Liputan6.com, Jakarta Defisit APBN sudah tembus Rp 104,2 triliun sampai 31 Maret 2025. Angka ini mencerminkan sekitar 16,9 persen dari total defisit yang ditargetkan sepanjang tahun, yakni Rp 616,2 triliun.
Meskipun demikian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa angka tersebut masih berada dalam batas wajar dan aman, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 62 Tahun 2024 tentang APBN Tahun Anggaran 2025 yang telah disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat diangka 2,53 persen.
Baca Juga
Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari PDB.
Advertisement
"2,53 persen itu artinya defisit Rp 616 triliun," ujar Sri Mulyani dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional, di Menara Mandiri Sudirman.
Defisit APBN berasal dari sisi pendapatan negara, di mana realisasi hingga akhir Maret 2025 baru mencapai Rp 516,1 triliun, atau setara 17,2 persen dari target tahunan sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Kontribusi terbesar berasal dari sektor perpajakan, yakni sebesar Rp 400,1 triliun. Angka tersebut baru memenuhi 16,1 persen dari target penerimaan perpajakan yang ditetapkan sebesar Rp 2.490,9 triliun.
Penerimaan perpajakan itu sendiri terdiri dari dua komponen utama. Pertama adalah penerimaan dari sektor pajak yang mencapai Rp 322,6 triliun, atau 14,7 persen dari target tahunan Rp 2.189,3 triliun.
Kedua adalah penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai sebesar Rp 77,5 triliun, yang justru menunjukkan kinerja cukup baik dengan capaian 25,7 persen dari target Rp 301,6 triliun.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memberikan kontribusi sebesar Rp 115,9 triliun, atau 22,6 persen dari target tahunan sebesar Rp 513,6 triliun. Realisasi yang cukup tinggi ini menjadi salah satu penopang utama pendapatan negara di kuartal pertama tahun ini.
Belanja Negara Mengalir, Namun Belum Maksimal
Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga Maret 2025 tercatat sebesar Rp 620,3 triliun. Ini setara dengan 17,1 persen dari total pagu anggaran belanja sebesar Rp 3.621,3 triliun.
Belanja negara tersebut terbagi dalam dua kategori besar, yakni belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Belanja Pemerintah Pusat telah mencapai Rp 413,2 triliun atau 15,3 persen dari total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 2.701,4 triliun.
Komponen ini mencakup Belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp 196,1 triliun (16,9 persen dari pagu Rp 1.160,1 triliun) dan Belanja Non-K/L sebesar Rp 217,1 triliun (14,1 persen dari pagu Rp 1.541,4 triliun).
Sementara itu, transfer ke daerah telah terealisasi sebesar Rp 207,1 triliun atau 22,5 persen dari target Rp 919,9 triliun. Realisasi transfer ini penting, karena berkontribusi langsung terhadap pelayanan publik dan pembangunan di tingkat lokal.
Meskipun APBN menunjukkan defisit yang signifikan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa keseimbangan primer, yaitu selisih antara pendapatan dan belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang masih mencatat surplus sebesar Rp 17,5 triliun.
Artinya, secara operasional, negara masih mampu menutup pengeluarannya tanpa harus menambah beban bunga utang secara langsung.
Namun, angka surplus tersebut sebenarnya merupakan deviasi dari target keseimbangan primer yang justru direncanakan berada dalam kondisi defisit sebesar Rp 63,3 triliun.
Dengan kata lain, kinerja fiskal saat ini memang masih relatif positif, tetapi tidak menutup kemungkinan akan mengalami tekanan lebih lanjut jika belanja meningkat atau pendapatan tidak tumbuh sesuai harapan.
Untuk menutupi defisit yang sudah terjadi, pemerintah telah mulai merealisasikan pembiayaan anggaran. Hingga akhir Maret 2025, realisasi pembiayaan sudah mencapai Rp 250 triliun atau sekitar 40,6 persen dari kebutuhan pembiayaan yang ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun.
Masih Dalam Rentang Aman
Defisit anggaran ini pun mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, salah satunya Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf.
Dia menilai, defisit APBN per Maret 2025 masih dalam rentang aman. Pasalnya, defisit Rp 104,2 triliun masih setara 0,43 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau sekitar 16,9 persen dari target defisit APBN 2025 senilai Rp 616,2 triliun atau setara 2,53 persen dari PDB.
"Kalau intuisi sederhana saya, kalau masih di bawah 1/4 defisit sih aman. Karena defisit atau surplus itu konsolidasi tahunan, dan diawal-awal tahun berarti masih banyak room for manuver," ujar Arief kepada Liputan6.com.
Sosok yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional ini turut memberi masukan, hal yang perlu diantisipasi pemerintah ke depan ialah perputaran budget dalam siklus APBN, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.
"Berarti tinggal dipastikan aja pengeluaran 9 bulan ke depan sesuai dengan target defisit 2,53 persen," kata dia.
Menurut dia, terlalu dini untuk menghakimi defisit anggaran ini sebagai masalah serius. Lantaran kinerja APBN 2025 baru berjalan tiga bulan di kuartal pertama.
"Yang perlu dipikirkan adalah antisipasi pertumbuhan ekonomi yang mungkin akan berkurang karena global slow down akibat trump (-0.5 persen untuk indonesia) yang sangat mungkin berpotensi mengurangi realisasi penerimaan negara," imbuhnya.
Sebagai catatan, defisit pada Maret 2025 ini memancing perhatian tersendiri, lantaran kinerja APBN pada Maret 2024 tercatat surplus. APBN tahun lalu surplus Rp 8,1 triliun atau 0,04 persen dari PDB hingga Maret 2024.
Perbandingan YoY dari Maret 2024
Jika dilihat secara tahunan (YoY), pendapatan di Maret 2025 (Rp 516,1 triliun) memang lebih kecil dibanding Maret 2024 (Rp 620,01 triliun). Di sisi lain, porsi belanja di Maret 2025 (Rp 620,3 triliun) juga membengkak besar dibanding tahun lalu (Rp 611,9 triliun).
Mengacu pada data itu, Arief menyarankan kepada pemerintah agar konsisten terhadap fokus belanja ke depan. Utamanya guna menghadapi situasi ekonomi tak pasti di tingkat global.
"Kalau pengeluaran yang jadi masalah pastiin aja tidak ada perubahan orientasi belanja selama bulan-bulan ke depan. Misal kebutuhan-kebutuhan counter-cyclical jika ada gejolak ekonomi," pintanya.
Di sisi lain, Arief melihat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga sudah melakukan antisipasi terhadap potensi disrupsi yang dilakukan Donald Trump yang akhirnya kejadian lewat tarif resiprokal.
Dengan strategi frontloading APBN 2025, yakni strategi pembiayaan APBN, khususnya dengan penerbitan surat utang pemerintah dalam porsi signifikan di awal tahun fiskal.
Tercatat, pemerintah telah menarik utang baru di sepanjang tahun ini hingga Maret 2025 sebesar Rp 270,4 triliun. Meningkat Rp 164,8 triliun dari realisasi akhir Maret 2024 sebesar Rp 105,6 triliun.
"Sepertinya sumber dari non-typical deficit ini memang frontloading pemerintah. Frontloading mengantisipasi disrupsi dari kebijakan resiprokal Trump," pungkas Arief.
Hal senada juga diungkapkan Ekonom Senior Indef Aviliani. Dia menilai, kinerja APBN masih dalam kondisi sehat, karena defisit sebesar 0,43 persen dari PDB) masih dalam sasaran target Kemenkeu di 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB.
"Walaupun APBN dalam kondisi defisit, tetapi keseimbangan primer masih surplus sebesar Rp 17,5 triliun. Hal ini merupakan katalis positif," ujar Aviliani kepada Liputan6.com.
Ke depan, ia pun menyarankan pemerintah untuk menerapkan strategi counter cyclical. Untuk menangkal dampak siklus ekonomi yang ada saat ini, khususnya kebijakan tarif Trump.
"Strategi yang perlu dilakukan oleh Kemenkeu dalam tata kelola APBN, terutama pasca tarif reciprocal Trump adalah kebijakan yang bersifat counter-cylical untuk menjaga perekonomian domestik," ungkapnya.
Berikutnya, ia menilai pengalihan anggaran dan efisiensi perlu dievaluasi. Untuk diprioritaskan kepada alokasi yang mempunyai dampak pada pertumbuhan ekonomi, termasuk di daerah.
"Selain itu, untuk menaikkan pajak perlu dilakukan ekstensifikasi pajak dari underground economy, dan wajib pajak yang belum membayar pajak," kata Aviliani.
