Liputan6.com, Jakarta Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fenandes menilai peluang para ketua umum atau elite parpol bertarung jadi Capres di Pemilu 2024 terbuka lebar. Dia mengungkap ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan agar para ketum parpol tersebut bisa mendapatkan tiket Capres.
Arya mengatakan, setidaknya, para ketua umum parpol yang ingin maju Capres harus memiliki perolehan suara partai minimal 5 persen.
Baca Juga
"Perolehan suara partai akan pengaruhi tinggi rendahnya kemampuan elite partai untuk melakukan koalisi. Semakin tinggi suara partai maka daya tawarnya tinggi," kata Arya saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (14/9/2021).
Advertisement
Menurut dia, peluang elite parpol seperti PDIP, Gerindra dan Golkar tentu saja lebih mudah. Dalam hal ini, Puan Maharani, Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto.
"Daya tawarnya berbeda dengan (parpol) yang 5 persen," imbuhnya.
Sementara untuk ketua umum dan elite yang parpolnya tak tembus suara parlemen lima persen, akan sangat sulit mendapatkan tiket capres.
Faktor lainnya yakni soal elektabilitas para ketum dan elite parpol tersebut yang ingin menjadi calon presiden. Namun menurut dia, faktor ini bisa dianggap tidak menentukan, apabila timbul kesepakatan dari para parpol untuk tidak mengusung capres dengan popularitas tinggi. Sehingga peluang ketua parpol maju jadi capres bisa lebih besar ketimbang tokoh populer.
Arya mencontohkan, misalnya Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang tidak mendapatkan dukungan parpol manapun. Sehingga pertarungan di Pemilu 2024 tidak lagi memikirkan faktor elektabilitas dan popularitas.
"Kalau elite parpol memblok dukungan untuk calon populer, artinya mereka punya kesempatan untuk sama-sama bertarung. Kalau itu terjadi tentu elektabilitas seimbang semua," jelas dia.
Namun sebaliknya, jika ada satu parpol yang deklarasi calon presiden dengan elektabilitas tinggi misalnya Ganjar, Anies atau Ridwan Kamil. Maka, parpol lain juga akan mencari lawan yang seimbang.
Arya mengakui, Prabowo adalah ketum parpol satu-satunya yang memiliki elektabilitas capres tinggi. Tapi, kata dia, elektabilitas ketum Gerindra tersebut stagnan. Sehingga masih bisa terkejar oleh ketum lain seperti Airlangga, Muhaimin Iskandar dan AHY.
"Ada peluang (mengejar)," tegas Arya.
Tak Harus Pimpinan Parpol
Arya juga bicara keuntungan dan kelemahan seorang pemimpin parpol menjadi presiden. Menurut dia, presiden tak harus menjadi pemimpin parpol. Hal itu dapat dibuktikan dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. Meskipun bukan pemimpin parpol, tapi mendapatkan dukungan parpol yang dominan.
Sementara presiden yang juga pemimpin parpol, mendapatkan keuntungan lebih.
"Kalau dia ketua partai, dia lebih mudah, dukungannya akan lebih solid. Tapi kalau parpolnya enggak dominan meski ketua parpol susah juga," kata Arya lagi.
Bagi Arya, di tengah situasi saat ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki wawasan ekonomi kuat. Presiden ke depan harus memiliki visi menaikkan kelas Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. Masuk ke dalam daftar negara maju.
"Lalu punya visi kesejahteraan publik, bagaimana mengurangi angka kemiskinan, kesenjangan antara kaya dan miskin, lakukan pemerataan pembangunan," tutup Arya.
Â
Advertisement