Ketua Panja RUU PKS: Literasi Seksual di Masyarakat Masih Tabu karena Budaya Feodal

Willy mengatakan aturan dalam KHUP belum mumpuni buat mengatur aturan mengenai praktek kekerasan seksual.

oleh Yopi Makdori diperbarui 28 Jul 2021, 20:13 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2021, 20:13 WIB
Willy Aditya
Anggota Komisi I DPR Fraksi Nasdem Willy Aditya. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Willy Aditya menekankan pentingnya produk hukum yang juga menjadi sarana literasi seksual di masyarakat. 

Willy mengatakan, hal itu demi menumpas budaya yang menjadikan pembahasan soal seksualitas menjadi sesuatu yang tabuh.

"Yang penting bukan sexual education-nya, tapi adalah literasi sendiri. Ini narasi yang harus kita bangun bersama-sama bagaimana edukasi tentang literasi seksualitas itu menjadi sangat penting. Karena kita sedang melawan budaya feodalisme yang selama ini selalu meletakan seksualitas menjadi budaya yang tabuh untuk diperbincangkan," tegas Willy dalam sebuah webinar yang disiarkan melalui kanal Youtube Rarie Lestari Moerdijat, Rabu (28/7/2021).

"Tembok besar ini yang harus kita terebas," sambungnya.

Dalam kesempatan itu, Willy pun mengungkapkan urgensi keberadaan UU PKS. Di mana ia menjelaskan bahwa demi mengisi kekosongan hukum di Indonesia soal aturan terkait.

Anggota dewan dari Fraksi Partai Nasdem itu menuturkan, selama ini penegak hukum tidak bisa banyak bertindak saat menghadapi berbagai kekerasan seksual yang timbul lantaran payung hukumnya belum memadai. Menurut Willy aturan dalam KHUP pun belum mumpuni buat mengatur hal tersebut.

"Jadi keberadaan pentingnya UU ini untuk memberikan legal standing terhadap kekerasan seksual itu sendiri," ucap dia.

Di samping hadirnya UU ini, lanjut Willy demi membuat para aparat penegak hukum memakai perspektif korban saat menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual.

"Selama ini pendekatan aparat hukumkan pada pelaku semata-mata, korban sering kali mendapatkan stigmatisasi," ujar Willy.

Hal ini diperkuat dengan istilah-istilah yang berkembang di masyarakat yang mengibaratkan korban kekerasan seksual dengan pernyataan "sudah jatuh tertimpa tangga, terus dilempari".

Terakhir, UU ini menurut Willy hadir demi memberikan perlindungan kepada korban bukan justru pelaku. "Tentu ini harus berpihak kepada korban," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Isu Kekerasan Seksual di Dunia Digital

Sebelumnya, Willy Aditya menyebut RUU PKS juga akan mencakup isu kekerasan seksual di dunia digital.

"Dalam (dunia) digital, kami melakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Willy Aditya, dikutip dari Antara, Jumat (23/7/2021).

Adapun langkah sinkronisasi yang dilakukan adalah menambahkan poin-poin yang belum diatur dalam UU Pornografi maupun UU ITE. Poin-poin ini masih dalam proses peninjauan oleh Panja untuk mencegah terjadinya tumpang-tindih antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya.

"Kita hidup sudah bertransformasi ke era digital. Maka kemudian, kekerasan seksual juga terjadi di (dunia) digital," katanya.

Terlebih, dengan munculnya fenomena-fenomena prostitusi dalam jaringan (daring) yang juga melibatkan anak di bawah umur.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya