang. Sebab, BNPB merupakan lembaga yang bertugas menangani bencana sehingga membutuhkan pemimpin yang totalitas. Selain itu, Ganip mengaku belum pernah menduduki jabatan di luar struktural TNI.
Advertisement
"Dari perjalanan karier saya, inilah pertama kali saya keluar dari Mabes TNI," ucapnya dalam acara Serah Terima Jabatan Kepala BNPB yang disiarkan melalui YouTube BNPB Indonesia.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengamini pernyataan Ganip tersebut. Menurutnya, tak mudah mengemban jabatan sebagai Kepala BNPB, apalagi dengan status melanjutkan pekerjaan Doni Monardo yang sangat dikenal publik terkait kinerjanya.
"Beliau (Doni Monardo) sangat diapresiasi dalam penanganan bencana di indonesia. Setahu saya tak ada aturan tentang batasan masa jabatan Kepala BNPB. Sehingga harusnya Pak Doni masih bisa dipertahankan, utamanya untuk penanganan pandemi Covid-19, karena Beliau yang sejak awal Gugus Tugas hingga jadi Satgas Penanganan Covid-19. Jadi menurut saya Beliau layak dipertahankan," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Selasa (25/5/2021).
Dia mengatakan, kendati Doni Monardo memasuki masa pensiun, masa jabatan Kepala BNPB tidak berkait dengan kedinasannya sebagai perwira tinggi TNI.
"Jadi, kalaupun sudah purna tugas di TNI, Pak Doni seharusnya masih bisa jadi Kepala BNPB, setahu saya aturan yang membatasi itu tidak ada," tegas Trubus.
Dia mengatakan, umumnya publik mengapresiasi langkah Doni Monardo dalam penanganan bencana. Khususnya terkait koordinasi yang dia bangun hingga ke daerah-daerah dan selalu terjun langsung ke titik bencana.
"Beliau sangat concern dengan penanganan semua bencana, gunung meletus, gempa bumi, dan Covid-19, tak ada yang luput," beber Trubus.
Namun begitu, dia memaklumi langkah Presiden mengganti Kepala BNPB sebagai bentuk penyegaran dalam sebuah organisasi. Untuk itu, dia berharap Ganip segera bergerak cepat dan melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Kepala BNPB sebelumnya.
"Tapi perlu adaptasi dulu, itu yang utama. Bagaimana kordinasi dengan daerah, karena masalahnya kan bencana di daerah, itu PR berat untuk berkolaborasi dengan daerah. Sebagai orang baru tentu tidak bisa mudah langsung tune in dengan mereka. Apalagi Kepala BNPB juga juga menyandang status sebagai Ketua Satgas Penanganan Covid-19," tegas Trubus.
Senada dengan Trubus, Anggota Komisi VIII DPR Lisda Hendrajoni juga menganggap Doni Monardo sebagai Kepala BNPB telah bekerja dengan baik selama 2 tahun terakhir.
Khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 dengan baik.
"Kalaupun terdapat beberapa kekurangan, terutama teknis di lapangan, diharapkan dapat lebih baik lagi di era kepemimpinan Kepala BNPB yang baru," harap Lisda kepada Liputan6.com, Selasa (25/5/2021).
Sebagai mitra kerja di DPR, dia paham betul masalah dan tantangan yang dihadapi BNPB. Lisda dengan tegas mengatakan, tantangan yang menunggu Ganip Warsito adalah teknis di lapangan, koordinasi antarlembaga dan/atau badan terkait, baik itu kementerian, aparat penegak hukum, juga kepala daerah.
"Sinergitas antarlembaga dan/atau badan terkait memang sangat penting, inilah upaya kita bersama yang insyaAllah dapat bermanfaat untuk masyarakat," ujar Lisda.
Selain itu, Kepala BNPB yang baru menurutnya juga punya pekerjaan rumah seperti pendataan wilayah bencana, fokus pada mitigasi bencana serta meningkatkan kesejahteraan tenaga sukarelawan.
"Besar harapan saya Kepala BNPB yang baru dapat melanjutkan kinerja Kepala BNPB sebelumnya yang sudah baik dan lebih menyempurnakan lagi apa yang masih kurang. Bersama dengan Komisi VIII DPR RI kita dapat melaksanakan amanah rakyat," Lisda menandaskan.
Sementara itu, dalam sambutannya saat serah terima jabatan (sertijab) Kepala BNPB yang baru di Graha BNPB, Selasa siang, Doni Monardo juga menyampaikan pekerjaan yang belum sempat dia tuntaskan setelah memimpin lembaga ini selama 2 tahun 4 bulan.
"Kita masih menghadapi sejumlah persoalan yang belum selesai dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi di berbagai daerah karena begitu seringnya bencana terjadi, gempa bumi, tsunami, likuifaksi, erupsi gunung berapi, ancaman hidrometeorologi dan begitu banyak persoalan terjadi. Tapi semua dapat terkendali dengan baik, ini semua berkat kerja keras kolaborasi para ASN BNPB," ucap Doni.
Dia menyebut World Bank mencantumkan Indonesia sebagai salah satu dari 35 negara dengan tingkat ancaman bencana tertinggi di dunia. Setiap tahun, kata dia, Indonesia mengalami kerugian ekonomi sekitar Rp 22 triliun akibat bencana yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
"Sehingga BNPB tidak akan mungkin bekerja sendirian, bencana adalah urusan bersama kita harus mampu menghimpun seluruh sumber daya bukan hanya sumber daya pemerintah TNI-Polri, tapi juga sumber daya masyarakat dan ternyata SDM masyarakat Indonesia luar biasa," tegas Doni.
"Ketika ada kejadian bencana terutama dalam skala menengah ke atas tanpa dikomando seluruh instrumen bangsa kita akan merapatkan barisan, akan mendaftarkan nama-nama mereka baik secara pribadi maupun atas nama kelembagaan dan ini mungkin tidak dimiliki negara lain," dia menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Awalnya untuk Korban Perang
Tak banyak yang mengetahui bahwa cikal bakal Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lahir sejak kemerdekaan RI dideklarasikan pada 1945. Ketika itu Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
Periode berikutnya, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial.
Aktivitas BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat. Penanganan bencana secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor 14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
Semua itu didasarkan pada pemahaman bahwa wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Demikian pula Cincin Api Pasifik dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik, menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya.
Dikutip dari laman www.bnpb.go.id, pada periode ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979.
Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979 membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta sosial. Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
Bencana sosial yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
Gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB).
Badan ini memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.
Dalam merespons sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Advertisement
Jenderal Bintang 3 di BNPB
Jabatan Doni Monardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berakhir sudah. Hal itu dikonfirmasi oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa (25/5/2021). Hadi menyebut Doni diganti lantaran yang bersangkutan memasuki masa pensiun di kemiliteran.
"Karena Pak Doni akan pensiun pada 1 Juni 2021, sehingga harus diganti oleh perwira tinggi TNI yang aktif," ujar Hadi.
Menjabat sebagai Kepala BNPB sejak 9 Januari 2019, atau selama dua tahun terakhir, Letjen TNI Doni Monardo kerap mengingatkan masyarakat tentang perlunya meningkatkan literasi kebencanaan.
Hal itu penting mengingat Indonesia termasuk dalam negara rawan bencana. Negara ini masuk dalam 35 negara paling rawan risiko bencana. Dari Februari 2020 hingga Februari 2021 sedikitnya ada 3.253 kejadian bencana di Indonesia.
"Setiap hari setidaknya ada sembilan kali kejadian bencana yang terjadi, apakah itu gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung," ungkap Doni dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana Tahun 2021 pada 3 Maret 2021 di Istana Negara, Jakarta.
Supaya bisa mengantisipasi dan menghadapi bencana, literasi kebencanaan amat perlu ditingkatkan.
"Literasi kebencanaan sejak dini senantiasa kita perkuat dalam setiap kesempatan di tingkat tapak, kemudian pada pemerintah dan juga pemerintah daerah," tutur Doni Monardo saat itu mengutip laman setkab.go.id.
Keinginanannya untuk meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Doni Monardo juga kerap menggaungkan mengenai konsep kerja sama dengan pendekatan pentaheliks baik dalam mengatasi COVID-19 maupun masalah kebencanaan lain. Penta adalah lima dan heliks adalah jalinan. Artinya jalinan dari beberapa pihak untuk mewujudkan suatu hal.
"Pemerintah bersama akademisi, dunia usaha, komunitas, relawan, dan media terus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan mulai dari tingkat individu, keluarga dan masyarakat," ujarnya saat itu.
Kini, kendali BNPB beralih pada Letjen TNI Ganip Warsito. Ganip yang merupakan adik kelas Doni adalah lulusan Akademi Militer 1986. Ganip bergabung di divisi infanteri hingga menjadi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan.
Jabatan Ganip Warsito sebagai Kepala Staf Umum (Kasum) TNI baru dijalaninya selama tiga bulan yaitu sejak 1 Februari 2021. Sebelum itu, ia pernah menjabat sebagai Pangkogabwilhan III dan pernah diamanatkan sebagai Pangdam XIII/Merdeka dan Asops Panglima TNI.
Pria kelahiran Magelang, 23 November 1963 tersebut pernah menjabat sebagai Dandim 1605/Belu. Setelah menjabat Waasops Kasdam IX/Udayana, Danpuslatpur Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI-AD pada 2013-2014, dan sebelum menjabat Dirlat Kodiklat hingga 2015.
Sebelum mengisi posisi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan, Ganip pernah menjadi Pangdam XIII/Merdeka. Selain itu, Presiden Jokowi pernah memberikan tanda kehormatan Bintang Dharma kepada 10 perwira tinggi TNI, salah satunya ialah Letjen Ganip Warsito.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilansir dari KPK, Ganip yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Umum TNI memiliki harta senilai Rp 8.143.000.000.
LHKPN disampaikan Ganip ke KPK pada tahun 2021. Adapun detail kekayaan Ganip berupa tanah dan bangunan yang tersebar di wilayah Malang, Magelang, Sleman, dan Way Kanan dengan total Rp 7.750.000.000.
Ganip juga tercatat memiliki satu unit mobil Toyota Fortuner dan satu unit motor KTM Trail dengan total nilai Rp 220.000.000.
Selain itu, tercatat pula harta bergerak lainnya senilai Rp 173.000.000. Sehingga total harta kekayaan Ganip yang tercatat senilai Rp 8.143.000.000.
Di pundak Ganip kini beban berat BNPB akan dipikul. Selamat bekerja, Jenderal Ganip!