Jelang Penerimaan Mahasiswa Baru, KPK Sebut Masih Banyak Perguruan Tinggi Negeri Nakal

KPK menyebut terungkapnya kasus dugaan suap dalam penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila) membuka tabir masih banyaknya perguruan tinggi negeri yang menyalahgunakan wewenang demi meraih keuntungan pribadi.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 18 Mei 2023, 13:29 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2023, 13:28 WIB
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut terungkapnya kasus dugaan suap dalam penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila) membuka tabir masih banyaknya perguruan tinggi negeri yang menyalahgunakan wewenang demi meraih keuntungan pribadi.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mewanti-wanti hal tersebut jelang penerimaan mahasiswa baru (PMB). Menurut Pahala, pendidikan tinggi adalah jenjang dimana pendidikan korupsi diuji. Adanya beberapa kasus korupsi dalam PMB menjadi penanda rentannya tata kelola perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.

"Yang kita ingin lakukan, kita bangun tata kelola yang baik ke depannya, kuncinya adalah transparan sehingga kepercayaan publik tinggi dan risiko korupsi bisa kita tekan," ujar Pahala dalam keterangannya, Kamis (18/5/2023).

KPK berharap pengelolaan perguruan tinggi ke depannya menjadi lebih baik. Pasalnya, sumber daya di perguruan tinggi berpotensi masuk dunia kerja yang rentan terjadi penyuapan serta gratifikasi.

Pahala mengungkap, pada September-Desember 2022, KPK melakukan kajian dengan mengambil tujuh sampel PTN dari Kemendikbud Ristek dan enam PTN dari Kemenag. Lebih lanjut, dilakukan pula pendalaman dengan 6 sampel PTN pada bulan Maret 2023.

"KPK memfokuskan kajian pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2020-2022 dalam program studi S1 Fakultas Kedokteran, Teknik, dan EKonomi," kata Pahala.

Dalam hasil kajian ditemukan beberapa permasalahan. Pertama, adanya ketidakpatuhan PTN terhadap kuota penerimaan mahasiswa khususnya jalur mandiri. Kedua, mahasiswa yang diterima pada jalur mandiri tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh PTN, ranking atau kriteria lain.

Ketiga, praktik penentuan kelulusan sentralistik oleh seorang rektor cenderung tidak akuntabel. Keempat, besarnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebagai penentu kelulusan.

Kelima, tidak transparan dan akuntabelnya praktik alokasi bina lingkungan dalam penerimaan mahasiswa baru. Keenam, adanya ketidakvalidan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pengawasan dan dasar pengambilan kebijakan.

"Kami masih menemukan adanya disparitas praktik antar-perguruan tinggi yang kita nilai bahaya. Kita masih menemukan juga rektor penentu tunggal afirmasi," kata Pahala.

Oleh karena itu, sebagai upaya pencegahan potensi korupsi menjelang masa PMB tahun 2023, KPK memberikan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat membantu pengelolaan PMB yang bersih dan bebas korupsi.

Pertama, KPK meminta PTN meningkatkan transparansi pada seleksi jalur mandiri (jumlah kuota penerimaan, kriteria dan mekanisme penilaian, serta afirmasi diumumkan secara detail sebelum seleksi dilaksanakan).

Kedua, menyatakan bahwa besaran SPI tidak menjadi penentu kelulusan. Besaran SPI diterapkan berbasis kemampuan sosial ekonomi keluarga mahasiswa seperti penerapan UKT.

Ketiga, PTN membangun sistem otomasi dalam penentuan kelulusan PMB alias rektor tidak menjadi penentu tunggal atau membangun mekanisme kolektif dalam pengambilan keputusan akhir PMB.


Akan Diberi Sanksi Administrasi

Keempat, Dirjen Dikti memberi sanksi administratif yang lebih tegas bagi PTN yang melanggar ketentuan PMB. Kelima memperbaiki akurasi dan validitas data PD-DIKTI baik di tingkat PTN mau pun nasional serta mendayagunakannya sebagai alat kontrol dan evaluasi pelaksanaan PMB.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam menyampaikan apresiasinya terhadap kajian yang dilakukan KPK. Dia menyampaikan fungsi perguruan tinggi adalah memberi akses secara inklusif bagi anak bangsa, tidak memandang latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam pelaksanaannya, hanya 28% yang dapat dicover pemerintah. Sehingga perlu gotong royong, melalui subsidi, skema lain seperti UKT, dan jalur mandiri dengan penggalangan dana yang disesuaikan dengan kemampuan orang tua mahasiswa. Hal ini yang nyatanya menjadi permasalahan.

"Mohon dikawal agar proses seleksi masuk perguruan tinggi bisa aman dan baik bagi masyarakat maupun untuk dunia pendidikan," ujar Nizam.

Lanjutkan Membaca ↓

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya