Tanggapan Pro-Kontra Megawati Soekarnoputri Diberi Gelar Profesor Kehormatan

Pengukuhan Megawati Soekarnoputri berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 11 Jun 2021, 18:24 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2021, 18:24 WIB
Megawarti Soekarnoputri Menerima Penghargaan Honoris Causa dari Universitas Soka Jepang
Megawati Soekarnoputri Terima Gelar Doktor Honoris Causa (FOTO: Reza Rahmadansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pada hari ini, Jumat (11/6/2021), Presiden Kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri resmi menyandang gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia.

Pengukuhan Megawati Soekarnoputri itu berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim.

"Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia nomor 33271/MPK.A/KP.05.00/2021 tentang pengangkatan dalam jabatan akademik dosen tidak tetap dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menimbang dan seterusnya mengingat memperhatikan dan seterusnya memutuskan menetapkan dosen tidak tetap nama Doktor Honoris Causa Megawati Soekarnoputri," kata Sekretaris Senat Akademi Universitas Pertahanan Republik Indonesia saat membacakan surat keputusan tersebut di Aula Merah Putih Universitas Pertahanan, Bogor, Jumat (11/6/2021).

Namun sebelum akhirnya resmi bergelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia, hal itu sempat menuai pro dan kontra.

Salah satunya Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga. Dirinya mengaku terkejut dengan kabar itu.

Pasalnya selama ini para akademisi untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi itu memerlukan proses panjang dan berliku. Jenjang pendidikan untuk bisa mendapat gelar profesor juga harus lulusan doktoral.

"Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1.000," kata Jamiluddin dalam keterangannya, Kamis, 10 Juni 2021.

Meski begitu, Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek Nizam mengatakan, penganugerahan gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap Universitas Pertahanan (Unhan) kepada Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri sudah sesuai Undang-Undang Dikti dan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2012.

Berikut deretan pro dan kontra terkait gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia untuk Presiden Kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kata Pengamat Komunikasi Politik

Kata Pengamat Komunikasi Politik

Megawati Serahkan KTA PDIP kepada Tokoh Agama hingga Purnawirawan TNI-Polri
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberi sambutan saat penyerahan KTA PDIP kepada tokoh agama, purnawirawan TNI-Polri, dan akademisi di Jakarta, Selasa (2/4). Sejumlah tokoh agama, purnawirawan TNI-Polri, dan akademisi menyatakan bergabung dengan PDIP. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menyatakan keterkejutannya atas kabar gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia untuk Presiden Kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri.

Pasalnya selama ini para akademisi untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi itu memerlukan proses panjang dan berliku. Jenjang pendidikan untuk bisa mendapat gelar profesor juga harus lulusan doktoral.

"Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1.000," kata Jamiluddin dalam keterangannya, Kamis 10 Juni 2021.

KUM tersebut dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah. Bahkan akademisi harus menulis artikel yang dimuat di jurnal ilmiah internasional.

"Hingga saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus. Karena itu, para akademisi merasa tidak adil bila ada seseorang yang terkesan begitu mudahnya memperoleh jabatan profesor. Moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut," tegasnya.

Terlebih lagi, Jamiluddin memandang kesan politis begitu kental dari pemberian jabatan profesor tersebut.

"Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis," tekannya.

Ia meminta agar, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim seyogianya dalam menertibkan pemberian jabatan profesor memisahkan aspek politis secara tegas dengan aspek akademis.

"Untuk itu, sudah saatnya menteri pendidikan tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor. Sebab, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis," pungkasnya.

 

Kata Koordinator JPPI

Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri
Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri di Akademi Militer Magelang. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid menilai pemberian gelar kehormatan terhadap Ketua Umum PDI Perjuangan itu tak lebih dari pencitraan.

"Ya inilah, itu banyak pencitraannya ya. Untuk pencitraan bagaimana meskipun dia gak punya jenjang akademik di sebuah institusi kampus, tapi dia bisa menggondol itu," ucap Ubaid kepada Liputan6.com, Rabu 9 Juni 2021.

Ubaid menyarankan perguran tinggi tak serampangan dan terwarnai oleh politik dalam memberikan gelar-gelar akademis.

"Sebenarnya publik itu juga bisa melakukan penilaian ya. Karena gelar kehormatankan gelar yang tidak bisa ditempuh secara jalur akademik, karena ini gelar kehormatan maka publik harus tahu, penilaian publik juga penting untuk diperhatikan," kata dia.

Menurut Ubaid, mestinya perguruan tinggi juga mempertimbangkan opini publik dalam memberikan gelar kehormatan terhadap seorang tokoh.

"Publik setuju atau tidak, karena publiklah yang menilai track record seseorang," tandasnya.

 

Sosiolog Unair

Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri mendapatkan gelar Guru Besar dari Universitas Pertahanan. (Istimewa)
Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri mendapatkan membacakan karya ilmiahnya dalam penganugerahan Guru Besar dari Universitas Pertahanan. (Istimewa)

Lain dengan Ubaid, Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menganggap pemberian gelar kehormatan terhadap Megawati bukanlah hal yang aneh. Ia memandang, seorang tokoh terlebih lagi dia merupakan mantan presiden, maka untuk mendapatkan gelar kehormatan dari institusi pendidikan merupakan hal yang lumrah.

"Sebetulnya biasa ya di Indonesia pemberian gelar honoris causa itu. Tapi itukan harus dipahami bahwa itukan gelar honoris causa bukan seperti pengajar ya, masyarakatkan paham itu," kata Bagong saat dihubungi Liputan6.com.

"Saya kira gak masalah ya, wong diberi oleh perguruan tinggi meskipun sebagian orangkan mempersoalkan," sabung Bagong.

Bagong cenderung melihat tak ada masalah soal penganugerahan gelar kehormatan tersebut. Menurutnya Megawati memang layak mendapatkan itu.

"Kalau seperti Bu Mega wong dia sudah dihormati kok, mantan presiden ya lebih tinggi dari guru besar," tandasnya.

 

Peneliti Senior Sejarah Indonesia Modern

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meresmikan Rumah Budaya PDIP. (Istimewa)
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meresmikan Rumah Budaya PDIP. (Istimewa)

Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri di masa pemerintahannya dipandang mampu membawa Indonesia perlahan keluar dari krisis dan membangun kepercayaan internasional.

Hal inilah yang salah satunya alasan Megawati berhak mendapatkan gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap dari Universitas Pertahanan (Unhan).

Adapun ini disampaikan oleh peneliti senior sejarah Indonesia modern yang berbasis di Perancis, Remy Madiner.

"Indonesia mengalami krisis kompleks dan multidimensi di tahun-tahun pasca-reformasi. Beliau membangun kepercayaan internasional kepada pemerintah Indonesia," kata dia seperti dilansir dari Antara.

 

Kepala Pusat Budaya Indonesia-Korea

Jokowi Terima Dewan Pengarah BPIP
Presiden Joko Widodo menerima kedatangan Megawati Soekarnoputri yang mewakili Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/5/2019). Mereka yang hadir antara lain Megawati, Mahfud Md, Try Sutrisno, hingga Said Aqil Siradj. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kepala Pusat Budaya Indonesia-Korea yang juga akademisi Hankuk University of Foreign Studies, Prof Koh Young Hun memandang Megawati sosok yang memiliki kharisma dan berhasilkah mempimpin Indonesia mengatasi berbagai krisis di tahun pasca Reformasi.

"Dan membangun kepercayaan internasional kepada pemerintah Indonesia," kata Koh.

Megawati juga dipandang membawa capaian baik dalam kepemimpinannya, tidak hanya di tingkat regional tetapi juga di tingkat global. Dan acap kali memberikan ide akademis.

"Beliau juga banyak memberikan ide-ide akademis untuk meningkatkan hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Prancis dari berbagai aspek, termasuk pertahanan," jelas dia.

 

Guru Besar UI

Putu Merta Suryaputra/Liputan6.com
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. (Putu Merta Suryaputra/Liputan6.com)

Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri mendapat sorotan lantaran Universitas Pertahanan memberikannya gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap.

