Defisit APBN Rp 104,2 Triliun Dinilai Masih Aman, Ini Alasannya

Terlalu dini untuk menghakimi defisit APBN 2025 sebagai masalah serius. Lantaran kinerja APBN 2025 baru berjalan tiga bulan di kuartal pertama.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana Diperbarui 09 Apr 2025, 19:30 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2025, 19:30 WIB
Ilustrasi APBN. Dok Kemenkeu
Ilustrasi APBN. Dok Kemenkeu... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf menilai, defisit APBN per Maret 2025 masih dalam rentang aman.

Pasalnya, defisit Rp 104,2 triliun masih setara 0,43 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau sekitar 16,9 persen dari target defisit APBN 2025 senilai Rp 616,2 triliun atau setara 2,53 persen dari PDB.

"Kalau intuisi sederhana saya, kalau masih di bawah 1/4 defisit sih aman. Karena defisit atau surplus itu konsolidasi tahunan, dan diawal-awal tahun berarti masih banyak room for manuver," ujar Arief kepada Liputan6.com, ditulis Kamis (10/4/2025).

Sosok yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional ini turut memberi masukan, hal yang perlu diantisipasi pemerintah ke depan ialah perputaran budget dalam siklus APBN, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.

"Berarti tinggal dipastikan aja pengeluaran 9 bulan ke depan sesuai dengan target defisit 2,53 persen," kata dia.

Menurut dia, terlalu dini untuk menghakimi defisit anggaran ini sebagai masalah serius. Lantaran kinerja APBN 2025 baru berjalan tiga bulan di kuartal pertama.

"Yang perlu dipikirkan adalah antisipasi pertumbuhan ekonomi yang mungkin akan berkurang karena global slow down akibat trump (-0.5 persen untuk indonesia) yang sangat mungkin berpotensi mengurangi realisasi penerimaan negara," imbuhnya.

Sebagai catatan, defisit pada Maret 2025 ini memancing perhatian tersendiri, lantaran kinerja APBN pada Maret 2024 tercatat surplus. APBN tahun lalu surplus Rp 8,1 triliun atau 0,04 persen dari PDB hingga Maret 2024.

 

Perbandingan YoY dari Maret 2024

Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN... Selengkapnya

Jika dilihat secara tahunan (YoY), pendapatan di Maret 2025 (Rp 516,1 triliun) memang lebih kecil dibanding Maret 2024 (Rp 620,01 triliun). Di sisi lain, porsi belanja di Maret 2025 (Rp 620,3 triliun) juga membengkak besar dibanding tahun lalu (Rp 611,9 triliun).

Mengacu pada data itu, Arief menyarankan kepada pemerintah agar konsisten terhadap fokus belanja ke depan. Utamanya guna menghadapi situasi ekonomi tak pasti di tingkat global.

"Kalau pengeluaran yang jadi masalah pastiin aja tidak ada perubahan orientasi belanja selama bulan-bulan ke depan. Misal kebutuhan-kebutuhan counter-cyclical jika ada gejolak ekonomi," pintanya.

 

Antisipasi Trump

Di sisi lain, Arief melihat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga sudah melakukan antisipasi terhadap potensi disrupsi yang dilakukan Donald Trump yang akhirnya kejadian lewat tarif resiprokal.

Dengan strategi frontloading APBN 2025, yakni strategi pembiayaan APBN, khususnya dengan penerbitan surat utang pemerintah dalam porsi signifikan di awal tahun fiskal.

Tercatat, pemerintah telah menarik utang baru di sepanjang tahun ini hingga Maret 2025 sebesar Rp 270,4 triliun. Meningkat Rp 164,8 triliun dari realisasi akhir Maret 2024 sebesar Rp 105,6 triliun.

"Sepertinya sumber dari non-typical deficit ini memang frontloading pemerintah. Frontloading mengantisipasi disrupsi dari kebijakan resiprokal Trump," pungkas Arief.

Infografis Prabowo Ingatkan Ketum Parpol Tak Suruh Menteri Cari Uang dari APBN-APBD. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Prabowo Ingatkan Ketum Parpol Tak Suruh Menteri Cari Uang dari APBN-APBD. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya