Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Publik Hilmi R Ibrahim menilai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah menyandang status pidana secara moral dan kepantasan sudah tidak tepat menduduki jabatan struktural. Dengan adanya status narapidana, meski telah dijalaninya, maka telah menghambat karier politiknya.
"Jika hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum tetapnya, 4 tahun atau lebih, pejabat yang bersangkutan akan dicabut statusnya sebagai pegawai negeri sipil atau PNS maupun Aparatur Sipil Negara atau ASN. Namun kalau hukumannya di bawah 4 tahun, misalnya 3 tahun atau bahkan hanya tiga bulan, pejabat tersebut tidak dipecat. Haknya sebagai PNS maupun ASN dikembalikan. Karena hukuman penjara yang telah dijalaninya itu mengembalikan hak dia sebagai PNS atau ASN," papar Hilmi R Ibrahim dalam keterangannya, Senin (10/1/2022).
Pakar kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu menjelaskan, seorang pejabat publik harus mencerminkan sebagai panutan. Dia tidak boleh cacat moralnya. Namun demikian hukuman yang telah dijalaninya itu tidak boleh membatasi hak dia untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik atau menduduki posisi tertentu.
Advertisement
"Setiap pemilihan jabatan struktural apalagi eselon 1 dan 2 itu ada panitia seleksinya atau Pansel. Nah Panselnya itu harusnya memilih calon yang tidak bermasalah dengan hukum," kata dia.
Namun demikian, lanjutnya, tidak boleh juga melarang calon yang pernah memiliki status narapidana. Hukuman yang pernah dijalani oleh salah seorang calon, hanya untuk catatan Pansel. Agar Pansel memilih yang tidak memiliki cacat hukum atau memilih yang belum pernah mendapatkan hukuman.
"Tapi tidak boleh menggugurkan dia sebagai calon. Semuanya itu ada di peraturan Menteri Dalam Negeri," papar Hilmi Rahman Ibrahim.
Lebih lanjut, mantan Direktur Pengelola Kawasan Gelola Bung Karno ini memaparkan, seorang calon pejabat eselon 2 atau 1 yang pernah menjalani hukuman di atas satu bulan dan di bawah 4 tahun, secara hukum tidak memiliki masalah untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik. Namun secara moral dan kepantasan, tidak pantas. Masih banyak calon yang bersih dari catatan hukum.
Hilmi memberikan solusi terkait hal ini. Salah satunya, Pansel dapat menggunakan hak subyektifitasnya untuk memillih atau membatalkan calon yang punya masalah hukum.
"Selain itu, biasanya di setiap seleksi pejabat publik membuka keran dan suara serta pendapat masyarakat untuk memberikan masukan atau tanggapan terhadap calon calon yang ikut serta dalan proses seleksi tersebut," ujar Hilmi.
Masukan dan pendapat masyarakat, kata dia, akan menjadi salah satu bahan pertimbangan Pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan salah satu calon.
Mengganggu Citra Pemerintah
Menurut Hilmi, dapat dibayangkan, jika pejabat yang diloloskan Pansel adalah pejabat yang paling banyak mendapatkan masukan dan penilaian buruk dari masyarakat, akan mengganggu pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan publik.
"Narapidana 4 bulan itu perbuatan tercela. Secara moral kasihan pejabatnya. Hanya akan menjadi olok-olokan kalau dipilih. Mestinya itu digunakan oleh Pansel untuk tidak memilihnya," ujar dia.
"Kalau saya Panselnya, catatan hukum pernah dihukum 4 bulan penjara itu, saya pertimbangkan untuk tidak meloloskan. Tapi pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya itu tidak boleh melarang dia ikut serta dalam proses seleksi. Hanya ada sangsi moral," imbuh dia.
Selain itu untuk keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan krdibel serta transparan, Pansel harus mempertimbangkan, apakah pejabat yang diloloskan, akan memberatkan yang bersangkutan atau tidak jika terpilih. Sebab pejabat yang bersangkutan akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat juga mengganggu citra pemerintahan secara keseluruhan.
"Mengingat secara moral bermasalah," tegas Hilmi Rahman Ibrahim.
Advertisement