Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, dengan disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dalam UU itu disebutkan akan ada kenaikan PPN sebesar 11 persen pada 2022 dan kembali naik 12 persen pada 2025.
Dengan kondisi ini, masyarakat akan makin tercekik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Dengan PPN yang terus naik itu otomatis mahal semua barang. Jadi meskipun kalau hitung-hitungan di atas kertas, kan itu hitung-hitungan orang ekonomi yang di atas kertas karena dia nggak memahami masyarakat bawah kan. Buktinya ya nanti masyarakat bawah yang paling menderita, karena pajaknya barang-barang makin mahal," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (11/10/2021).
Advertisement
Trubus menilai aturan NIK menjadi NPWP akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Hitung-hitungan wajib pajak yang ditetapkan pemerintah, dinilainya sebagai angka-angka yang berdasarkan ekonomi semata.
"Masyarakat bawah yang penghasilannya di bawah Rp 60 juta nggak kena pajak, itu kan logika orang ekonomi. Yang besar-besar dikasih amnesty pajak atau sunset policy untuk apa. Akhirnya ya tetap saja kondisinya nggak jauh berbeda," ujar dia.
Dia menengarai pengampunan yang diberikan pemerintah terhadap pengemplang pajak tidak memberikan dampak siginifikan. Karena itu, sasaran pajak pun diperluas melalui penerapan NIK menjadi NPWP.
"Pengampunan pajak itu juga realisasinya kan nggak jalan. Itu kan ada sunset policy, itu kan rekomendasi itu toh. Itu menguntungkan kalangan menengah atas. Karena dia tetep dapat tenor," jelas Trubus.
"Sesungguhnya ya diitung-itung mereka ya tetap mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Ini juga saya lihat ujung-ujungnya yang kaya makin kaya yang miskin tetap aja miskin," imbuh dia.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penegakan Hukum Lemah
Trubus menilai pemerintah lemah dalam menegakkan hukum terhadap para pengemplang pajak. Kendati pemerintah telah jor-joran memberikan privilage kepada mereka.
"Masyarakat atas ini tentu jadi yang banyak diuntungkan, banyak diskonnya.Karena kan nggak ada sanksi pidana bagi mereka yang ngemplang kan. Denda doang. Nah dendanya itu seberapa kan. Artinya kalau dia bandel terus ya terus mau apa. Kan nggak ada daya paksa untuk pidana ya nggak akan efektif," terang Trubus.
"Jadi menurut saya itu yang UU HPP ini nggak akan efektif. Nanti banyak masalah," tegasnya.
Trubus mengungkapkan, kendati Indonesia termasuk salah satu negara dengan pajak yang rendah dibanding negara lainnya, namun itu berbeda kondisinya. Indonesia, kata dia, hadir setelah melalui perjuangan dan peperangan nenek moyang.
"Bukan kayak Singapura yang nggak pakai perang dikasih merdeka. Kita kan pahlawannya berdarah-darah banyak. Kalau kemudian dibanding-bandingkan kenapa nggak dibandingkan dengan negara yang mengalami berdarah-darah kayak vietnam gitu," ujar dia.
"Jangan ke singapura. Singapura nggak pernah perang. Mana ada pahlawan dari singapura. Malaysia juga nggak ada," Trubus menambahkan.
Jadi masalahnya, lanjut dia,m terbentuknya negara Indonesia itu dulu lantaran dalam pembukaan UU 1945 itu memberikan kesejahteraan bagi semua rakyatnya. "Itu pembukaannya, bukan dalamnya uu, kalau uu nya sudah banyak diubah. Kalau pembukaan yang asli memang masyarakat yang sejahtera adil makmur," kata dia.
Advertisement