Wamenkumham Sebut Masih Ada Pro-Kontra soal Legalkan Pidana Mati

Edward Hiariej mengatakan, teori dasar digunakan dua kelompok pro dan kontra sama kuatnya.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 24 Mei 2022, 16:30 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2022, 16:30 WIB
Wamenkumham RI Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat diwawancarai wartawan di Manado, Rabu (11/5/2022).
Wamenkumham RI Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat diwawancarai wartawan di Manado, Rabu (11/5/2022).

Liputan6.com, Jakarta Persoalan pidana mati di Indonesia menjadi perdebatan. Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Indonesia saat ini masih melegalkan pidana mati.

Dua kubu terpecah, antara kelompok pro pidana mati dan kontra. Menurut kelompok kontra, pidana mati harus dihapuskan demi menjunjung hak asasi manusia (HAM) setiap warga negara.

Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Hiariej mengatakan, teori dasar digunakan dua kelompok pro dan kontra sama kuatnya. Maka dari itu, saat ini Indonesia menerapkan pidana mati yang bergaya Indonesia atau Indonesian Ways.

"Mengutip pernyataan Pak Muladi (Akademisi dan Menteri Kehakiman) di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ini adalah pidana mati yang Indonesian Ways," kata dia saat diskusi daring bersama ICJR, Selasa (24/5/2022).

Edward mencontohkan, sesama aktivis saja belum tentu memiliki pandangan senada terkait pidana mati. Dia meyakini, Aktivis HAM jelas bertolak berlakang dengan Aktivis Antikorupsi soal pidana mati. Sebab, Aktivis Antikorupsi selalu berteriak ingin koruptor dihukum mati tetapi Aktivis HAM sebaliknya, tidak boleh ada penjahat yang dihukum mati.

"Artinya apa? sesama teman aktivis saja tidak ada satu kata soal pidana mati. Karena persoalan pidana mati bukan hanya menyangkut persoalan hukum. Namun juga aspek religi, sosial dan politik," tegas Edward.

Edward mengaku, pidana mati di Indonesia sudah kerap dibahas dengan negara-negara sahabat, seperti Amerika, Inggris dan Australia.

Namun, berkaca dari survei yang pernah disimaknya terkait pidana mati, responden mengatakan bahwa pendukung pidana mati tidak semuanya mendukung hukuman tersebut saat dijatuhkan kepada seorang teroris.

"Tahun 2015 atau 2016 dilakukan survei soal pidana mati dengan ratusan responden yang intinya, 80% setuju dengan pidana mati, terhadap responden yang sama ada pertanyaan begini "apakah saudara setuju kalau teroris itu dijatuhi hukuman mati?" dari 80% yang setuju dengan pidana mati mengatakan tidak setuju teroris dipidana mati dan hanya 20% yang setuju, artinya ini bukan persoalan hukum, ini ada persoalan religi di sini, ada persoalan politik dan sosial masyarakat," yakin dia. 

 

Pidana Mati Indonesian Ways

Edward menambahkan, pidana mati Indonesian Ways adalah jalan tengah yang saat ini bisa diterapkan. Selain itu, pidana mati adalah pidana khusus dan bukan pidana pokok atau tambahan.

"Mengapa demikian? karena pidana mati harus secara selektif dijatuhkan," tegas Edward.

Edward melanjutkan, pidana mati Indonesian Ways punya masa percobaan selama 10 tahun saat pelaku dihukum pidana mati. Masa 10 tahun dilakukan sebagai pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) terhadap Terpidana Mati.

Nantinya, pembinaan atas terpidana mati dalam kurun waktu 10 tahun ini dinilai dapat menjadi dasar bagi terpidana mati untuk memohon perubahan pidananya menjadi penjara sementara waktu yang harus diatur dalam undang-undang.

"Bahwa itu nanti ada penilaian dan sebagainya kita setuju bahwa penilaian itu oleh LAPAS sebagai pembimbing kemasyarakatan. Jadi berbagai disertasi yang mengulas pidana mati seolah yang dijatuhi pidana mati itu menjalani dua pidana, pidana penjara dan pidana mati sendiri karena masa tunggu itu ada di dalam penjara," Eddy menutup.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya