Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mendapatkan sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Pemotongan gaji Lili Pintauli Siregar itu akibat kasus pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh pimpinan KPK untuk kepentingan pribadinya.
Pemberian sanksi terhadap kasus Lili tersebut lantas menuai beragam tanggapan. Salah satunya dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Advertisement
MAKI menilai, seharusnya sanksi yang diberikan berupa pemecatan Lili Pintauli sebagai Pimpinan KPK.
"Putusan Dewas KPK dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena semestinya sanksinya adalah Permintaan Mengundurkan Diri, bahasa awamnya: pemecatan," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman dikutip dari siaran pers, Senin 30 Agustus 2021.
Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kasus Lili Pintauli Siregar masuk ke dalam ranah pidana. Lili pudn dianggap bisa diancam dengan pidana penjara selama lima tahun.
Berikut sederet tanggapan terkait sanksi yang diberikan kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dihimpun Liputan6.com:
Â
MAKI
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai sanksi pemotongan gaji yang diberikan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar karena terbukti melanggar kode etik berat belum memenuhi keadilan masyarakat.
MAKI mengatakan seharusnya sanksi yang diberikan berupa pemecatan Lili Pintauli sebagai Pimpinan KPK.
"Putusan Dewas KPK dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena semestinya sanksinya adalah Permintaan Mengundurkan Diri, bahasa awamnya: pemecatan," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman dikutip dari siaran pers, Senin 30 Agustus 2021.
Menurut dia, pengunduran diri Lili Pintauli merupakan cara menjaga kehormatan KPK. Boyamin menyebut pengunduran diri Lili dari Pimpinan KPK demi kebaikan KPK dan pemberantasan korupsi.
"Jika tidak mundur maka cacat/noda akibat perbuatannya yang akan selalu menyandera KPK sehingga akan kesulitan melakukan pemberantasan Korupsi," katanya.
Kendati begitu, MAKI tetap menghormati putusan Dewas KPK yang menyatakan Lili Pintauli Siregar bersalah melanggar kode etik berat dan sanksi pemotongan gaji. Putusan Dewas ini sebagai sebuah proses yang telah dijalankan berdasar Undang Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.
Boyamin menuturkan MAKI masih mengkaji rencana melaporkan kasus Lili ke Bareskrim Polri. MAKI akan mempertimbangkan putusan yang telah diberikan Dewas KPK kepada Lili.
"Opsi melaporkan perkara ini ke Bareskrim berdasar dugaan perbuatan yang pasal 36 UU KPK masih dikaji berdasar putusan Dewas KPK yang baru saja dibacakan," jelas Boyamin.
Â
Advertisement
Peneliti Pukat UGM
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yuris Rezha Kurniawan menilai sanksi berupa pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar akibat melanggar kode etik pimpinan KPK tidaklah sebanding dengan perbuatannya.
Dimana Lili sebelumnya sempat dilaporkan ke Dewas karena diduga berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial terkait penyelidikan kasus dugaan jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai, Sumatera Utara.
"Menurut kami memang hukuman yang diberikan dewas ini tidak masuk akal. Sanksi terhadap Lili sangat jauh dari perbuatan tidak pantas yang dia lakukan," kata Yuris kepada merdeka.com.
Pasalnya, Yuris memandang jika sanksi berupa hukuman potongan gaji sangatlah kecil dan tidan sebanding.
Sehingga dia menyebut sanksi yang dijatuhkan Dewas telah menunjukkan sebuah kegagalan dari Revisi UU KPK Undang Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.
"Pemotongan gaji pokok nilainya hanya kecil sekali dari total penerimaan take home pay dia sebagai pimpinan KPK. Ini menunjukan dewas yang disebut-sebut dapat menjadi lembaga pengawas yang efektif justru tidak berkutik. Menunjukan satu lagi kegagalan dari revisi UU KPK," terang Yuris.