Advertisement
Pengusaha Pede Dunia Usaha Masih Kuat
Meski APBN mencatat defisit sebesar Rp104,2 triliun, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Sekjen Hipmi), Anggawira masih optimis dunia usaha di Indonesia mampu tetap menunjukkan ketahanan.
"Meskipun saat ini kita menghadapi tantangan seperti defisit APBN sebesar Rp104,2 triliun per Maret 2025 dan penurunan daya beli masyarakat, dunia usaha di Indonesia tetap menunjukkan ketahanan dan semangat inovasi yang tinggi,” ujar Angga kepada Liputan6.com.
Angga menilai, Pemerintah telah mengambil langkah proaktif dengan menawarkan konsesi perdagangan kepada Amerika Serikat, termasuk penurunan tarif impor untuk beberapa produk, sebagai upaya memperkuat hubungan dagang dan membuka peluang ekspor baru bagi pelaku usaha dalam negeri.
“Langkah ini diharapkan dapat menciptakan peluang baru bagi produk Indonesia di pasar internasional,” ucapnya.
Angga menyoroti, defisit APBN yang tercatat di Bulan Maret masih berada dalam batas yang wajar dan terkendali, mencerminkan pengelolaan fiskal yang hati-hati oleh pemerintah.
“Hal ini memberikan keyakinan bahwa pemerintah memiliki ruang untuk terus mendukung dunia usaha melalui berbagai kebijakan stimulasi ekonomi,” kata dia.
“Kami percaya bahwa dengan kolaborasi erat antara pemerintah dan sektor swasta, serta semangat inovasi dan adaptasi yang dimiliki oleh para pelaku usaha, Indonesia mampu melalui tantangan ini dan terus bergerak menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin juga menilai realisasi defisit APBN tahun 2025 masih dalam batas yang terkendali.
"Menurut saya, realisasi defisit APBN masih terjaga. Karena sesuai UU Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, defisit didesain Rp616 triliun, yang setara 2,53 persen PDB. Sehingga, realisasi defisit sebesar Rp104,2 triliun dapat dikatakan masih terkendali dalam batas aman," ujar Puteri kepada Liputan6.com.
Meskipun demikian, Puteri menekankan pentingnya pengelolaan defisit secara berhati-hati. Pemerintah, perlu menerapkan strategi penerbitan utang yang terukur dan efisien. Hal ini penting untuk menghindari risiko fiskal yang berlebihan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
"Diantaranya dengan strategi penerbitan utang yang terukur, antisipatif, efisien, inovatif, dengan disertai mitigasi risiko," tegasnya.
Memperkuat Penerimaan Negara
Selain sisi pembiayaan, Puteri juga mendorong pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara. Salah satu langkah strategis yang diusulkannya adalah penyempurnaan sistem administrasi perpajakan melalui Coretax System, yang diyakini dapat meningkatkan kinerja penerimaan pajak.
Tak hanya itu, ia menekankan pentingnya menjaga ritme belanja negara agar tetap sesuai rencana dan tepat sasaran. Menurutnya, belanja negara harus mampu menjadi peredam (shock absorber) terhadap berbagai tekanan ekonomi global yang masih berlangsung.
"Dengan demikian, kombinasi strategi tersebut diharapkan defisit APBN tetap terjaga dan terkendali," pungkas Puteri.
Aturan dan Rentang Defisit APBN
Batas maksimal defisit APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya pasal 12. Pasal tersebut secara lengkap berbunyi:
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penjelasan pada Ayat (3) tertulis "Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto." Ini artinya defisit anggaran yang diperbolehkan oleh Undang-Undang yaitu sebesar 3% dari PDB dan tidak boleh lebih.
Defisit APBN 2025
Adapun Defisit APBN 2025 ditetapkan pada rentang 2,29 persen-2,82 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu telah disepakati Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), dan Bank Indonesia, serta Badan Anggaran (Banggar) DPR.
“Defisitnya sudah diputuskan 2,29 persen. Dan hitungan prediksi saya, untuk pemerintahan baru menjaga kesinambungan fiskal, hitungan saya (defisit) paling maksimal sekitar 2,4-2,5 persen,” ujar Ketua Banggar DPR Said Abdullah pada Juli 2024 lalu.
Untuk pendapatan negara, ia menambahkan, ditargetkan mencapai 12,30-12,36 persen dari PDB dengan proyeksi penerimaan negara sebesar Rp2.900-3.000 triliun.
Said Abdullah menuturkan, target tersebut diputuskan secara hati-hati dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi global, termasuk geopolitik dan rantai pasok (supply chain), yang masih belum stabil, sehingga kondisi perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih dari dampak perlambatan akibat pandemi.
"Itu kami memutuskan sudah dengan hati-hati sekali, tidak asal memutuskan, bahkan kalau effort (upaya) pemerintah bisa penerimaan negara itu 12,3 persen (dari PDB), itu sudah kan luar biasa," kata Said.
Said menuturkan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat menjadi sumber pendapatan negara yang yang lebih dapat diandalkan daripada pajak dan cukai. Selain itu, menurut dia, diperlukan reformasi perpajakan serta implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang efektif agar dapat mewujudkan target penerimaan tersebut.
Perkuat Pengelolaan Belanja
Kala itu, Said juga menyoroti diperlukannya langkah yang efektif dalam penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) untuk memperkuat pengelolaan belanja dan penerimaan negara.
"Pemerintah bisa mencari terobosan yang bersifat terstruktur dan institusional, menghilangkan ego sektoral antarkementerian dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan TKD. Perlu kebijakan untuk menerbitkan pedoman dan peraturan terkait yang terintegrasi dan tersinkronisasi antara satu dengan lainnya sebelum tahun anggaran dimulai," ujar dia.
Dalam kesempatan tersebut, juga disepakati belanja negara sebesar 14,59-15,18 persen dari PDB, belanja pemerintah pusat 10,92-11,17 persen dari PDB, TKD 3,67-4,01 persen dari PDB, keseimbangan primer -0,14 hingga -0,61 persen dari PDB, pembiayaan investasi 0,3-0,5 persen dari PDB, serta rasio utang 37,82-38,71 persen dari PDB.
Advertisement
Tetap Terukur
Meski defisit Rp 104,2 triliun, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pembiayaan dalam APBN tahun 2025 tetap dilakukan secara prudent, terukur, dan akomodatif terhadap efisiensi belanja negara serta dinamika pasar keuangan.
Hingga akhir Maret 2025, realisasi pembiayaan anggaran tercatat mencapai Rp250 triliun atau 40,6 persen dari target APBN 2025. Angka tersebut mencakup realisasi pembiayaan utang sebesar Rp270,4 triliun (34,8 persen) dan pembiayaan non-utang sebesar Rp20,4 triliun (12,8 persen).
"Presiden memang punya banyak program, tapi itu semuanya didesain dalam APBN yang tetap prudent dan sustainable. Jadi ini yang menjadi anchor bagi kita untuk menyampaikan bahwa jangan kita semua menambah keresahan yang tidak perlu untuk hal-hal yang sebetulnya fundamentally masih baik," kata Sri Mulyani dikutip dari Antara, Rabu (9/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan pembiayaan berjalan sesuai jalur (on track), dengan biaya dana (cost of fund) yang tetap efisien dan risiko yang terus dimitigasi secara aktif.
Pemerintah juga tetap mengandalkan penerbitan utang neto secara regular, dengan realisasi saat ini masih dalam kisaran 30 persen dari total target pembiayaan utang neto APBN 2025.
Koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), lanjutnya, terus diperkuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan memitigasi tekanan di sektor keuangan.
Hal ini menjadi bagian dari strategi menjaga ketahanan fiskal di tengah berbagai ketidakpastian global.
Dari sisi belanja negara, pemerintah tetap menjaga ritme dan kualitas pengeluaran meski menghadapi kebutuhan program-program besar.
Menkeu menyampaikan, realisasi belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) hingga Maret mencapai Rp196 triliun, sedangkan belanja non-K/L sebesar Rp217 triliun yang mencakup subsidi dan pembayaran pensiun.
"Belanja kita masih on track meskipun banyak program besar yang Bapak Presiden telah sampaikan, kita tetap memantau secara detail," ungkapnya.
Ia menyebut belanja tahun ini relatif seimbang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terutama karena tahun lalu terjadi pembiayaan defisit di tahun awal (front loading) menjelang pemilu.
"Jadi masih comparable, masih cukup baik. Untuk pensiun tetap kita bayar, kemarin ada kenaikan pensiun plus THR kita tetap meningkatkan belanja, yaitu tumbuhnya 4 persen," tuturnya
