Filosofi Marantau di Dalam Pantun-Pantun Minangkabau

Di era digital, pantun Minangkabau tentang merantau masih sering dibagikan dalam bentuk tulisan maupun video di media sosial

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 10 Apr 2025, 00:00 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2025, 00:00 WIB
Ilustrasi Rumah Gadang, Minangkabau, Sumatra Barat
Ilustrasi Rumah Gadang, Minangkabau, Sumatra Barat. (Photo by Hiraku Visual on Unsplash)... Selengkapnya

Liputan6.com, Padang - Pantun Minangkabau telah lama menjadi media penyampai nilai-nilai merantau, tradisi yang melekat kuat dalam identitas masyarakat Minang. Melalui rangkaian kata berirama, pantun tidak hanya menghibur tetapi juga menanamkan filosofi merantau sebagai proses pendewasaan dan pengabdian untuk kampung halaman.

Mengutip dari Gadjah Mada Journal of Humanities, masyarakat Minangkabau memiliki kekayaan pantun yang menggambarkan esensi merantau. Salah satu pantun terkenal berbunyi ‘karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun.

Pantun ini mengajarkan bahwa merantau adalah tahap penting bagi pemuda Minang sebelum dianggap matang dan berguna bagi masyarakat. Pantun-pantun Minang sering kali menggunakan metafora alam, seperti sungai, gunung, dan tanaman, untuk melukiskan perjalanan merantau.

Contohnya ‘sawah ladang bukanlah hutan, tempat padi tumbuh subur. Jauh berjalan banyak dilihat, lama merantau banyak dirasa’. Pantun ini menekankan bahwa merantau bukan sekadar pergi, tetapi juga proses belajar dan mengumpulkan pengalaman.

Pantun Minangkabau tidak hanya berisi nasihat untuk pergi merantau, tetapi juga mengingatkan akan tanggung jawab untuk kembali. Sebuah pantun menyatakan ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana rantau ditinggal, di situ kampung dibangun’.

Pesan dari pantun tersebut adalah merantau bukanlah akhir, melainkan persiapan untuk berkontribusi bagi tanah kelahiran. Meskipun pola merantau telah berubah seiring waktu, pantun Minangkabau tetap relevan.

Dahulu, merantau identik dengan perjalanan fisik ke daerah jauh. Kini, merantau bisa berarti menempuh pendidikan tinggi atau bekerja di kota besar.

Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam pantun seperti keberanian, pembelajaran, dan tanggung jawab terhadap kampung halaman tetap sama. Fenomena marantau cino (merantau tanpa kembali) yang semakin umum tidak mengurangi makna pantun-pantun ini.

Justru, pantun menjadi pengingat akan akar budaya Minang yang menekankan keseimbangan antara meraih kesuksesan di rantau dan membangun kampung halaman. Di era digital, pantun Minangkabau tentang merantau masih sering dibagikan dalam bentuk tulisan maupun video di media sosial.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya