Liputan6.com, Jakarta - Nama mantan Presiden Soeharto sempat dipertanyakan sejumlah pihak ketika Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara diterbitkan. Pasalnya, nama presiden kedua RI itu tidak dicantumkan dalam Keppres yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 24 Februari 2022.
Selang beberapa hari dari penerbitan Keppres, pemerintah merilis ke publik mengenai naskah akademik yang menjadi dasar kajian penerbitan Keppres tersebut. Berdasarkan naskah akademik dari website Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Polpum Kemendagri), nama Soeharto disebut sebanyak 48 kali. Sedangkan nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX disebut sebanyak 69 kali.
Naskah akademik tersebut memuat 138 halaman dan setidaknya ada 30 buku yang dijadikan rujukannya. Sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso menilai ada kemungkinan hal yang membuat nama Soeharto dipertanyakan. Seperti halnya adanya tafsiran peran besar Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 selama bertahun-tahun menjadi fokus utama.
Advertisement
Baca Juga
Serangan Umum 1 Maret 1949, yang dilakukan untuk merebut kembali Yogyakarta, yang saat itu berstatus sebagai ibukota negara dari genggaman Belanda, kata Bondan merupakan rangkaian momentum sejarah yang berkesinambungan sejak masa revolusi.
Hal yang lumrah kata dia, jika terdapat sejumlah pihak yang tidak setuju dengan tafsir yang disampaikan pemerintah. Seperti halnya menganggap peran Soeharto yang dinilai tidak signifikan atau sebesar tokoh lainnya dalam peristiwa 73 tahun lalu itu.
"Peran Pak Harto (dalam serangan 1 Maret) memang ada. Tapi mau sejauh mana kita menempatkan peran kesejarahan Pak Harto itu di dalam kontes persejarahan Indonesia. Itulah yang kemudian bisa berbeda dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Menurut dia, pemaknaan kesejarahan itu selalu dinamis jika dikaitkan dengan versi yang disampaikan oleh pemerintah. Contohnya saat pemerintahan orde baru yang menafsirkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret sebagai bentuk perjuangan yang ditempuhnya. Saat itu Soeharto merupakan TNI yang bertanggungjawab untuk wilayah Yogyakarta dengan pangkat Letkol.
Serangan umum itu, kata Bondan untuk memberikan dampak diplomasi secara internasional yang menunjukkan keberadaan Indonesia melalui kekuatan TNI meskipun pimpinan negara tengah diasingkan di luar Jawa oleh Belanda. Sebagai inisiator serangan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga melakukan koordinasi dengan pihak militer.
"Dan salah satu komandan wehrkreise (daerah) yang ada di Yogyakarta saat itu adalah Letkol Soeharto. Sehingga karena itulah kemudian tentu saja dengan jenjang otoritas tadi diterapkan ya mungkin dari panglima yang tertinggi terus diturunkan hingga ke jenjang pelaksana di lapangan itu melibatkan Pak Harto,"Â dia menjelaskan.
Â
Tak Menghilangkan Jejak Sejarah
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md angkat bicara terkait kisruh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
"Kenapa tidak disebut nama Soeharto? Ini adalah keputusan Presiden tentang titik krusidal, ini bukan buku sejarah," ujar Mahfud dalam akun Instagram pribadinya dikutip Minggu (6/3/2022).
Menurut dia, dalam Keppres tersebut hanya nama-nama penggagas dan penggerak saja yang disematkan. Lagipula, menurut Mahfud, tak disebutkannya nama Soeharto dalam Keppres tersebut tidak menghilangkan jejak sejarah.
"Ini hanya Hari Kedaulatan Negara, dan yang disebut di sana hanya pimpinan negara, presiden dan wakil presiden kemudian Menhan Sri Sultan dan Panglima Jenderal Soedirman sebagai penggagas dan penggerak," kata Mahfud.
Advertisement