Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan adanya praktik tebang pilih penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil selama pandemi Covid-19. Ini menjadi catatan Polri di HUT ke-75 Bhayangkara.
Peneliti KontraS Tioria Pretty menyampaikan, pihaknya mencatat selama Juni 2020 hingga Mei 2021, setidaknya ada 14 kasus pembubaran paksa aksi berujung penangkapan yang mengatasnamakan penerapan protokol kesehatan selama Pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Namun, dalih pandemi dan upaya penegakan hukum yang digunakan oleh aparat kepolisian sayangnya tidak bersifat adil dan justru tebang pilih. Kami melihat penegakan hukum yang dilakukan polisi cenderung menyasar warga sipil dibandingkan pejabat publik yang selama ini jelas telah banyak melanggar protokol kesehatan," tutur Tioria saat konferensi pers, Rabu (30/6/2021).
Advertisement
Menurut Tioria, diskriminasi tersebut membuat pembubaran aksi unjuk rasa menjadi tindakan yang mencederai demokrasi dan HAM. Sebab, demonstrasi merupakan bentuk pengungkapan ekspresi yang keberadaannya telah dijamin dalam undang-undang .
"Dalam melakukan pembubaran paksa, polisi beralasan kerumunan yang terjadi dalam aksi telah melanggar protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Polri sering menggunakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar hukum dalam menjerat massa aksi," jelas dia.
Seperti unjuk rasa massa Papua yang mempersoalkan Otonomi Khusus Papua Jilid II di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat 5 Mei 2021. Demontrasi itu kemudian dibubarkan aparat Polrestabes Semarang dengan dalih melanggar aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan di Kota Semarang.
Sementara, polisi memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi kedatangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Maumere, yang menyebabkan terjadinya kerumunan massa dan minim akan protokol kesehatan.
"Pada 23 Februari 2021, kedatangan Jokowi ke Maumere membuat masyarakat berbondong-bondong berkumpul dan banyak di antaranya tidak menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker. Meski demikian, polisi memilih tidak menindaklanjuti peristiwa tersebut dan terkesan diam dengan tidak mengambil langkah apapun," kata Tioria.
Menurutnya, kejadian tersebut menunjukkan inkonsistensi Polri dalam menegakkan hukum di Indonesia. Tidak diterapkannya sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik adalah bentuk nyata dari diskriminasi penegakan hukum.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Inkonsistensi Penegakan Hukum
Lebih jauh, hal tersebut memperlihatkan bahwa Polri menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah dan semakin menjauhkan perannya untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Apalagi unjuk rasa sendiri merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi yang praktiknya tidak terelakkan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
"Hak-hak pengunjuk rasa sendiri dilindungi oleh undang-undang. Terlebih lagi, sudah lewat dari satu tahun situasi pandemi berlangsung di Indonesia, kami belum melihat komitmen Polri dalam menanggulangi hal tersebut melalui pendekatan alternatif yang lebih humanis," ujarnya.
Selama menangani aksi unjuk rasa, Polri masih berpedoman pada Protap Kapolri Nomor Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarkis, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
"Padahal, seharusnya Polri mengembangkan suatu alternatif pedoman pengamanan aksi unjuk rasa yang telah diadaptasi dari kondisi pandemi yang ada. Keberadaan pedoman ini dapat menjadi acuan dalam menangani massa aksi di tengah pandemi dan bersifat lebih solutif dibandingkan upaya penegakkan hukum yang justru terkesan diskriminatif dan cenderung mengarah pada pembungkaman kebebasan sipil," Tioria menandaskan.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)