Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak pada 27 November 2024.
"Kami mengusulkan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota pada 27 November 2024, mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Ketua KPU Ilham Saputra dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, Bawaslu dan DKPP di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).
Baca Juga
Ilham menjelaskan, alasan penetapan waktu itu mengacu pada persiapan Pilkada 2018 selama 12 bulan (Juni 2017 sampai Juni 2018), persiapan Pemilu 2019 selama 20 bulan (Agustus 2017 sampai April 2019) dan persiapan Pilkada 2020 (September 2019 sampai Desember 2020).
Advertisement
Selain itu, berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Ketentuan ini sudah menjadi harga mati seiring dengan ditariknya revisi UU Pemilu dari pembahasan. Padahal salah satu implikasi hukum dari penundaan pilkada ini membuat banyak kursi kepala daerah definitif harus diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
"Memang menurut saya (implikasinya) akan besar, karena jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya lumayan besar. Tidak sedikit daerah yang akan dipimpin penjabat kepala daerah dan lama pula, hampir dua tahun. Dalam situasi seperti itu mereka juga harus menyiapkan pelaksanaan bukan hanya pilkada, tapi pemilu serentak," ujar pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).
Menurut dia, bobot kinerja seperti itu mestinya bukan diemban oleh Pj, tapi harus definitif, supaya bisa mengambil kebijakan dengan segera. Sebab, apa pun posisi penjabat kapala daerah itu, dia tak akan bisa mengambil keputusan yang tidak disekenariokan sejak awal.
"Dengan durasi panjang dan beban pekerjaan yang berat, saya rasa tidak cukup hanya diemban oleh Pj, makanya kita usulkan 2022 ini tetap dilaksanakan pilkada," tegas Ray.
Dia mengatakan, jika tak bisa digelar di 2022, tetap bisa digelar di 2023 atau digabung dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2003. Demikian pula dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2024, pilkadanya bisa digelar di 2025, sehingga pada 2029 sudah bisa digelar pilkada serentak secara keseluruhan.
"Dengan begitu tenggang waktunya tidak terlalu panjang. Kan kalau mereka terpilih di 2023, hanya setahun itu masa tenggang waktunya, artinya 2029 tetap ada Pj. Mereka yang nantinya dipilih 2023, kan mestinya berakhir 2028, nah pilkada serentaknya digelar 2029, jadi Pj hanya setahun, tapi itu lebih baik karena jaraknya hanya setahun, bukan dua tahun," beber Ray.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai tidak jelasnya pelaksanaan pilkada serentak menunjukkan pembuat undang-undang tidak siap menghadapi siklus pemilu dan kepentingan politik mereka dengan menunda pembahasan rancangan UU Pemilu.
"Itu yang menimbulkan ekses seperti ini, penundaan (pilkada) itu lebih banyak pendekatan politiknya dibandingkan kesiapan proses penyelenggaraan. Itu terbukti hal seperti ini tidak terantisipasi baik oleh peraturan perundang-undangan," ujar Feri kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).
Â
Â
Â
Karena itu, lanjut dia, ada instrumen ketatanegaraan yang dikenal dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Kalau memang ada potensi hal kegentingan yang memaksa Perppu bisa dikeluarkan presiden.
"Makanya yang paling cepat mengisi kekosongan hukum adalah melalui Perppu. Atau meskipun ada hukum tapi tidak mampu menyelesaikan masalah, sehingga dapat dilakukan dengan Perpu," tegas Feri.
Jadi isi Perppu itu harus dipastikan menyelesaikan masalah pemilu atau pilkada, terutama yang berkait masalah penyelenggara atau penjabat kepala daerah di daerah yang tak memiliki pemimpin itu. Jika status penyelenggara itu hanya sebatas Pj kepala daerah, akan tetap sulit lantaran yang bersangkutan tak bisa mengambil kebijakan strategis terkait pilkada.
