Liputan6.com, Jakarta Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali menangkap tiga terduga teroris dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di wilayah Bekasi, Jawa Barat, Kamis 16 November 2021 dini hari. Tiga terduga teroris yang ditangkap yakni Ahmad Zain An Najah, Anung Al Hamat dan Farid Okbah.
Belakangan diketahui, Ahmad Zain An Najah ternyata anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak hanya di MUI dia punya posisi mentereng, polisi menduga, Ahmad Zain An Najah merupakan Dewan Syuro Jamaah Islamiyah dan Ketua Dewan Syariah LAZ BM Abdurrahma Bin Auf.
Bisa dipastikan bahwa dugaan keterlibatan yang bersangkutan di jaringan JI bukan atas nama lembaga. Namun, pertanyaan tentang dugaan bisa masuknya terduga teroris ke tubuh MUI tak bisa dihindari. Termasuk soal latar belakang ketiga tersangka.
Advertisement
Menurut pengamat terorisme Al Chaedar, kedekatan di antara para terduga terorisme itu sebenarnya sudah bisa ditebak. Sejak lama, Ahmad Zain dan Farid Okbah punya kedekatan di Jamaah Islamiyah.
"Setahu saya Pak Zain dan Pak Farid Okbah ini memiliki kedekatan dengan JI, karena pernah 10 tahun berada di Afghanistan ikut berjihad mengusir penjajahan Soviet. Tapi idelogi mereka berbeda, satu wahabi salafi dan satunya wahabi jihadi, kalau ISIS wahabi takfiri," jelas Al Chaedar kepada Liputan6.com, Kamis (18/11/2021).
Terkait masuknya sosok terduga teroris ke tubuh MUI, dia mengaku tidak heran. Bagaimana pun pola dan mekanisme rekrutmen di MUI, akan sulit untuk mengetahui latar belakang seseorang yang sejak awal memang sengaja menyembunyikannya.
"Mekanisme MUI menyeleksi anggotanya sangat terbatas, apalagi kemungkinan orang-orang yang mau bergabung dengan MUI pasti menyembunyikan latar belakangnya secara detail, terutama hal yang terkait tidak bersih lingkungan, itu pasti disembunyikan," ujar Al Chaedar.
"Baru ketahuan nanti kalau ada transfer uang dari organisasi tertentu seperti JI yang transfer uang ke Pak Zain dan Pak Farid Okbah, baru itu dianggap keterlibatan dengan terorisme," imbuh dia.
Sementara dilihat dari paham yang dianut, dia menilai tak ada masalah. Karena boleh dikatakan mereka penganut mazhab Syafii semuanya, jadi tidak ada beban ideologi tertentu yang dibawa ke MUI. Intinya, masuknya paham radikal ke MUI adalah hal biasa yang bisa terjadi di lembaga lainnya.
"Hal yang wajar, karena tidak hanya MUI, bahkan yang ikut ISIS kan ada yang dari polisi, tentara ada, instansi lain juga ada. Ini kan hanya bersifat oknum saja," tandas Al Chaedar.
Pendapat senada diungkapkan Ketua MUI KH Muhammad Cholil Nafis. Dia mengatakan, paham radikal itu bisa muncul dan tumbuh di mana saja, tidak hanya di MUI. Bahkan bisa muncul dan tumbuh di kepolisian dan TNI.
"Artinya ya di mana saja mungkin orang terkena infiltrasi pemahaman radikal. Kementerian Agama mungkin, Kemendagri juga mungkin, jadi di mana saja mungkin. Oleh karena itu kita dukung langkah untuk melakukan deradikalisasi terorisme dan radikalisme," ujar Cholil Nafis kepada Liputan6.com, Kamis (18/11/2021) malam.
Dia juga mengatakan tak ada seleksi khusus bagi seseorang yang akan diangkat menjadi pengurus MUI karena intinya lembaga tempat berkumpulnya para ulama itu selalu beranggapan positif.
"Kita kan husnudzon, MUI itu adalah gabungan dari ormas-ormas, dan ormas-ormas itu tidak ada yang bermasalah. Ya kita percaya kepada ormas. Ketika ada pelanggaran hukum ya kita kan ada penegak hukum. Tapi di MUI sendiri secara paham kita mengarusutamakan paham Islam Wasathiyah," ujar Cholil Nafis.
"Kita sudah putuskan pada 2015 tentang moderasi beragama di MUI sudah jadi keputusan. MUI mengharamkan terorisme pada Fatwa Nomor 3 Tahun 2004. Nah musyawarah nasional kemarin sudah buat BPET namanya, Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme. Jadi MUI secara kelembagaan sangat support untuk menanggulangi terorisme," tegas dia.
Terkait dengan posisi Ahmad Zain An Najah, dia mengatakan MUI sudah menonaktifkan yang bersangkutan karena belum ada vonis secara hukum. Meskipun dari pihak kepolisian meyakini punya bukti yang kuat, pihaknya tetap menunggu vonis pengadilan.
"Maka biar lebih konsentrasi ya kita nonaktifkan dan itu bagian dari tindakan yang dilakukan oleh MUI. Selanjutnya kita serahkan kepada penegak hukum saudara yang terduga ini, terperiksa ini punya hak untuk dapat bantuan hukum dan punya hak untuk pembelaan diri dan keadilan. Kami berharap Densus bekerja profesional," beber Cholil Nafis.
Â
Â
Apa yang disebutkan Cholil Nafis memang benar adanya. Dalam sebuah seminar tentang Penanggulangan Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme di Indonesia di Jakarta pada awal Oktober lalu yang sekaligus bertepatan dengan terbentuknya Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), lembaga ini menegaskan kampanye Islam Wasathiyah atau Islam moderat yang tengah digalakkan.
Wakil Ketua Umum MUI Buya Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, seminar ini adalah wujud MUI meneguhkan tugasnya dalam menjaga bangsa.
"MUI ingin ikut serta menyelesaikan masalah kebangsaan dan kenegaraan khususnya dalam menanggulangi ekstremisme dan terorisme di Indonesia," ucap pria yang juga menjabat Kepala BPET MUI ini.
Apalagi, ekstremisme dan terorisme di Indonesia berakar dari pengaruh ideologi agama yang ekstrem. Demikian disampaikan Wakil Ketua BPET MUI Irjen Pol (Purn) Hamli, bahwa 45,5 persen pelaku teror di Indonesia memiliki motivasi melakukan aksi terorisme karena pengaruh ideologi agama yang ekstrem.
"Dari hasil penelitian, motif mereka melakukan aksi terorisme yang diambil dari sampel sebanyak 100 lebih pelaku teror pada tahun 2012 dan masih relevan sampai sekarang memang tidak tunggal. Namun, yang dominan adalah ideologi agama sebanyak 45,5 persen," kata Hamli di Jakarta, Senin (25/10/2021).
Pengaruh ideologi agama, lanjut Hamli, dapat muncul dari kelompok-kelompok yang mengakui beragama, namun tidak ingin bernasionalisme. Untuk itu, dia mengimbau untuk mewaspadai keberadaan kelompok yang menganut paham ideologi agama secara ekstrem, bahkan menggunakan cara kekerasan.
Menurut Hamli, kaum radikal akan menyuburkan sikap intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI, dan berujung menyebabkan disintegrasi bangsa. Setelahnya, ideologi agama yang mereka anut secara ekstrem akan disertai pula dengan beragam perbuatan yang menggunakan ancaman kekerasan hingga mengarah pada terorisme.
"Kalau ada orang yang mengatakan nasionalisme itu tidak benar, nasionalisme tidak berhadap-hadapan dengan agama, ini sudah bisa dimasukkan kategori radikal," ucap Hamli.
Dia menegaskan bahwa yang harus selalu diingat, Indonesia memang bukanlah negara agama melainkan negara yang beragama.
"Silakan apa pun agama Anda, Anda harus beragama, tetapi tetap harus bernasionalisme," tegas Hamli.
Ditangkap Densus, Dinonaktifkan MUI
Rilis yang dibacakan di Mabes Polri, Selasa (16/11/2021) siang, sebenarnya hal yang biasa, yaitu terkait penangkapan terduga teroris. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali menangkap tiga terduga teroris kelompok Jamaah Islamiyah di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan membenarkan penangkapan tersebut.
"Yang ditangkap tiga," kata Ramadhan di Mabes Polri Jakarta Selatan.
Identitas ketiganya, yaitu AA (44) bekerja sebagai dosen, ditangkap Selasa pagi, pukul 05.49 WIB di tempat tinggalnya, Jalan Raya Legok, Blok Masjid, Jatimelati, Pondok Melati, Kota Bekasi.
Terduga berikutnya berinisial AZ (50), berprofesi sebagai dosen, ditangkap pukul 04.39 WIB di wilayah Merbabu Raya, Perumahan Pondok Melati, Bekasi.
Yang ketiga berinisial FAO, ditangkap di Kelurahan Jati Melati, Kota Bekasi.
Berdasarkan data yang dihimpun, tiga terduga teroris yang ditangkap Densus, yakni AZ merujuk pada Ahmad Zain An Najah, AA merujuk pada Anung Al Hamat, sedangkan FAO merujuk pada Farid Okbah.
Belakangan, polisi menduga Ahmad Zain An Najah merupakan Dewan Syuro Jamaah Islamiyah dan Ketua Dewan Syariah LAZ BM Abdurrahma Bin Auf. Lebih mengagetkan, Ahmad Zain An Najah merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Sedangkan Farid Okbah tak lain adalah Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) yang juga tercatat sebagai salah satu anggota Majelis Syuro Partai Masyumi reborn yang dideklarasikan pada November 2020 lalu.
Tak mau kabar tersebut menjadi bola liar, sehari berselang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan bayan (penjelasan) terkait penangkapan Dr. Ahmad Zain An Najah.
Dalam penjelasan yang disampaikan secara virtual itu, Sekretaris Jenderal MUI Buya Amirsyah Tambunan mengatakan penangkapan salah satu anggota Komisi Fatwa MUI tersebut mengagetkan berbagai pihak terutama internal MUI sendiri.
Dikutip dari laman mui.or.id, Buya Amirsyah menjelaskan, peran Komisi di lingkungan MUI merupakan perangkat organisasi yang fungsinya membantu menjalankan tugas-tugas dewan pimpinan MUI.
Meskipun Dr Zain adalah anggota Komisi Fatwa yang selama ini aktif, Buya Amir menegaskan, dugaan keterlibatan Dr Zain dalam gerakan terorisme adalah urusan pibadi yang tidak ada kaitannya dengan tugasnya di MUI.
"Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam gerakan terorisme merupakan urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. MUI menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus MUI sampai ada kejelasan berupa keputusan yang berkekuatan hukum tetap," ujarnya, Rabu (17/11/2021) pagi.
Pada kesempatan itu, Buya Amir menyampaikan, MUI menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada aparat penegak hukum.
Terkait penanganan dugaan keterlibatan tindak pidana terorisme, MUI juga meminta aparat penegak hukum bekerja secara profesional, mengedepankan asas praduga tidak bersalah, memenuhi hak-hak yang bersangkutan untuk mendapakan perlakuan hukum yang baik dan adil.
Buya Amir mengatakan, secara kelembagaan, MUI sebenarnya sudah lama memiliki konsen dengan bahaya terorisme. Tiga tahun pascakejadian terorisme pertama di Indonesia, pada 2004, MUI mengeluarkan fatwa nomor tiga terkait terorisme. Fatwa itu saat ini usianya sudah hampir 20 tahun.
"MUI berkomitmen dalam mendukung penegakan hukum terhadap ancaman tindak kekerasan terorisme sesuai fatwa MUI Nomor 3 tahun 2004 tentang terorisme," ujarnya.
MUI juga mengimbau umat Islam menahan diri agar tidak terprovokasi dengan kejadian ini. Apalagi dengan munculnya beberapa kelompok tertentu yang mulai memprovokasi kejadian ini untuk kepentingan tertentu.
"MUI mendorong semua elemen bangsa agar mendahulukan kepentingan yang lebih besar yaitu demi keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara," ujarnya membacakan bayan yang ditandatangani Buya Amirsyah Tambunan dan Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar tersebut.
Selain Buya Amirsyah, pada kesempatan tersebut, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis mengingatkan semua pihak agar jangan menimba di air keruh. Ia mengingatkan umat agar tidak terpancing dan terpengaruh.
"Kita sudah punya lembaga hukum dan peradilan. Kita juga sudah punya Undang Undang terkait penanggulangan tindakan terorisme. Kita menghormati proses hukum, kita punya keyakinan Densus tidak main-main tetapi kita menghormati proses hukum sampai nanti ditetapkan pengadilan," ujarnya.
Kiai Cholil kembali menegaskan bahwa tertangkapnya Ahmad Zain An Najah ini merupakan urusan pribadi. Penjelasan polisi di berbagai media juga menegaskan bahwa Zain ditangkap karena aktivitasnya di beberapa lembaga yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah, bukan di MUI.
"Apa yang dikerjakan Beliau bukan bagian dari MUI, bukan tugas di MUI. Namun di media framingnya seolah-olah dari MUI secara kelembagaan," ujarnya.
Â
Advertisement
Ditangkap karena Bukti, Bukan MUI
Penangkapan terduga teroris Ahmad Zain An Najah tak disangkal ikut menyeret nama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya sederhana, yang bersangkutan ternyata anggota Komisi Fatwa MUI, sebuah posisi yang cukup bergengsi dan berada di struktur teratas MUI Pusat.
Namun demikian, pihak kepolisian dengan tegas mengatakan bahwa penangkapan Ahmad Zain tak ada hubungannya dengan posisinya di MUI. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Brigjen Pol Rusdi Hartono menegaskan tidak ada upaya Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror untuk mengkriminalisasi seseorang dalam menangani terorisme .
"Sekali lagi ingin saya sampaikan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror tidak ada upaya-upaya untuk melakukan kriminalisasi kepada siapa pun. Termasuk juga kegiatan (penangkapan) yang dilakukan di Bekasi pada tanggal 16 November 2021 kemarin," kata Rusdi dalam konferensi pers di Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2021).
Rusdi menjelaskan, aktivitas terorisme mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) bahkan dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Densus kata Rusdi, melakukan pendekatan memahami jejaring terorisme yang ada, dimulai dari pendanaannya dan juga melalui pergerakan orang di dalam organisasi.
"Tentunya, apa yang dilakukan oleh Densus dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian merupakan satu proses yang panjang, bukan proses insidentil belaka tapi merupakan hasil dari 'profiling' dan pemantauan yang cukup lama," kata Rusdi.
Dia menambahkan, upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror saat itu merupakan murni penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tindakan-tindakan menebar teror di masyarakat.
"Apapun yang dilakukan oleh Densus dalam rangka melakukan pencegahan aksi-aksi teror di Tanah Air dapat dijaga legalitasnya," terang Rusdi.
Penegasan serupa disampaikan Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar yang menyebutkan penangkapan terhadap Ahmad Zain An-Najah dan dua terduga lainnya di Bekasi terkait dengan lembaga pendanaan kelompok Jamaah Islamiyah (JI).
"Iya ketiganya ditangkap terkait lembaga pendanaan JI," kata Aswin di Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2021).
Aswin menjelaskan, Densus 88 dalam bertindak memprioritaskan keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak terkait dengan institusi atau sebuah kriminalisasi terhadap organisasi atau kelompok tertentu.
"Jadi ini yang harus digarisbawahi, bukan bajunya, bukan tampilan luarnya, bukan statusnya, jadi adalah keterlibatan dalam sebuah kelompok yang sudah dinyatakan kelompok teror, dan di bawah dari kelompok teror ini tentu panjang ceritanya, salah satunya adalah lembaga pendanaan," terang Aswin.
Dia menambahkan, dana-dana yang dikumpulkan oleh lembaga pendanaan JI digunakan untuk mengoperasikan organisasi tersebut dari tahun ke tahun.
"Jadi pendanaan ini untuk menjaga sustainable (keberlanjutan) dari kelompok JI," kata Aswin.
Selain itu, ada 28 berita acara pemeriksaan (BAP), keterangan ahli dan dokumen yang menjurus kepada tersangka Ahmad Zain An Najah, Anung Al Hamat dan Farid Ahmad Okbah, yang menjadi petunjuk bagi Densus 88 melakukan upaya hukum menuntaskan kelompok teroris JI.
Hasil penyidikan Densus 88 Antiteror Polri, Ahmad Zain An Najah menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Abdurrahman Bin Auf (LAM BM ABA). Sedangkan Farid Ahmad Okbah sebagai Anggota Dewan Syariah, sementara Anung Al Hamat sebagai pendiri dari Perisai Nusantara Esa, yakni organisasi sayap kelompok JI.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh, menilai langkah Densus 88 Anti-teror Polri yang menangkap tiga terduga teroris, yang salah satunya tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI, bukan bagian dari upaya membangun stigma buruk suatu institusi.
"Penangkapan terhadap tiga terduga yang dikenali sebagai dai, dan satunya lagi tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI, bukan dari upaya membangun stigma buruk terhadap peran dai dan institusi MUI," kata dia, di Jakarta, Kamis (18/11/2021).
Ia menilai kejadian itu hal biasa yang tidak bisa diduga terjadi dan dapat menyangkut siapa saja serta dari institusi mana saja.
Pangeran menilai, penangkapan Densus 88 merupakan aksi biasa dalam upaya mencegah terjadinya aksi terorisme karena pelaku yang ditangkap telah dibidik Densus 88 melalui rentang waktu lama dan dengan bukti-bukti kuat.
"Penangkapan terhadap para pelaku dan jaringan terorisme wajib diarahkan untuk mengusut dan menangkap tuntas dalang dari terorisme itu sendiri, karena tidak tertutup kemungkinan ada peran intelijen dan dana dari luar negeri seperti aksi teroris KKB di Papua," ujarnya.
Ia mengatakan, semua pihak wajib menghindari dan mencegah terhadap upaya 'membakar' institusi MUI hanya karena ulah oknum yang ditangkap itu menjadi pengurus di dalamnya.
Hal itu, menurut dia, karena bagaimanapun eksistensi MUI bagian tidak terpisahkan dari peran umat Islam untuk penguatan rumah kebangsaan NKRI sehingga wajib dijaga bersama atas peran terhormat institusi tersebut.