Karena, lanjut Yuris, sudah selayaknya Dewas menjatuhkan sanksi berupa pemecatan bagi pimpinan KPK yang kedapatan melanggar dan menyalahgunakan jabatannya dengan berkomunikasi dengan pihak berpekara.
"Seorang pimpinan KPK yang terbukti menyalahgunakan jabatan dan pengaruhnya serta berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara sungguh merupakan perbuatan yang tidak menunjukkan semangat pemberantasan korupsi sekaligus mencederai proses penegakan hukum," ujar dia.
"Seharusnya Dewas lebih tegas dengan menghukum Lili untuk mengundurkan diri dari jabatannya," tambah Yuris.
Â
ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut perbuatan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar masuk ke dalam ranah pidana. Bahkan, Lili bisa diancam dengan pidana penjara selama lima tahun.
"Pasal 65 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas menyebutkan adanya ancaman pidana penjara hingga lima tahun bagi komisioner yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak berperkara di KPK," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (31/8/2021).
Kurnia menyarankan agar Dewan Pengawas KPK segera melaporkan perbuatan Lili kepada Kepolisian. Sebab, Dewas KPK menyatakan Lili terbukti bersalah melanggar kode etik lantaran berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial terkait kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.
"Dewas harus melaporkan Lili Pintauli Siregar ke Kepolisian. Langkah hukum ini bukan kali pertama dilakukan oleh KPK. Pada tahun 2009 lalu, Komisioner KPK Bibit Samad Riyanto juga pernah melakukan hal tersebut tatkala melaporkan Antasari Azhar karena diduga bertemu dengan Anggoro Widjaja, Direktur PT Masaro Radiokom di Singapura," kata Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga meminta Kedeputian Penindakan KPK untuk mendalami potensi suap di balik komunikasi Lili dengan Syahrial.
Sebab, pembicaraan antara Lili dan Syahrial dalam konteks perkara yang sedang ditangani oleh lembaga antirasuah itu.
"Jika kemudian terbukti adanya tindak pidana suap, maka Lili Pintauli Siregar dapat disangka dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara seumur hidup," kata Kurnia.
Pada Senin, 30 Agustus 2021, Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat terhadap Lili Pintauli Siregar. Lili terbukti melakukan dua pelanggaran, yaitu, menyalahgunakan pengaruhnya sebagai komisioner untuk kepentingan pribadi, serta berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Menurut Kurnia, putusan Dewas KPK ini terbilang ringan dan tak sebanding dengan tindakan yang dilakukan Lili. Menurutnya, Lili secara sadar melakukan perbuatan tersebut.
"Perbuatan Lili Pintauli dapat disebut sebagai perbuatan koruptif, sehingga Dewas KPK seharusnya tidak hanya mengurangi gaji pokok Lili, tetapi juga meminta yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK," kata Kurnia.
Kurnia menuturkan, ada sejumlah alasan, baik secara yuridis maupun moral, yang melandasi permintaan pengunduran diri terhadap Lili. Pertama, tindakan Lili sudah memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Regulasi itu menyebutkan bahwa Komisioner KPK berhenti karena terbukti melakukan perbuatan tercela.
"Tidak hanya dua perbuatan yang disampaikan oleh Dewas saja, Ombudsman RI dan Komnas HAM RI juga menemukan adanya malaadministrasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Komisioner KPK -salah satunya Lili-, dalam penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK," kata dia.
Pada regulasi lain, menurut Kurnia, yakni Bab II Angka 2 Etika Politik dan Pemerintahan TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, menegaskan pejabat publik harus siap menanggalkan jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran dan tidak mampu memenuhi amanah yang diberikan kepadanya.
"Kedua, putusan etik yang dikenakan kepada Lili semakin memperburuk citra KPK di tengah masyarakat," jelas Kurnia.
Â
Advertisement
Transparency International Indonesia (TII)
Transparency International Indonesia (TII) menyoroti sanksi yang dijatuhkan untuk Lili Pintauli Siregar. Lili sebelumnya diputus melakukan pelanggaran etik yang dilakukan.