"Tapi problemnya tidak hanya itu saja, problemnya juga soal kemandirian, kemerdekaan, dan independensi kelembagaan. Kalau penyelenggaraan pilkada dijalankan Pj akan membuat repot luar biasa. Apalagi kalau Pj ditunjuk dari pegawai-pegawai tertentu, itu tidak sehat dalam proses penyelenggaraan pilkada," ujar Feri.
Namun, pendapat berbeda datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim. Menurut dia, pilkada serentak merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Di dalam UU ini disebutkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan bulan November 2024.
"Tanggal 27 November 2024 sebagai hari pelaksanaan pemungutan suara pilkada, sudah dibicarakan dengan Komisi II, Kemendagri, Bawaslu dan DKPP. Bagi daerah-daerah yang masa bakti kepala daerahnya sudah habis, akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah," Luqman saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).
Secara administrasi, lanjut dia, kewenangan dan kepemimpinan birokrasi penjabat (Pj) kepala daerah tidak akan mengahadapi masalah. Kewenangan yang dimiliki sama persis dengan kepala daerah definitif. Hanya satu yang membedakan, yakni Pj tidak berhak menerima tunjangan jabatan.
"Jadi tidak ada ruginya. Tidak semua kepala daerah yang habis periodenya 2022 dan 2023 bisa mancalonkan kembali, karena sebagian sudah dua kali menjabat," jelas anggota Fraksi PKB ini.
Apalagi, lanjut dia, sejak awal para kepala daerah itu sudah tahu bahwa periodenya akan habis pada saat digelar pilkada serentak 2024.
"Saya percaya semua kepala daerah yang memenangkan Pilkada Serentak 2020 kemarin, sudah membaca dengan seksama UU Nomor 10 Tahun 2016. Mereka tahu berapa lama akan menjabat sebagaimana yang diatur di dalam UU ini," tegas Luqman.
"Sekali lagi, Pilkada Serentak pada November 2024 untuk memilih kepala/wakil kepala daerah di seluruh wilayah NKRI itu amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Siapa pun harus menjalankan itu. Komisi II DPR tentu taat pada UU," dia menandaskan.
Revisi Batal, Panggung Hilang
Tak ada lagi langkah mundur. Dengan batalnya revisi UU Pemilu, maka payung hukum penyelenggaraan pilkada serentak akan menggunakan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan kata lain, Pilkada Serentak akan digelar 27 November 2024.
Yang paling dirugikan dengan batalnya revisi UU Pemilu ini adalah ratusan kepala daerah yang akan habis masa tugasnya pada 2022 dan 2023. Sebab, dalam revisi UU Pemilu, pelaksanaan pilkada serentak akan dinormalisasi sesuai tahun berakhirnya masa jabatan, bukan menunggu jeda hingga 27 November 2024.
Konsekuensi dengan diberlakukannya UU Pilkada yang sekarang, bagi kepala daerah yang berminat kembali mengikuti kontestasi pilkada harus bersabar menunggu Pilkada Serentak 2024, baik bagi yang baru menjabat satu periode atau dua periode berminat ke level di atas, seperti dari bupati/wali kota ke gubernur atau dari gubernur ke presiden, juga bersabar menunggu 2024.
Bagi kepala daerah yang habis masa jabatan di 2022 dan 2023, bisa jadi untuk sementara jeda, break, istirahat menjadi rakyat biasa. Pada posisi inilah yang ditengarai akan menurunkan elektabilitas yang bersangkutan.
"Dia kan kehilangan panggung, jadi panggungnya untuk memperkenalkan diri dan menarik simpati itu dengan sendirinya hilang, karena di kita itu mengingat karya orang masa berlakunya pendek sekali," tegas pengamat politik Ray Rangkuti.
Hal senada juga ditegaskan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. Seorang kepala daerah atau yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak bisa lagi mengangkat isu daerah guna menarik elektoral.
"Untuk gubernur, wali kota dan bupati yang habis masa jabatan pada 2022-2023 tentu sangat dirugikan karena mereka akan kehilangan peluang dan tidak punya panggung dan wadah untuk mengikuti kontestasi," ujar Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).
Dengan kata lain, popularitas bisa meredup. Sedikit banyak rakyat akan melupakan. Sekaligus kalau tidak dikelola dengan baik, figur-figur semacam ini akan turun nilai jual untuk bertarung di pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur dan pemilihan presiden.
Tak hanya itu, menurut Mardani, dampak negatif dari penundaan ratusan pilkada itu juga akan dirasakan daerah bersangkutan. Bagi masyarakat pelayanan akan terganggu karena posisi dan kewenangan penjabat kepala daerah itu terbatas.
"Mereka tidak bisa melakukan tindakan yang sifatnya perubahan drastis. Apalagi ini di masa pandemi, butuh kebijakan yang sifanya juga cepat dan itu tidak bisa diambil jika bukan pejabat definitif," tegas dia.
"Dampak negatif juga terlihat pada proses politik, saya khawatir akan terjadi kondisi di mana kepala daerah dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan elektoral 2024," imbuh Mardani.
Â
Dugaan Mardani ada benarnya, karena mayoritas fraksi di DPR sendiri berusaha mencari jalan aman. Buktinya, mayoritas fraksi 'balik badan' dari rencana revisi UU Pemilu. Mayoritas fraksi di parlemen yang awalnya setuju revisi RUU Pemilu, belakangan sepakat menolak melanjutkan pembahasan yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya Partai Demokrat dan PKS yang tegas ingin revisi RUU Pemilu.
Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP.
PDIP misalnya, berpendapat Pilkada selanjutnya sebaiknya tetap digelar pada 2024 seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Mendukung pendapat PDIP, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid menyebut revisi UU Pemilu setiap jelang pelaksanaan Pemilu dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas demokrasi yang sedang terus ditata dan dikembangkan di Indonesia.
Demikian pula Fraksi Partai Golkar DPR yang sebelumnya mendorong revisi UU Pemilu, belakangan juga sepakat menunda revisi. "Sikap terakhir setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini, memutuskan untuk menunda revisi UU Pemilu," kata Wakil Ketua Umum Golkar, Nurul Arifin.
Serupa dengan Golkar, PKB juga belakangan menyatakan pihaknya akan menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai dengan perintah Ketua Umum DPP PKB Muhaminin Iskandar.
"Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung Pilkada Serentak Nasional sesuai UU 10/2016 yaitu November 2024," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim.
Sementara Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh menegaskan bahwa dirinya mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2024.
Surya Paloh mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan melakukan upaya pemulihan ekonomi akibat wabah tersebut. Oleh karena itu, dia memandang perlu menjaga soliditas partai-partai politik dalam koalisi pemerintahan, dan bahu-membahu menghadapi pandemi.
Adapun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk yang sejak awal menolak rencana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. PPP berpandangan kalau regulasi untuk pemilu itu setidaknya bisa digunakan minimal dalam dua kali penyelenggaraan.
"PPP tidak bersepakat untuk melakukan perubahan UU Pemilu, meskipun RUU revisi UU Pemilu ini menjadi usulan inisiatif DPR," kata Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi, dalam sebuah diskusi daring.
Sama dengan PPP, PAN sejak awal menegaskan sikap sejalan dengan pemerintah untuk menolak revisi UU Pemilu. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus menyarankan agar fraksi-fraksi di DPR RI fokus dalam membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 daripada membahas RUU Pemilu.
Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.
"Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta.
Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemik oleh pejabat definitif. Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.
Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga menyatakan partainya setuju normalisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu. Termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta pada 2022.
Menurut Herzaky, pilkada merupakan momen emas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerah masing-masing. Demokrat menilai perlu waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok serta rekam jejak para calon kepala daerah.
Advertisement
Ketika Ratusan Daerah Tanpa Pemimpin
Pemerintah dan DPR telah menyepakati pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak pada 2024. Pencoblosan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dijadwalkan pada 21 Februari. Sementara penyelenggaraan pilkada serentak dilakukan pada 27 November.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengonfirmasi, ada 101 daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022 karena masa jabatan kepala daerahnya habis pada, yakni tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Kemudian ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023, yang terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota dan 115 bupati.
Namun, daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 itu baru akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada pilkada serentak 2024.
Hal ini akan berdampak pada jumlah penjabat (Pj) atau pejabat sementara (Pjs) untuk menggantikan posisi kepala daerah hingga penyelenggaraan Pilkada 2024.
Merujuk pada Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, dan berdasarkan jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, maka akan ada 271 kepala daerah yang kepemimpinannya bakal diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah.
Dan itu artinya, dari total kepala daerah yang berjumlah 548 orang yang terdiri dari 34 gubernur, dan 514 bupati/walikota, hampir setengahnya akan diisi Pj. kepala daerah, yang ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj. Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj. Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri.
Masa jabatan Pj. kepala daerah ini bervasiari, tergantung masa ahir jabatan kepala daerah masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.
Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada berbunyi: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Sementara, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik sebelumnya mengatakan, ada empat jabatan pengganti kepala daerah yang dapat mengisi kekosongan, yakni pejabat sementara (Pjs), penjabat (Pj), pelaksana harian (Plh), dan pelaksana tugas (Plt).
Ia menuturkan, Plh dan Pjs memiliki kewenangan yang terbatas, tidak penuh seperti kepala daerah. Sementara, Pj dan Plt memiliki kewenangan yang penuh dan sama seperti kepala daerah.
Berikut daftar 101 daerah yang masa jabatan kapala daerahnya akan berakhir pada 2022:
Gubernur:
1. Aceh
2. Kepulauan Bangka Belitung
3. DKI Jakarta
4. Banten
5. Gorontalo
6. Sulawesi Barat
7. Papua Barat
Bupati:
1. Aceh Besar
2. Aceh Utara
3. Aceh Timur
4. Aceh Jaya
5. Bener Meriah
6. Pidie
7. Simeulue
8. Aceh Singkil
9. Bireuen
10. Aceh Barat Daya
11. Aceh Tenggara
12. Gayo Lues
13. Aceh Barat
14. Nagan Raya
15. Aceh Tengah
16. Aceh Tamiang
17. Tapanuli Tengah
18. Kepulauan Mentawai
19. Kampar
20. Muaro Jambi
21. Sarolangun
22. Tebo
23. Musi Banyuasin
24. Bengkulu Tengah
25. Tulang Bawang Barat
26. Pringsewu
27. Mesuji
28. Lampung Barat
29. Tulang Bawang
30. Bekasi
31. Banjarnegara
32. Batang
33. Jepara
34. Pati
35. Cilacap
36. Brebes
37. Kulon Progo
38. Buleleng
39. Flores Timur
40. Lembata
41. Landak
42. Barito Selatan
43. Kota Waringin Barat
44. Hulu Sungai Utara
45. Barito Kuala
46. Bolaang Mongondow
47. Kepulauan Sangihe
48. Bangai Kepulauan
49. Buol
50. Takalar
51. Muna Barat
52. Buton Selatan
53. Buton Tengah
54. Bombana
55. Kolaka Utara
56. Buton
57. Boalemo
58. Seram Bagian Barat
59. Buru
60. Maluku Tenggara Barat
61. Maluku Tengah
62. Pulau Morotai
63. Halmahera Tengah
64. Nduga
65. Lanny Jaya
66. Sarmi
67. Mappi
68. Tolikara
69. Kepulauan Yapen
70. Jayapura
72. Puncak Jaya
73. Dogiyai
74. Tambrauw
75. Maybrat
76. Sorong
Wali Kota:
1. Banda Aceh
2. Lhokseumawe
3. Langsa
4. Sabang
5. Tebingtinggi
6. Payakumbuh
7. Pekanbaru
8. Cimahi
9. Tasikmalaya
10. Salatiga
11. Yogyakarta
12. Batu
13. Kupang
14. Singkawang
15. Kendari
16. Ambon
17. Jayapura
18. Sorong
Berikut daftar daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir pada 2023:
Gubernur:
1. Sumatera Utara
2. Riau
3. Sumatera Selatan
4. Lampung
5. Jawa Barat
6. Jawa Tengah
7. Jawa Timur
8. Bali
09. Nusa Tenggara Barat
10. Nusa Tenggara Timur
11. Kalimantan Barat
12. Kalimantan Timur
13. Sulawesi Selatan
14. Sulawesi Tenggara
15. Maluku
16. Papua
17. Maluku Utara
Wali Kota:
1. Serang
2. Tangerang
3. Bengkulu
4. Gorontalo
5. Jambi
6. Bekasi
7. Cirebon
8. Sukabumi
9. Bandung
10. Banjar
11. Bogor
12. Tegal
13. Malang
14. Mojokerto
15. Probolinggo
16. Kediri
17. Madiun
18. Pontianak
19. Palangkaraya
20. Tarakan
21. Pangkal Pinang
22. Tanjung Pinang
23. Tual
24. Subulussalam
25. Bima
26. Palopo
27. Parepare
28. Bau-bau
29. Kotamobagu
30. Sawahlunto
31. Padang Panjang
32. Pariaman
33. Padang
34. Lubuklinggau
35. Pagar Alam
36. Prabumulih
37. Palembang
38. Padang Sidempuan
Bupati:
1. Aceh Selatan
2. Pidie Jaya
3. Padang Lawas Utara
4. Batu Bara
5. Padang Lawas
6. Langkat
7. Deli Serdang
8. Tapanuli Utara
9. Dairi
10. Indragiri Hilir
11. Merangin
12. Kerinci
13. Muara Enim
14. Empat Lawang
15.Banyuasin
16. Lahat
17. Ogan Komering Ilir
18. Tanggamus
19. Lampung Utara
20. Bangka
21.Belitung
22.Purwakarta
23. Bandung Barat
24. Sumedang
25. Kuningan
26. Majalengka
27. Subang
28. Bogor
29. Garut
30. Cirebon
31. Ciamis
32. Banyumas
33. Temanggung
34. Kudus
35. Karanganyar
36. Tegal
37. Magelang
38. Probolinggo
39. Sampang
40. Bangkalan
41. Bojonegoro
42. Nganjuk
43. Pamekasan
44. Tulungagung
45. Pasuruan
46. Magetan
47. Madiun
48. Lumajang
49. Bondowoso
50. Jombang
51. Tangerang
52. Lebak
53. Gianyar
54. Klungkung
55. Lombok Timur
56. Lombok Barat
57. Sikka
58. Sumba Tengah
59. Nagekeo
60. Rote Ndao
61. Manggarai Timur
62. Timor Tengah Selatan
63. Alor
64. Kupang
65. Ende
66. Sumba Barat Daya
67. Kayong Utara
68. Sanggau
69. Kubu Raya
70. Pontianak
71. Kapuas
72. Sukamara
73. Lamandau
74. Seruyan
75. Katingan
76. Pulang Pisau
77. Murung Raya
78. Barito Timur
79. Barito Utara
80. Gunung Mas
81. Barito Kuala
82. Tapin
83. Hulu Sungai Selatan
84. Tanah Laut
85. Tabalong
86. Panajam Pasut
87. Minahasa
88. Bolmong Utara
89. Sitaro
90. Minahasa Tenggara
91. Kepulauan Talaud
92. Morowali
93. Parigi Moutong
94. Donggala
95. Bone
96. Sinjai
97. Bantaeng
98. Enrekang
99. Sidereng Rappang
100. Jeneponto
101. Wajo
102. Luwu
103. Pinrang
104. Kolaka
105. Gorontalo Utara
106. Mamasa
107. Polewali Mandar
108. Maluku Tenggara
109. Membramo Tengah
110. Paniai
111. Puncak
112. Deiyai
113. Jayawijaya
114. Biak Numfor
115. Mimika