Liputan6.com, Jakarta Bupati Bogor Ade Yasin ditangkap Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemilik nama lengkap Ade Munawaroh Yasin ini ditangkap bersama auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat serta beberapa pihak lainnya.
Ade Yasin diduga menyuap auditor BPK terkait pemeriksaan keuangan rutin Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mereka diamankan beserta uang ratusan juta rupiah yang masih dalam penghitungan tim penindakan KPK.
Baca Juga
"KPK telah mengamankan beberapa pihak dari Pemda Kabupaten Bogor, pemeriksa BPK, dan rekanan, serta sejumlah uang, serta barang bukti lainnya," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam keterangannya, Rabu (27/4/2022).
Advertisement
Ghufron belum bersedia membeberkan detail kasus yang membuat Ade Yasin tertangkap. Namun KPK memastikan penangkapan Ade Yasin dan auditor BPK lantaran keduanya terlibat tindak pidana suap.
"Kegiatan tangkap tangan ini dilakukan karena ada dugaan tindak pidana korupsi pemberian dan penerimaan suap," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Berdasarkan KUHAP, KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum Ade Yasin dan pihak-pihak yang turut diamankan.
"KPK masih memeriksa pihak-pihak yang ditangkap tersebut dan dalam waktu 1×24 jam. KPK segera menentukan sikap atas hasil tangkap tangan dimaksud. Perkembangannya akan disampaikan lebih lanjut," kata Ali.
Jauh sebelum menangkap Ade Yasin, sekitar delapan tahun yang lalu, KPK menangkap Rachmat Yasin yang tak lain merupakan kakak kandung dari Ade Yasin.
Rachmat Yasin juga terjaring OTT KPK saat menjabat Bupati Bogor. Rachmat ditangkap pada Rabu 7 Mei 2014 malam sekitar pukul 19.00 WIB. KPK mencokok Rachmat Yasin dari rumahnya di Perumahan Taman Yasmin, Kota Bogor.
Saat itu, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu diduga terlibat tindak pidana suap pengusutan izin Rancangan Umum Tata Ruang di Bogor, Puncak, dan Cianjur. KPK turut menyita uang miliaran rupiah saat penangkapan.
Dari penangkapan tersebut, Rachmat Yasin dijadikan tersangka kasus suap rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor Tahun 2014 atas nama PT Bukit Jonggol Asri seluas 2.754 Hektare.
Selain Rachmat Yasin, KPK memproses FX Yohan Yap (swasta), M Zairin (KepaIa Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor) dan Kwee Cahyadi Kumala, Komisaris Utama PT. Jonggol Asri dan Presiden Direktur PT Sentul City.
Dia divonis 5 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung pada Kamis 27 November 2014. Rachmat Yasin kemudian bebas pada 8 Mei 2019.
Tak Cuma Sekali
Belum satu bulan bebas, KPK kembali menjerat Rachmat Yasin menjadi tersangka. KPK menetapkan Rachmat Yasin dalam kasus suap. Rachmat Yasin kini dijerat dengan kasus dugaan 'memalak' dan 'menyunat' para satuan perangkat kerja daerah (SKPD) selama menjabat Bupati Bogor.
Rachmat Yasin diduga meminta, menerima, atau memotong pembayaran dari beberapa SKPD Rp 8.931.326.223. Setiap SKPD diduga memiliki sumber dana yang berbeda untuk memberikan dana kepada Rachmat Yasin.
Uang tersebut diduga digunakan Rachmat Yasin untuk biaya operasional dan kebutuhan kampanye Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Legislatif yang diselenggarakan pada 2013 dan 2014.
Selain itu, Rachmat Yasin juga diduga menerima gratifikasi, yaitu berupa tanah seluas 20 hektare di Jonggol, Kabupaten Bogor dan Toyota Velflre senilai Rp 825 juta.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, KPK tak langsung menahan Rachmat Yasin. Rachmat baru ditahan KPK pada 13 Agustus 2020. Dalam perkara ini, Rahmat Yasin divonis hukuman 2 tahun 8 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada Senin, 22 Maret 2021.
KPK kemudian menjebloskan Rahmat Yasin ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Eksekusi dilakukan pada Rabu, 7 April 2021.
Advertisement
Tak Kapok
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata merasa heran korupsi masih dilakukan oleh para kepala daerah. Padahal, sejak KPK berdiri, sudah banyak kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
Alex mengungkapnya dalam rapat koordinasi (Rakor) pemberantasan korupsi terintegrasi secara hybrid di Kantor Gubernur Kalimantan Timur, pada Rabu, 9 Maret 2022. Dalam rakor tersebut dihadiri Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
"Selama belasan tahun KPK hadir, sudah berapa kepala daerah yang mengalami OTT. Itu saja tidak membuat yang lain kapok. Ini menjadi keprihatinan kami. Kenapa terus berulang?," ujar Alex dalam keterangannya, Kamis (10/3/2022).
Alex menuturkan data dari Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2020 menjelaskan soal kebiasaan masyarakat memberikan imbalan atas pelayanan publik yang diterima.
Ada sejumlah hal yang dijadikan alasan seperti ucapan terima kasih 33%, sengaja diminta memberikan 25%, sebagai imbalan layanan lebih cepat 21%, serta tidak diminta, namun umumnya diharapkan memberi sebanyak 17%. "Hal ini menunjukkan masyarakat bersikap permisif terhadap korupsi atau serba membolehkan," kata Alex.
Modus Korupsi Terbanyak
Data dari KPK sendiri menemukan dalam rentang waktu 2004 sampai 2021, dua modus korupsi terbanyak yakni terkait penyuapan dan pengadaan barang jasa. Atas dasar itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata memandang perlunya perubahan pola pikir dan perilaku untuk menyikapi masalah tersebut.
Terkait hal itu, sistem Monitoring Center for Prevention (MCP) dapat dimanfaatkan untuk mengukur raihan keberhasilan perbaikan tata kelola pemerintahan secara administratif. Sistem ini, lanjut dia, dapat digunakan sebagai ukuran untuk membangun komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan pencegahan korupsi yang dilaporkan lewat MCP.
"Secara fakta di lapangan harus sama baiknya dengan nilai secara administratif. Jangan sampai tidak sinkron. Perlu penerapan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang holistik dan adil sehingga rakyat dapat merasakan secara langsung manfaatnya," kata Alex.
Advertisement