Liputan6.com, Jakarta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna menjawab insiden adu tembak antar anak buah Kepala Divisi Propam Irjen Ferdy Sambo. Kendati demikian tim yang dibentuk ini berasal kalangan internal Polri. Pertanyaan kemudian muncul, akankah buah penyelidikan dan penyidikan tragedi berdarah di rumah jenderal polisi transparan dan berkeadilan tanpa keterlibatan pihak eksternal di dalam pengusutannya?
Tim tersebut terdiri dari Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono selaku penanggungjawab tim, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Agung Budi Maryo selaku ketua tim. Turut pula dalam tim tersebut Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri, dan Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Wahyu Widada.
Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsasi mengatakan, guna memastikan proses penyidikan yang independen dan transparan lembaga independen seperti Komnas HAM harus dilibatkan.
Advertisement
"Ini penting mengingat ada relasi kuasa dalam kasus ini," kata Iftitah dalam pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Rabu (13/7/2022).
Relasi kuasa yang dimaksud adalah tragedi adu tembak versi polisi yang menewaskan Brigadir Yoshua melibatkan jenderal bintang dua Ferdy Sambo karena kediaman dinasnya menjadi tempat kejadian perkara.
"Indikasi bahwa pengusutan kasus ini akan sulit berjalan dengan transparan sudah mulai terlihat dari ketika pihak kepolisian baru mengungkap peristiwa ini ke publik pada Senin 11 Juli 2022 ketika waktu kejadiannya sudah lewat 3 hari," kata Iftitah.
Oleh sebab itu, ke depan harus ada mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen, baik dalam proses peradilan seperti adanya pengawasan yudisial dan pengawasan dari penuntut umum dalam fungsi penuntutan, atau pun fungsi pengawasan eksternal yang nampaknya tidak lagi bisa ditempelkan dalam mekanisme Propam Polri.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyambut baik langkah Polri dalam membentuk TGPF guna mengusut insiden adu tembak di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Kendati demikian, ada baiknya Polri sudah mulai menonaktifkan Irjen Ferdy dari tugasnya karena kasus ini menyeret namanya sebab lokasi kejadian berada di rumah dinasnya.
"Karena insiden di rumah dinas ini tentu tak bisa dihindarkan menyeret nama dia (Ferdy). Persoalan nanti terbukti tidak bersalah, itu nanti yang bisa direhabilitasi nama baiknya," kata Bambang kepada Liputan6.com, Rabu (13/7/2022).
Bambang memandang meski tim sudah dibentuk, namun tidak mungkin tidak akan menimbulkan keraguan publik karena polisi memeriksa polisi yang dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan di dalam penyelidikan.
Sementara itu, Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, penuntasan kasus ini menjadi pertaruhan Polri sebagai institusi yang profesional. Sebabnya kejadian adu tembak ini seluruhnya berada di wilayah Polri, dari mulai pelaku, korban, tempat kejadian, dan pejabat yang terseret yaitu Irjen Ferdy Sambo. Ini kan kejadiannya di wilayah Polri semua, pelaku Polri, korban Polri, perumahannya Polri dan pejabatnya juga Polri," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (13/7/2022).
"Kasus ini dimensinya sudah luas dan dampaknya akan besar," ujar Arthur.
Di hubungi terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mencatat sejumlah kejanggalan dalam tragedi adu tembak versi polisi antara Brigadir yoshua dan Bharada E. Catatan pertama adalah terkait dengan autopsi Brigadir Yoshua oleh Polri. Padahal dalam keterangannya polisi menyebut Brigadir Yoshua adalah pelaku pelecehan dan pengancaman dengan senjata kepada istri Irjen Ferdy Sambo.
"Yang menjadi pertanyaan, tindakan bedah mayat tersebut tujuannya untuk apa? Padahal bedah mayat umumnya dilakukan untuk seorang korban kejahatan bukan pelaku kejahatan," ujar Sugeng.
Catatan lainnya adalah tidak adanya sterilisasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan menggunakan garis polisi usai baku tembak. Sugeng juga mempertanyakan hasil autopsi jenazah Brigadir Yoshua terkait luka sayatan dan dua jari putus yang disebut pihak keluarga Yoshua. Sementara pihak keluarga juga menemukan luka pada bibir, hidung dan sekitar kelopak mata.
"Catatan keempat, proyektil peluru pada tubuh Brigpol Nopryansah (Yoshua) kalibernya berapa," ujar Sugeng.
Sugeng berharap, tim khusus yang dibentuk Kapolri dapat mendeteksi ada tidaknya upaya intervensi dalam penuntasan perkara tersebut. Terlebih dengan lokasi kejadian maka Irjen Ferdy Sambo dan isterinya akan menjadi bagian yang diperiksa oleh tim tersebut.
"Kalau peristiwa itu berlanjut ke pengadilan, keduanya akan menjadi saksi tewasnya Brigpol Y di rumah Irjen Ferdy Sambo pada hari Jumat, 8 Juli 2022. Sehingga pembentukan tim gabungan ini, hasilnya benar-benar bisa menjawab keraguan publik terkait isu-isu liar, sesuai yang disampaikan Kapolri Listyo Sigit," kata Sugeng.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyambut baik ajakan Polri untuk untuk mengawasi agar lebih profesional, transparan dan akuntabel.
"Pada prinsipnya Kompolnas akan memastikan Polri profesional dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya dalam mengusut kasus ini, dengan didukung scientific crime investigation. Kompolnas sudah berkoordinasi dengan Polri terkait kasus ini, termasuk kami juga memantau proses pemeriksaan yang dilakukan Polres Jakarta Selatan," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (13/7/2022).
Poenky berharap tim yang dibentuk Kapolri ini dapat menjawab kejanggalan yang dilihat publik dalam insiden adu tembak antar anak buah Ferdy Sambo.
Komnas HAM Bekerja Sendiri
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menegaskan, bahwa pihaknya tidak ikut masuk dalam Tim Khusus yang dibentuk Kapolri dalam penanganan kasus adu tembak antar anggota Propam Polri.
"Komnas akan bekerja sendiri, tentu saja dengan SOP dan mekanisme yang ada di internal Komnas HAM. Jadi kami bukan bagian dari tim khusus atau tim gabungan yang disampaikan Pak Kadiv Humas maupun Pak Irwasum. Hanya kemudian memang ada pelibatan Komnas Ham untuk memantau jalannya atau bahkan melakukan penyelidikan atas jalannya proses pengungkapan kasus yang menjadi konsern kita bersama. Ini yang pertama saya ingin tegaskan," tegas Beka.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam menyampaikan,sejak awal kasus tersebut mencuat, pihaknya telah langsung bergerak mengumpulkan berbagai informasi, khususnya dari media.
Ketika kemudian mendengarkan bahwa Kapolri membentuk tim khusus dengan mengajak Komnas HAM, Anam menilai, itu menjadi spirit keterbukaan Polri dan kepercayaan kepada lembaga tersebut.
"Terima kasih sekali kami diberi kepercayaan. Namun demikian, seperti pembicaraan, kami tim Komnas HAM juga jalan dan di banyak titik nantinya kami akan berkoordinasi. Jadi kalau ada temuan yang progres atau teman-teman ada temuan yang progres itu bisa langsung di follow up," ujar Anam di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (13/7/2022).
Anam mengaku pihaknya hingga siang ini masih bertanya-tanya sebenarnya bagaimana mekanisme dan posisi Komnas HAM dalam pelibatan tim khusus nanti.
Akhirnya, lanjut dia, dari Polri menjelaskan semangat akuntabilitas dan transparansi, sekaligus menekankan bahwa Komnas HAM merupakan lembaga yang memiliki sifat independen.
"Sehingga ini agak khas nih, kami diajak, tapi kami juga diberikan kesempatan untuk menunjukkan independensi kami," ucap Anam.
Menko Mahfud Endus Kejanggalan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, kasus adu tembak anggota Polisi yang menewaskan Brigadir J alias Yoshua, tak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.
"Banyak kejanggalan yang muncul dari proses penanganan, maupun penjelasan Polri sendiri yang tidak jelas hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai peristiwanya," jelas Mahfud dikutip dari akun Instagramnya @mohmahfudmd, Rabu (13/7/2022).
Menurut dia, langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus ini sudah tepat. Terlebih, kata Mahfud, tim ini terdiri dari orang-orang kredibel yang dipimpin oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy.
"Itu sudah mewakili sikap dan langkah Pemerintah sehingga Kemenko Polhukam akan mengawalnya," ujarnya.
Mahfud menyampaikan bahwa kredibilitas Polri dan pemerintah menjadi taruhan dalam kasus ini. Sebab, dalam lebih dari setahun terakhir, Polri selalu mendapat penilaian atau persepsi positif yang tinggi dari publik, sesuai hasil berbagai lembagai survei.
"Kinerja positif pemerintah dikontribusi secara signifikan oleh bidang politik dan keamanan, serta penegakan hukum," tutur Mahfud.
Mahfud juga sudah meminta Sekretaris Kompolnas Benny J. Mamoto untuk aktif menelisik kasus ini. Dia juga berpesan agar Kompolnas membantu Polri membuat perkara ini menjadi terang.
DPR Panggil Kapolri
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menyebut, ada sejumlah kejanggalan terkait kasus tersebut. Kejanggalan pertama, dia menyoroti Polri baru memberikan keterangan pada Senin 11 Juli 2022, padahal insinden terjadi pada Jumat 8 Juli 2022.
"Pertama, kenapa sih agak lambat, itu kejadian dari Jumat kok munculnya Senin,” ujar Pacul pada wartawan, dikutip Rabu (13/7/2022).
Kejanggalan kedua, legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mempertanyakan banyaknya CCTV yang mati secara tiba-tiba atau karena kesambar petir.
"Kedua ada pemberitaan CCTV meninggal kesambar petir ini kan harus ada penjelasan barang bukti, gitu ini belum puas," jelasnya.
Ketiga, Bambang menegaskan penggunaan senjata api anak buah Kadiv Propam bahkan saling adu tembak adalah bentuk kejanggalan terbesar.
"Kemudian seorang polisi menggunakan senjata api antar tembak menembak ini kan emosional atau dalam situasi yang sangat tertekan yang menembak mati pasti kan kalau normal ada bedanya kecuali itu dalam keadaan terpaksa terancam sekali," jelasnya.
Oleh karena itu, politkus PDIP itu memastikan Komisi III akan memanggil Kapolri jederal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk meminta penjelasan kasus tersebut.
"Yakin ini akan menjadi suatu cerita yang panjang. Oleh karena itu sabar kita tunggu sama-sama mari kita monitor ya," ungkapnya.
Advertisement
Laku Janggal
Peristiwa adu tembak antara Brigadir J atau Yoshua dengan Bharada E, anak buah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang terjadi di sebuah rumah kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, semakin menjadi perhatian publik. Pertanyaan demi pertanyaan atas hal yang terasa janggal dalam perkara tersebut membuat informasi semakin liar.
Berawal dari terungkapnya peristiwa tersebut ke permukaan pada Senin, 11 Juli 2022. Pihak keluarga memilih menceritakan tentang Brigadir J atau Yoshua ke awak media saat masa berkabung di rumah duka daerah Jambi.
Mabes Polri pun akhirnya menyampaikan ke publik bahwa kasus adu tembak antar anak buah Irjen Ferdy Sambo itu terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022. Karo Penmas Divisi Humas Polri beralasan, jeda waktu dibukanya kasus itu ke publik lantaran penyidik masih bekerja dalam menangani perkara tersebut.
"Kita lakukan pemeriksaan dulu, penelusuran dulu," tutur Ahmad di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 11 Juli 2022.
Awalnya, Ahmad menyampaikan bahwa penyidik masih mendalami motif dari peristiwa tersebut. Brigadir J atau Yoshua disebut langsung melepas tembakan karena mendengar teguran dari Bharada E.
Sementara Bharada E menghindar dan membela diri, sehingga melakukan serangan balasan ke Brigadir J atau Yoshua hingga membuatnya tewas. Selain itu, Mabes Polri juga hingga saat ini enggan menyebut siapa pemilik rumah tempat kejadian perkara.
"TKP di perumahaan salah satu pejabat ya di Duren Tiga," kata Ahmad.
Berselang beberapa jam, Mabes Polri kembali mengundang awak media untuk mengikuti konferensi pers. Kasus tersebut nyatanya berkaitan dengan istri dari Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
"Peristiwa itu terjadi ketika Brigadir J memasuki kamar pribadi Kadiv Propam di mana saat itu istri Kadiv Propam sedang istirahat. Kemudian Brigadir J melakukan tindakan, pelecehan. Dan juga menodongkan dengan menggunakan senjata pistol, ke kepala istri Kadiv Propam," ujarnya.
Menurut Ahmad, istri Kadiv Propam pun berteriak minta tolong dan membuat Brigadir J atau Yoshua panik dan keluar kamar. Bharada E yang saat itu berada di lantai atas mendengar teriakan itu dan bergegas turun, namun dari atas tangga terlihat Brigadir J atau Yoshua.
"Jaraknya dari Brigadir J itu kurang lebih 10 meter, bertanya ada apa, namun direspon dengan tembakan yang dilakukan Brigadir J. Akibat tembakan tersebut terjadilah saling tembak. Dan berakibat Brigadir J meninggal dunia," ujarnya.
Ahmad mengatakan, Brigadir J atau Yoshua bertugas sebagai sopir istri Kadiv Propam Polri, sementara Bharada E merupakan asisten pribadi Irjen Ferdy Sambo.
"Yang jelas beliau (Ferdy Sambo) tidak ada di rumah, beliau mengetahui kejadian setelah adanya penembakan, yang menelepon pun istri beliau, kemudian beliau menghubungi Kapolres untuk ke TKP," terangnya.
CCTV Rusak saat Kejadian
Insiden yang terjadi sekitar pukul 17.00 WIB itu menyisakan sejumlah tanda tanya. Salah satunya tidak adanya kamera CCTV di rumah tersebut yang dapat digunakan sebagai barang bukti penuntasan kasus tersebut.
Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto mengatakan bahwa kamera CCTV di dalam rumah Kadiv Propam saat kejadian dalam kondisi mati.
"Kebetulan CCTV rusak sejak dua minggu lalu. Sehingga tidak dapat kami dapatkan," kata Budhi di Polres Metro Jaksel, Selasa (12/7/2022).
Budhi memastikan, pihaknya mengedepankan scientific crime investigation dalam mengusut perkara ini. Penyidik mencari alat bukti pendukung berupa CCTV dari sekitar rumah atau lokasi baku tembak.
"Ini bisa membuktikan petunjuk adanya orang-orang yang berada di rumah tersebut," ujar dia.
Pihak keluarga pun angkat bicara atas kematian Brigadir J atau Yoshua dalam peristiwa adu tembak dengan Bharada E di rumah pejabat Polri kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Rohani Simanjuntak menyampaikan bahwa Brigadir J atau Yoshua memang dibawahi langsung oleh Irjen Ferdy Sambo.
"Di tempat majikannya itu Irjen Ferdy Sambo itu ada adu tembak," tutur Rohani dalam rekaman video yang dikutip, Selasa (12/7/2022).
Menurut Rohani, pihak Mabes Polri memang menyampaikan bahwa peristiwa itu terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 bahwa ada peristiwa baku tembak yang menyebabkan tewasnya Brigadir J atau Yoshua. Namun terkait penyebab dari adu tembak itu sendiri tidak dibeberkan.
"Kalau sama kami belum ada (motifnya). Kalau dikabari sama kami itu adanya tembak-menembak. Hanya belum dikasih tahu (motif)," jelas dia.
Luka Sayatan dan Jari Putus
Rohani mengaku janggal dengan adanya luka sayatan di tubuh almarhum Brigadir J atau Yoshua. Sebab, dari kepolisian menyatakan hanya ada aksi saling tembak dalam peristiwa tersebut.
"Kami menerimanya sudah di dalam peti. Kami jemput dari kargo bandara. Sudah sampai rumah duka kami buka semua bajunya. Ternyata ada tembakan di sebelah kanan dua, di leher satu, di tangan satu, di bagian ini sama kaki ada luka benda tajam. Trus di mata sebelah kanan, di hidung dijahit, trus di bibir, sudah itu tangan jarinya dua mungkin patah kali ya. Ada luka juga di tangan kiri, di kaki juga ada luka benda tajam," ujar Rohani.
Selain itu, kejanggalan yang disoroti adalah adanya luka lebam atau memar di jasad Brigadir Yoshua. Awalnya pada Minggu 10 Juli 2022, keluarga melihat adanya darah segar yang merembes melalui jari kelingking jasad Brigadir J atau Yoshua, sehingga berinisiatif untuk membuka pakaian jenazah tersebut.
"Cuma celananya nggak kami buka sih. Yang kami buka bajunya, kaos kakinya, tenyata di sana ada luka-luka sama biru memar di bagian perutnya. Terus di matanya ini ada kayak luka sayatan ini, trus di bibirnya juga, di hidungnya ada jahitan. Trus di dada sebelah kanan itu ada tembakan dua, di leher satu. Tapi yang lebih besar lubang tembakannya di dada sebelah kanan," jelas dia.
Menurut Rohani, luka tembakan juga terlihat di tangan sebelah kiri. Adapun jari kelingking dan jari manis tangan kiri Brigadir J atau Yoshua tampak patah.
"Terus luka di kaki sebelah kanan ada juga. Jadi kalau dugaan dari sana itu ada tembak-menembak. Kalau ada tembak menembak nggak mungkin sampai ada luka-luka memar, luka di kaki seperti benda tajam," terang Rohani.
Advertisement
Murka Ketua RT
Ketua RT 05 RW 01, Irjen (Purn) Seno Sukarto (84) geram karena merasa tak dihargai lantaran tidak pernah mendapat penjelasan langsung dari pihak kepolisian, terkait insiden adu tembak antar polisi. Padahal dia juga merupakan pensiunan jenderal polisi.
Adapun terdapat insiden baku tembak antara Bharada E dan Brigadir Yoshua alias Brigadir J pada, Jumat 8 Juli 2022 lalu di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Dalam kejadian tersebut Brigadir Yoshua dinyatakan meninggal dunia.
"Sampai sekarang saya ketemu saja nggak, terus terang saya juga ya kesal. Saya ini dianggap apa sih, maaf saja saya ini jenderal lho, meskipun RT," kata Seno saat di sambangi, Rabu (13/7/2022).
Seno mengatakan, ia merasa tersinggung atas sikap kepolisian yang terkesan tak memandangnya sebagai Ketua RT setempat. Seno menambahkan, pihak kepolisian juga kerap memerintah sekuriti atau petugas keamanan tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan pengurus RT termasuk dirinya.
"Jadi saya memang tersinggung juga dalam hal ini. Sama sekali nggak ada laporan, nggak ada ini, merintahkan satpam seenaknya saja. Kenapa tidak memberi tahu saya sebagai ketua RT," ujar dia.
Seno sendiri mengaku tak mengetahui persis peristiwa baku tembak antara Bharada E dengan Brigadir Yoshua alias Brigadir J pada Jumat 8 Juli 2022 sekira pukul 17.00 WIB di kediaman Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Samb.
Menurut Seno, sekuriti sempat mendengar bunyi letusan. Namun, dikira suara itu bersumber dari petasan. Pasalnya pada saat itu menjelang hari raya Idul Adha