RUU TPKS Sah Menjadi Undang-Undang, Diiringi Isak Tangis Komunitas Perempuan

DPR RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 12 Apr 2022, 11:41 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2022, 11:40 WIB
Demo Buruh Perempuan di Depan Gedung DPR
Buruh perempuan memegang poster saat menggelar aksi di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Mereka menuntut dibatalkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan mendesak agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan oleh DPR RI. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta DPR RI telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani. 

Tak hanya dihadiri anggota Dewan, paripurna kali ini juga dihadiri berbagai komunitas dan aktivis perempuan pendukung RUU TPKS.

Usai mendengar laporan Baleg terkait pembahasan RUU TPKS. Puan menanyatakan kepada seluruh fraksi persetujuan fraksi terkait RUU TPKS.

“Apakah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” tanya Puan, Selasa (12/4/2022).

“Setuju,” jawab peserta sidang disambut tepuk tangan peserta sidang.

Beberapa peserta sidang dari komunitas perempuan nampak meneteskan air mata usai Puan mengetuk palu pengesahan.

Sebelumnya, puan mengatakan, rapat paripurna kali ini akan menjadi tonggak bersejarah salah satu perjuangan masyarakat.

“Rapat paripurna hari ini merupakan momen bersejarah yang ditunggu-tunggu masyarakat. Hari ini RUU TPKS akan disahkan dan menjadi bukti perjuangan bagi korban-korban kekerasan seksual,” kata Puan,

RUU TPKS sendiri sudah diperjuangkan sejak tahun 2016 dan pembahasannya cukup mengalami dinamika, termasuk berbagai penolakan.

Pemerkosaan dan Aborsi Tidak Ada Dalam RUU TPKS

Pemerkosaan tidak masuk dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurut Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, alasannya karena pemerkosaan dan aborsi tidak diatur dalam draf RUU TPKS.

Willy menyebut, pemerkosaan sudah diatur dalam undang-undang lain yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kenapa kita tidak masukan pemerkosaan. Satu, karena sudah ada di KUHP. RKUHP itu lebih komplet lagi," ujar Willy pada wartawan, Rabu (6/4/2022).

Meski demikian, menurutnya pemerkosaan masih dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual lainnya dalam RUU TPKS.

"Memang kita tidak memasukan pemerkosaan dan aborsi. Dari 9 jenis kekerasan seksual yang kita sebutkan di atasnya, pemerkosaan kita sebutkan jenis kekerasan seksual lainnya, itu di bawahnya ada," ujar Willy.

Sementara aborsi, menurut Willy juga sudah diatur dalam undang-undang lain yaitu UU Kesehatan. "Kenapa aborsi tidak kita masukan. Itu ada dalam UU Kesehatan. Jadi, itu sudah cukup," jelas Willy.

Karena alasan itulah, lanjut Willy, Panja memutuskan tidak memasukkan dua jenis kekerasan seksual tersebut. "Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua UU, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy.

Sempat Ditolak PKS

Anggota Fraksi PKS Almuzzammil Yusuf menyampaikan pendapat mini fraksi terkait alasan penolakan RUU TPKS tersebut.

Salah satu poin penolakan PKS adalah agar RUU TPKS ini memasukkan secara lengkap jenis-jenis Tindak Pidana Kesusilaan yaitu segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perzinaan, dan Penyimpangan Seksual, Sehingga pembahasan RUU TPKS ini TIDAK menggunakan satu paradigma yaitu Kekerasan Seksual saja.

"Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk Tindak Pidana Kesusilaan. Norma perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain," kata Almuzzammil, Rabu (6/4/2022).

Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT)/Penyimpangan Seksual dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa.

"Mengingat adanya kekosongan hukum perihal pengaturan LGBT di Indonesia, karena tidak ada satu pun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit-normatif melarang perilaku LGBT, maka pembentuk undang-undang perlu segera mengaturnya," kata dia.

"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menolak Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebelum didahului adanya pengesahan RKUHP dan/atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersamaan dengan pembahasan RKUHP," sambung Almuzzamil.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya