Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan NKRI sesuai ketentuan Konstitusi adalah negara hukum. Oleh karena itu, ia menilai seharusnya Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat.
“Seharusnya melaksanakan keputusan MK sepenuh hati dengan intensif mengajak DPR untuk segera melaksanakan putusan MK tersebut. Bukan malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUDNRI 1945 adalah final dan mengikat,” kata HNW dalam keterangannya, Selasa (3/12/2023).
Politikus PKS itu menyebut MK meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, salah satunya, karena tidak adanya meaningful participation atau partisipasi masyarakat yang bermakna.
Advertisement
“Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa meaningful participation yg diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan. Sekarang bukan hanya masyarakat yang tidak dillibatkan, bahkan DPR selaku lembaga perwakilan rakyat pun, tidak diajak untuk membahas substansi dan praktek revisi yang diputuskan oleh MK itu,” ujarnya.
Menurut HNW, pada masa sidang terdekat, DPR akan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu tersebut.
“Maka akan mustahil apabila DPR diminta mengkaji dan menyetujui dengan baik dan benar terhadap Perppu yang terdiri dari 186 pasal yang ‘beranak pinak’ dan 1.117 halaman itu dalam waktu yang sangat sempit,” kata dia.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja Tak Sesuai Syarat
HNW menyayangkan hal tersebut sebab waktu yang disediakan MK untuk merevisi UU itu masih tersedia. Karena MK memberikan batas waktu luang dua tahun atau hingga 25 November 2023.
Selain itu, HNW menilai penerbitan Perppu No 22/2022 ini juga tidak sesuai dengan syarat untuk bisa diterbitkannya Perppu. Aturan itu ada dalam Konstitusi/UUD NRI 1945 pasal 22 ayat (1) yakni adanya kegentingan yang memaksa.
“Walaupun secara teori, tafsir kegentingan yang memaksa itu adalah penilaian subjektif presiden, tetapi common sense dan pada prakteknya tentu harus didukung dengan argumentasi yang legal rasional, dan kemudian perlu diuji secara objektif oleh DPR,” pungkasnya.
Advertisement