Liputan6.com, Jakarta Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Gayus Lumbuun mengatakan bahwa sudah sewajarnya Komisi Yudisial (KY) menindaklanjuti laporan terdakwa Kuat Ma'ruf terhadap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Wahyu Iman Santoso, yang menangani kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
"KY punya kewajiban untuk menampung laporan, memproses. Tapi saya pribadi mantan hakim, saya harus mengatakan bahwa itu harus teliti mengenai kosa kata, itu interaktif atau tidak," kata dia kepada wartawan, Senin (12/12/2022).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Gayus, laporan yang dibuat itu terkait dalam hal etika komunikasi. Dia pun menerangkan beberapa hal soal etika umum dan etika interaktif.
"Kalau interaktif, wajib untuk dijaga. Kalau etik umum itu biasa. Etik umum itu terjadi, kan etika itu bukan salah benar, tapi patut atau tidak patut. Itu etik bukan hukum. Kalau hukum bicara benar dan salah. Tapi etik itu bicara layak atau tidak layak, patut atau tidak patut," terangnya.
Kuat Ma'ruf sendiri melalui kuasa hukumnya melaporkan hakim ke KY lantaran menyebut terdakwa buta dan tuli. Gayus pun menyarankan Komisi Yudisial menggandeng ahli bahasa untuk memastikan apakah ada pelanggaran etik dengan penggunaan dua kata tersebut.
"Tergantung tujuan dari apa yang diharapkan dari lontaran dalam komunikasi buta dan tuli. Lebih baik KY melibatkan ahli linguistik. Ada ahli linguistik di Kumham punya itu. Saya tau sekali, ahli bahasa tentang etika komunikasi. Itu bisa ditanyakan apakah sang hakim mengejar pertanyaan mengungkapkan buta dan tuli, apakah itu kosa kata yang melanggar etika interaktif," katanya.
Gayus mengungkapkan, ada peraturan terkait perlindungan saksi dan korban yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, di dalamnya tidak menjelaskan secara spesifik tentang kosa kata.
"Misalnya, pada UU perlindungan saksi dan korban. Status saksi itu kalaupun terdakwa, status dalam persidangan itu sebagai saksi. KUHAP sebagai saksi. Maka, ada UU perlindungan saksi dan korban yang menekankan bahwa proses peradilan hukum tidak boleh melakukan tekanan kepada saksi dan korban dalam bentuk apapun," ujar Gayus.
Â
Perlu Penelusuran
Sebab itu, lanjutnya, perlu penelusuran apakah kata tuli dan bisu yang diucapkan hakim saat itu masuk dalam kategori tekanan terhadap Kuat Ma'ruf saat menjadi saksi persidangan. Ahli bahasa diyakini dapat menilai makna dari kedua kosa kata itu.
"Kalau itu ditujukan kepada makian memaki, memang betul itu akan melanggar. Kalau memaki anda tuli, misalnya begitu. Tapi ini kan pertanyaan, kok anda tidak tahu anda berada di sana, apakah anda tuli. Tuli ya? Itu ahli yang bisa menilai," tuturnya.
Gayus menegaskan, ahli linguistik juga dapat menilai apakah hakim yang kerap menyebut sejumlah saksi berbohong dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, bermakna kesimpulan atau tidak. Sebab tidak menutup kemungkinan hakim sudah membuat pernyataan.
"Itu dilihat nadanya. Kalau anda berbohong, itu mungkin bisa saja dia sudah membuat analisis atau statemen. Tentu pemaknaannya oleh ahli bahasa. Jadi saya menekankan ahli bahasa mengenai lontaran kata masuk kepada etik komunikasi melanggar atau tidak. Kalau pun melanggar, etik kan sanksinya administratif, kalau hukum tindakan. Jadi etik ini pada administrasi, ditegur dan maksimal dipindahkan," Gayus menandaskan.
Advertisement