Atas perbuatannya, Lili disanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen setiap bulannya selama satu tahun.
Meski dipotong, Lili masih mengantongi pendapatan lebih dari Rp110 juta per bulan dari tunjangan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, sanksi yang dijatuhkan Dewan Pengawas (Dewas) semakin menunjukkan lemahnya posisi KPK setelah UU KPK Nomor 19 tahun 2019 direvisi.
"Putusan Dewas ini semakin mencerminkan UU KPK hasil revisi justru melemahkan KPK karena prosedur dan penegakan pelanggaran pegawai semakin lemah," kata Alvin kepada merdeka.com, Selasa (31/8/2021).
Padahal, katanya, apa yang dilakukan Lili berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial bukan sekadar pelanggaran etik. Justru bisa masuk ranah pidana sebagaimana pasal 36 UU KPK
Di mana dalam aturan itu dikatakan pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung atau tidak, dengan tersangka atau orang lain yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Kemudian, Pasal 65 UU KPK menyebutkan, pimpinan KPK yang melanggar aturan ini bisa dihukum lima tahun penjara.
"Bahkan seharusnya ada indikasi Lili melakukan obstruction of justice pada pasal 21 UU Tipikor," katanya.
"Hal-hal ini yang sayangnya tidak ditemukan dalam putusan Dewas. Putusan-putusan lemah dari Dewas ini akan terus berpotensi menggerus kepercayaan publik yang memang sedang terjun bebas," lanjut Alvin.
Â
PKS
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai, KPK saat ini semakin menyedihkan. Hal itu menanggapi sanksi Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar atas pelanggaran kode etik pimpinan KPK.
Menurutnya, kasus etik bisa dihindari oleh pimpinan KPK bila memiliki integritas yang tinggi.
"KPK semakin menyedihkan, komisioner mestinya mereka yang menerapkan standar lebih tinggi. Urusan etik seperti kasus ini merupakan hal yang mestinya bisa dihindari karena tingginya nilai integritas internal komisi antirasuah. Harga integritas yang mahal," ujar Mardani kepada wartawan, Selasa (31/8/2021).
Anggota DPR RI ini mengatakan, kasus Lili harus menjadi pelajaran yang mahal bagi pimpinan KPK yang lain. Kasus etik ini jadi beban moral KPK.
"Penilaian yang menjadi beban institusi serta beban moral yang bersangkutan. Dan tentu saja menjadi pelajaran mahal bagi pimpinan KPK yang lain," ujar Mardani.
Kasus ini juga menurunkan optimisme dan kepercayaan masyarakat kepada KPK. "Kejadian ini sekaligus kian menggembosi optimisme maupun kepercayaan masyarakat yang mungkin diam-diam masih menaruh harap terhadap KPK," ujar Mardani.
Mardani mengapresiasi Dewan Pengawas KPK. Namun, ada yang perlu diperhatikan oleh Dewan Pengawas, yaitu hubungan pimpinan KPK dan koruptor. KPK yang ditakuti koruptor seharusnya tidak membuka peluang untuk kompromi.
"Apresiasi Dewas KPK, tapi Dewas KPK juga perlu lebih serius melihat hubungan antara pimpinan KPK dan koruptor. Mengapa? Karena kepatuhan kepada hal inilah yang membuat KPK ditakuti koruptor karena minimnya peluang berkompromi," ujarnya.
Lebih lanjut, Mardani mengajak banyak pihak untuk sama-sama menjaga KPK. Jangan sampai timbul anggapan miring KPK ingin memberantas korupsi malah memberantas citranya sendiri.
"Ayo semua jaga KPK kita. Awasi, puji yang baik dan kritisi yang salah. Jangan sampai timbul anggapan miring seperti KPK bukan benar-benar ingin memberantas korupsi, tapi justru memberantas citra lembaga pemberantasan korupsi," pungkas Mardani.
Â
(Lesty Subamin)
Advertisement