Guru Besar di bidang Sosiologi Organisasi Universitas Indonesia (UI) Prof Sudarsono Hardjosoekarto mengatakan, Megawati memiliki karakter dalam kepemimpinannya.

Menurutnya Indonesia saat itu mengalami krisis multidimensi, sehingga Megawati mencoba mengatasi masalah yang dianggap prioritas. Di antaranya, pemulihan ekonomi, normalisasi kehidupan politik, penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat.

"Saya melihat kecermatan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam memahami karakteristik krisis nasional saat itu," kata dia dalam keterangannya, Kamis.

Menurut Sudarsono, Megawati memiliki kepemimpinan visioner. "Pendapat akademik saya adalah prestasi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintah merupakan wujud nyata ilmu pengetahuan Kepemimpinan strategis atau Strategic Leadership," jelas dia.

 

Guru Besar IPB

Megawarti Soekarnoputri Menerima Penghargaan Honoris Causa dari Universitas Soka Jepang
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri menerima gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Soka, Tokyo. (Foto: Liputan6/ Mohammad Reza Ramadhansyah)

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Rokhmin Dahuri menjelaskan alasan Universitas Pertahanan (Unhan) memberikan gelar Profesor Kehormatan kepada Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri.

Hal tersebut berawal pada November 2020 lalu. Saat itu, beberapa guru besar membahas terkait dengan usulan pemberian gelar Profesor Kehormatan tersebut.

"Para Guru Besar tersebut kemudian bertindak sebagai promotor," tutur Rokhmin dalam keterangannya..

Dia menuturkan, gagasan tersebut kemudian dibahas bersama Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP dan sejumlah Guru Besar di Jakarta.

Disitulah para Guru Besar menyampaikan gagasan dan usulan agar Unhan menganugerahkan Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap kepada Megawati.

"Setelah usulan tersebut disetujui oleh Sidang Senat Guru Besar Unhan, disampaikanlah usulan itu ke Megawati Soekarnoputri. Saat itu disampaikan tiga alasan," jelas Rokhmin.

Ketiga alasan itu adalah pertama, Megawati dianggap memiliki dan menguasai tacit knowledge tentang Ilmu Pertahanan, khususnya bidang kepemimpinan strategis, yang sudah diaplikasikan dalam berbagai peran publik.

Yakni saat Megawati menjabat tiga periode anggota DPR dari tahun 1984-1999, saat menjabat Wakil Presiden dari 1999-2001, dan ketika menjadi Presiden dari 2001-2004.

"Plus saat menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan sejak 1999 hingga saat ini. Tacit knowledge ini bila diajarkan dan dibukukan bisa menjadi explicit or empirical knowledge yang sangat berguna bagi peradaban manusia. Begitu pemikiran para guru besar," kata Rokhmin.

Mantan Menteri Kelautan ini juga menuturkan, alasan kedua yakni Megawati dinilai telah memenuhi semua persyaratan akademis maupun administratif untuk diangkat sebagai Profesor Kehormatan di Unhan yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 40 Tahun 2002.

Kemudian alasan ketiga, penganugerahan Profesor Kehormatan ini diharapkan menjadi contoh teladan alias a role model. Para Guru Besar berpendapat bahwa kiprah Megawati dapat menjadi motivasi bagi generasi muda penerus bangsa untuk senantiasa berprestasi.

"Sehingga generasi muda menyumbangkan kemampuan terbaiknya bagi kemajuan, kesejahteraan dan kedaulatan bangsa. Tak ada yang salah dengan niatan itu bukan?," ujar Rokhmin.

Berangkat dari ketiga alasan tersebut, Rokhim dan Hasto lantas menemui Megawati untuk menyampaikan aspirasi para Guru Besar. Megawati pun merespons niatan tersebut dengan penugasan.

"Ibu Megawati meminta kepada kami berdua untuk mengecek dan mengevaluasi secara serius dengan Rektor dan Senat Guru Besar Unhan tentang apakah penganugerahan Profesor Kehormatan kepada beliau telah dipertimbangkan matang. Jangan sampai ada hal yang tidak sesuai dengan substansi pemahaman terhadap tacit knowledge dan juga memenuhi seluruh mekanisme dan ketentuan yang ada," jelas dia.

Demi meyakinkan kesungguhan dalam memenuhi ketentuan akademis, Rokhmin, Hasto, dan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah memaparkan secara khusus tentang kepemimpinan Megawati di hadapan Rektor Unhan. Ketiganya mengajak rektor Unhan dan Tim Senat Guru Besar secara intens memenuhi satu demi satu persyaratan.

Tujuannya demi memastikan terpenuhinya semua persyaratan penganugerahan Profesor Kehormatan kepada Megawati.

"Dan di tengah perjalanan proses tersebut, sejumlah profesor dari dalam dan luar negeri memberikan endorsement untuk Ibu Megawati. Sesuai ketentuan Unhan, maka harus dituliskan praktek kepemimpinan strategis ketika menangani krisis multidimensi pada tahun 2001-2004, lalu monograph sebanyak 10 buku dihasilkan. Semua berangkat dari pemikiran Ibu Megawati," kata Rokhmin.

 

Penjelasan Dirjen Dikti

Megawati Soekarnoputri bakal memperoleh gelar doktor honoris causa (DR HC) dari Universitas Soka di Tokyo, Jepang, Rabu lusa.
Megawati bakal memperoleh gelar doktor honoris causa (DR HC) dari Universitas Soka di Tokyo, Jepang, Rabu lusa. (Istimewa)

Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek, Nizam mengatakan, pemberian gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia untuk Presiden Kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri sudah sesuai Undang-Undang Dikti dan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2012

"Mengacu pada Undang-Undang Dikti dan Permendikbud 12 Tahun 2012, seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi," kata Nizam saat dikonfirmasi.

Menurut dia, usulan gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar Tidak Tetap melalui beberapa proses. Salah satunya, pengajuan oleh universitas ke Kemdikbud Ristek.

Setelah diajukan, barulah Kemendikbud-Ristek yaitu Ditjen Dikti melihat apakah diterima atau tidak.

"Usulan Guru besar tidak tetap dari perguruan tinggi berdasar usulan dari Senat. Review karyanya di Dikti dilakukan oleh tim review dalam bidang yang diusulkan," ungkap Nizam.

Dia menjelaskan seseorang dengan prestasi atau pengetahuan yang luar biasa dan diakui secara internasional dapat diberikan jabatan guru besar tidak tetap, seperti yang dilakukan Unhan kepada Megawati Soekarnoputri.

Dengan demikian kata dia, jika seseorang memiliki tacit maupun explicit knowledge, pengalaman, dan pengetahuan istimewa dapat disampaikan kepada civitas akademika.

"Jadi bisa siapapun yang pengetahuan istimewa yang dipandang penting bagi suatu perguruan tinggi dapat diajukan untuk diangkat dalam jabatan fungsional tidak tetap tersebut. Bisa profesional, birokrat, entrepreneur, dan berbagai profesi lainnya," ucap Nizam.

Dia merinci keahlian atau prestasi luar biasa tersebut dapat berupa berbagai capaian. Misalnya karya seni dan budaya yang monumental, teknologi, ilmu pengetahuan, atau pengalaman yang diakui dunia internasional. "Jadi bisa dari berbagai bidang keahlian, profesi maupun karya kemasyarakatan," kata Nizam.

Berbeda dengan dosen kata Nizam, untuk kalangan dosen sudah menjadi proses pembinaan karir dan kenaikan pangkat atau jabatan. Sedangan guru besar tidak tetap berbeda dengan guru besar.

"Kalau Guru Besar merupakan bagian dari karir dosen dan mendapat tunjangan dari negara. Kalau Guru Besar Tidak Tetap bersifat jabatan tidak tetap bagi non dosen dan tidak mendapat tunjangan dari negara," jelas Nizam.

 

Pertemuan Prabowo dan Megawati

Infografis Pertemuan Prabowo dan Megawati
Infografis Pertemuan Prabowo dan Megawati (Liputan6.com/Triyasni)
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya