HEADLINE: MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman, Konsekuensi dan Dampaknya?

Putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari Ketua MK memberikan dampak dan konsekuensi. Apa kata pakar dan ahli dalam menanggapi putusan MK?

oleh Muhammad Ali diperbarui 09 Nov 2023, 00:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2023, 00:00 WIB
MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Terbukti Lakukan Pelanggaran Kode Etik
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memimpin jalannya sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ucapan syukur mengalir dari mulut Habiburokhman usai mendengar putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Wakil Komandan Echo Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, itu bahkan sempat melakukan sujud syukur.

Dia mengaku gembira lantaran upaya penggagalan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto melalui MKMK telah gagal.

"Tanggapi hasil keputusan MKMK. Alhamdulillah ya saya tadi juga sujud syukur. Ternyata wacana rencana untuk penggagalan Pak Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya Pak Prabowo gagal dengan menunggangi MKMK tadi ya," kata Habiburokhman saat jumpa pers di Sekber Relawan Prabowo-Gibran, Jakarta Barat, Selasa 7 November 2023 malam.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie memutuskan Ketua MK Anwar Usman telah melanggar kode etik berat. Paman dari Gibran ini pun dicopot dari jabatannya sebagai ketua MK.

Anwar dianggap melanggar kode etik karena turun campur dalam putusan MK terkait gugatan batas usia capres dan cawapres. Atas gugatan tersebut, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi cawapres di Pilpres 2024.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai langkah yang diambil MKMK tersebut adalah putusan yang progresif. Yang mana MKMK menampakkan pelanggaran etik menjadi forum yang terbuka dan dipahami dengan baik oleh publik.

"Langkah MKMK yang terbaik membaca juga realitas politik di internal MK. Mereka memilih untuk memberhentikan ketua MK dan tidak memilih memberhentikannya sebagai hakim karena memang problematikanya tidak hanya sekadar memberhentikan, tapi juga memastikan permasalahan ini diselesaikan secara tepat dan benar," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/11/2023).

Dia memastikan, putusan MK nomor 90 tersebut berlumuran masalah. Karena menurutnya, putusan itu diputuskan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik.

"Cuman dia (putusan Nomor 90 itu) tidak boleh secara hukum otomatis dibatalkan, harus ada proses lain. Dan biasanya di MK putusan itu diperbaiki dengan putusan yang baru. Dengan begitu akan jauh lebih baik prosesnya jadi tidak asal membatalkan sebab MKMK bukan atasan Mahkamah Konstitusi, MKMK adalah lembaga etik khusus untuk mengawasi atau memeriksa problematika etik konstitusi," terang Feri.

Dia menjelaskan, konsekuensi dari putusan MKMK tidak hanya terjadi dalam proses di MK saja. Namun juga menjalar ke KPU yang dianggap mengabaikan prosedur penyelenggaraan Pilpres 2024.

"Konsekuensinya kita ketahui ada masalah proses pencalonan Gibran, jadi tidak tunggal hanya di MK, tetapi juga di KPU yang kemudian mengabaikan prosedur perbaikan KPU terlebih dahulu, dan itu tidak dilakukan. Bahkan peraturan KPU itu diperbaiki setelah Gibran mendaftar. Jadi tidak cocok," ujar dia.

Sedangkan Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai putusan itu sebagai terobosan MKMK mengingat peraturan MK Nomor 1 tahun 2023 tidak mengenal pemberhentian ketua MK. Berdasar aturan itu, pemberhentian dengan tidak hormat diberikan terhadap hakim yang dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik.

"Kalau kita cermati putusan MKMK itu menimbang juga efektivitas pelaksanaan putusan dan kepentingan kepastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2024. Dan itu saya kira itu merupakan jalan tengah yang coba ditawarkan oleh MKMK," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/11/2023).

Satu sisi, dia menambahkan, pelanggaran etik berat ditegakkan tapi di sisi lain proses pemilu juga diupayakan untuk dijaga sedemikian rupa. Hal ini yang menjadi titik temu dari putusan MKMK meskipun ada dissenting opinion.

"Kalau saya sendiri sih melihat meskipun namanya dalam konteks efek jera kan hukuman terberat itu adalah pemberhentian dengan tidak hormat, tapi di sisi lain ada teknikalitas Pemilu yang membutuhkan keajekan pelaksanaan terutama pertimbangan teknis dari Prof Jimly cukup bisa dipahami," ujar dia.

"Jadi meskipun saya kira ini tidak memberikan harapan menjawab keinginan maksimal dari para pelapor, tapi ini jalan tengah maksimal yang bisa diberikan oleh MKMK dengan menimbang internal Mahkamah Konstitusi dan juga keajekan penyelenggaraan tahapan Pemilu," imbuh Anggota Dewan Pembina Perludem ini.

Titi mengungkapkan, konsekuensi dari putusan MKMK ini ialah Mahkamah Konstitusi dalam waktu segera harus melakukan pemilihan ketua baru. Selain itu, tidak melibatkan Anwar Usman dalam penyelesaian perselisihan hasil baik pileg, Pilpres, Pilkada yang punya potensi benturan kepentingan.

Ia menegaskan, putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari Ketua MK ini tidak mempengaruhi putusan 90/PUU-XXI/2023. Pengusungan Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024 tetap berjalan.

"Pencalonan Gibran tidak terpengaruh oleh putusan MKMK ini karena pada dasarnya kan tidak mengganggu sama sekali putusan Nomo 90 ya," ujar dia.

Titi mengungkapkan, ihwal MK yang menggelar sidang ulang soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun akan memberikan efek berbeda. Kalau pun perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 ini dikabulkan, MK akan memberlakukannya pada Pemilu 2029 mendatang.

"Selama ini pengalaman saya beracara di Mahkamah Konstitusi itu juga mempertimbangkan stabilitas dan kepastian pertimbangan stabilitas dan kepastian hukum tahapan Pemilu. Bahkan dalam putusan-putusan perkara yang kami uji MK, MK itu tidak serta-merta mengabaikan perkembangan penyelenggaraan tahapan Pemilu," dia menandaskan.

 

Infografis MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)

Sementara itu Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khairul Umam menilai keputusan MKMK yang memvonis pemberhentian Anwar Usman dari posisi Ketua MK merupakan pukulan telak terhadap legitimasi putusan MK, terkait syarat Capres-Cawapres yang menjadi "karpet merah" bagi Gibran untuk melaju di kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

"Memang putusan MKMK tidak akan bisa mengubah putusan MK terkait perkara Nomor 90. Prabowo-Gibran akan tetap bisa melaju secara sah sebagai pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024 mendatang," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/11/2023).

Majunya Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024 juga diperkuat dengan keluarnya PKPU No.23 tahun 2023 yang menggantikan PKPU No.19 tahun 2023. Yang mana pada Pasal 13, ayat 1 huruf R, telah mengakomodir putusan MK terkait syarat Capres-Cawapres terbaru.

"Namun demikian, putusan MKMK kemarin telah menegaskan adanya 'cacat etik' dalam aturan legal-formal yang dijadikan sebagai dasar hukum masuknya Gibran sebagai Cawapres. Hal ini tampaknya akan dimanfaatkan secara optimal oleh rival dan kompetitor politik Prabowo-Gibran untuk mendelegitimasi kredibilitas moral politik Prabowo-Gibran, menuju proses pencoblosan di Pemilu 2024 mendatang," kata dia.

Umam juga menilai, putusan MKMK yang menegaskan Anwar Usman terbukti telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam pengambilan putusan perkara nomor 90, berpeluang membuka kesempatan bagi sel-sel kekuatan politik PDIP dan fraksi dari partai lain di parlemen untuk menggunakan hak angketnya, terutama jika MKMK bisa membuktikan adanya pihak-pihak dari pemerintahan dan lingkaran kekuasaan yang mencoba mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam pengambilan putusan di MK tersebut.

"Sesuai UU MD3, Hak Angket memang tidak bisa menjadikan putusan MK sebagai objek investigasi, tetapi hak angket bisa digunakan untuk menginvestigasi keterlibatan aktor-aktor kekuasaan maupun administrasi pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan," ujar dia.

Ia mengingatkan, tim pemenangan Prabowo-Gibran harus mengantisipasi dan memitigasi situasi ini dengan baik. Sebab, hal ini akan dijadikan sebagai amunisi serangan secara sistematis oleh rival-rival politiknya.

"Karena itu, kemampuan untuk menggeser isu kontroversi dasar hukum putusan MK ke ranah perdebatan visi-misi Capres-Cawapres akan menjadi solusi untuk menghentikan serangan membabi buta yang akan mendegradasi kredibilitas pasangan Prabowo-Gibran dan juga kredibilitas pemerintahan Jokowi itu sendiri," ujar Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina, Jakarta.

Situasi ini, kata dia, tentu akan berdampak negatif pada elektabilitas Prabowo-Gibran. Tapi pihak Prabowo-Gibran bisa memanfaatkan celah di mana masyarakat politik Indonesia tidak banyak yang memiliki nalar kritis untuk mencerna isu-isu politik kenegaraan yang sensitif seperti ini.

"Dengan kata lain, kontroversi aturan MK ini terkesan menjadi "isu elit", bukan "isu publik atau isu rakyat". Karena itu, sejauh mana tarik menarik antara kubu Prabowo-Gibran dengan rival-rival politiknya dalam menggarap isu ini akan menentukan seberapa parah dampak elektoral dari isu ini terhadap pasangan Prabowo-Gibran," dia menandaskan.

Sedangkan Peneliti BRIN Firman Noor menilai putusan MK ini menggambarkan tentang adanya sikap hakim MK yang tidak saling sportif. Hakim MK ini dianggap tidak saling menguatkan integritas dan terkesan berjalan masing-masing.

"Saya kira di sinilah letak arti penting pimpinan. Jadi pimpinan dalam hal itu seharusnya memainkan peran untuk memupuk integritas, dan disilah letak politiknya. Kalau dia memang betul-betul hakim yang baik tidak terbukti banyak pelanggaran, tentu dia menjaga integritas politik itu," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/11/2023).

"Ternyata kan situasinya tidak kondusif. Dan ini terkait dengan posisi Anwar Usman gitu kan, sehingga ini dikaitkan kode etik karena punya keterkaitan politik dengan presiden. Dia membiarkan hal yang sebetulnya berbahaya karena terjatuh dalam lembah nepotisme itu terjadi," dia menambahkan.

Beda halnya jika perkara ini tidak terkait dengan hubungan darah. Anwar Usman tentu lebih profesional dan akan memupuk situasi kelembagaan antinepotisme. Karena itu, dia mengapresiasi putusan MKMK tersebut.

"Saya kira ini langkah baik karena setidaknya ke depan diharapkan ada situasi yang lebih kondisif di MK untuk menolak segala bentuk nepotisme. Mudah-mudahan nanti ketua yang baru akan menjadi sosok yang betul-betul mumpuni dalam banyak hal, khususnya dalam rangka etika dan bisa menularkan ke anggota hakim MK," kata Firman.

Dia menilai, situasi demokrasi Indonesia yang belum matang dimanfaatkan oleh pasangan Prabowo-Gibran. Ia menduga jika demokrasi Indonesia sudah kuat, maka pasangan tersebut tidak masuk dalam hitungan.

"Karena prosesnya sudah sangat nepotisme, tapi mereka berada dalam Indonesia yang demokrasinya masih berantakan begini, ini yang saya sampaikan, peluang itu tetap ada, walaupun sebetulnya secara legitimasi di mata kelas menengah, para intelektual, budayawan dan lain lain itu sudah tidak legitimate. Tapi berapa persen orang orang itu di tengah lautan orang Indonesia ratusan juta. Sehingga dia masih punya posisi yang untuk menang dan ini yang dikeker oleh para politisi di koalisi itu," ujar dia.

Infografis Ragam Tanggapan MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)

Anwar Usman: Jabatan Milik Allah

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyebut tak ingin ikut campur soal banyaknya desakan agar Anwar Usman mundur dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu merupakan urusan moral Anwar Usman sebagai hakim konstitusi.

"Itu terserah dia, itu sudah bukan urusan saya. Itu urusan moral dia," kata Mahfud kepada wartawan di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Dia sendiri mengapresiasi keberanian hakim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang berani memberi hukuman tegas kepada Anwar Usman. Padahal, Mahfud awalnya menduga Anwar Usman hanya akan dijatuhi teguran keras saja.

"Di luar ekspetasi saya sebenarnya. Bahwa MKMK bisa seberani itu. Dugaan saya paling teguran keras atau skors selama 6 bulan tidak mimpin sidang. Tapi ternyata diberhentikan dan tidak boleh mimpin sidang selama Pemilu. Itu bagus, berani," jelasnya.

Menurut dia, keputusan yang diambil Ketua MKMK yang diambil Jimly Asshiddiqie sudah tepat. Sebab, Anwar Usman bisa mengajukan banding apabila dijatuhi hukuman pemecetan dari Ketua MK maupun hakim konstitusi.

"Karena naik banding bukan hanya risiko tidak memberi kepastian tapi bisa saja hakim banding masuk angin. Makanya bagus itu Jimly itu. Salut lah," tutur Mahfud.

Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Presiden, Bane Raja Manalu turut menanggapi putusan  Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Bane menilai, Hakim MKMK setengah hati menjatuhkan sanksi pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, putusan MKMK itu juga membuktikan bahwa putusan MK mengenai batas usia minimal calon presiden dan calon Wakil presiden menjadi cacat moral.

"Ini bermula dengan proses yang salah, lalu berakhir dengan hasil yang buruk. Putusan MKMK juga membuat publik bertanya-tanya, pelanggaran etik berat yang dilakukan Ketua MK kok sanksinya setengah hati?" kata Bane dalam keterangan tertulis, Rabu (8/11/2023)

"Sekarang publik bertanya, mengapa putusan yang kelahirannya diwarnai pelanggaran etik berat tetap berlaku? Atau, apakah pasangan capres-cawapres yang berkaitan dengan itu tidak malu? Ini soal norma, kepantasan, dan integritas," sambung Bane.

Namun menurut Bane, putusan MKMK itu dapat menambah pertimbangan masyarakat untuk menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya. 

"Pada akhirnya masyarakat yang menilai, akan memilih pemimpin yang memiliki beban berat, atau memilih pemimpin yang bersih, jelas rekam jejaknya, dan bisa bekerja cepat menjadi pelayan masyarakat," pungkas caleg DPR RI dari dapil Sumatera Utara 3 tersebut.

Sementara itu, Juru Bicara Anies Baswedan, Surya Tjandra menilai, seharusnya bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto mengganti Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Karena putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melanggar etik terkait putusan syarat batas usia capres cawapres.

Surya menyindir Prabowo dinilai tidak mampu berkompetisi dengan baik tanpa dukungan Presiden Joko Widodo.

"Kalau jantan seharusnya Pak Prabowo segera mengganti cawapresnya, tetapi saya tidak yakin itu akan berani dilakukan. Tanpa dukungan presiden mungkin Pak Prabowo merasa tidak mampu berkompetisi dengan baik menghadapi capres lain," katanya kepada wartawan, dikutip Rabu (8/11/2023).

Sebab, menurut Surya, Prabowo dinilai tidak cukup percaya diri maju di Pilpres 2024 tanpa dukungan Jokowi. Sehingga harus menggandeng putranya, Gibran Rakabuming Raka yang memicu gugatan batas usia capres cawapres.

"Semua sengkarut MK ini awalnya adalah karena Pak Prabowo tidak cukup percaya diri maju capres tanpa dukungan Presiden Jokowi, sehingga harus memaksakan diri mengambil anak kandungnya sebagai cawapres, meski melanggar UU yang ada," kata Surya.

Putusan MKMK terhadap Anwar Usman ini dinilai putusan syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden itu bermasalah sejak awal. Surya berharap putusan MKMK mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK.

"Kami menghargai Putusan MKMK ini, yang membuktikan memang Putusan MK kemarin memang bermasalah sejak awalnya; semoga bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada MK yang beberapa waktu ini dirusak oleh Ketuanya," katanya.

Anwar Usman Dipecat dari Ketua MK

MKMK Putuskan Hakim Konstitusi Terbukti Lakukan Pelanggaran Kode Etik
MKMK menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada enam hakim konstitusi lantaran terbukti melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Anwar Usman, terkait putusan uji materiil batas usia capres-cawapres.

“Hakim Terlapor terbukti melakukan pelangaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpinakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor,” sambungnya.

Jimly menjelaskan alasan tidak memberhentikan dengan hormat Anwar Usman dari hakim konstitusi. Ia menegaskan, jika keputusannya adalah diberhentikan tidak dengan hormat, ada peluang Anwar Usman mengajukan banding. Sehingga tidak ada ketidakpastian hukum jelang pemilu 2024.

"Kalau sanksinya adalah sebagaimana ditentukan PMK pemberhentian tidak hormat dari anggota maka itu di haruskan diberi kesempatan untuk majelis banding," kata Jimly.

"Yang majelis banding dibentuk berdasarkan MKMK itu, nah membuat putusan Majleis Kehormatan tidak pasti sedangkan kita sedang menghadapi proses persiapan pemilihan umum yang sudah dekat," terangnya.

Sedangkan, bila diberhentikan dari jabatan Ketua MK, maka keputusan langsung berlaku pada hari ini Selasa (7/11/2023), dan penggantian ketua MK mesti dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam.

"Sehingga kepastian hukum jelang Pemilu 2024 akan didapat," jelas Jimly.

Jimly menambahkan, jika pun MK mengubah putusan nomor 90/PUU-XXI/ 2023 tentang syarat usia capres-cawapres maka baru bisa diterapkan pada Pemilu 2029.

"Tentu saja permainan sudah jalan, aturan main kalau misalnya diubah melalui putusan MK berlaku untuk pertandingan berikutnya 2029," ucapnya.

"Kalau yang sekarang ini sudah jalan pertandingannya, dan ini perlu saya sampaikan untuk pihak pihak biar ada kepastian," kata Jimly.

Jimly juga memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan itu selesai diucapkan, untuk segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir,” katanya.

“Hakim Terlapor tidak diperkenankan teribat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilhan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilhan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” sambung Jimly.

Selain itu, Jimly juga menegaskan, pihaknya tidak dapat mempengaruhi hasil putusan MK terkait uji materiil batas usia capres-cawapres. 

“Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” tutur Jimly.

Hal itu dalam rangka menjawab dalil gugatan terhadap Ketua MK Anwar Usman, yang menyatakan putusan uji materiil batas usia capres-cawapres semestinya dianulir oleh MKMK lantaran hakim konstitusinya terbentur pelanggaran etik.

“Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusti,” jelas dia.

Jimly juga mengatakan pihaknya tidak menemukan cukup bukti bahwa Anwar Usman selaku Ketua MK memerintahkan adanya pelanggaran prosedur dalam pembatalan pencabutan permohonan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 perihal batas usia capres-cawapres yang akhirnya dikabulkan MK.

Namun begitu, Anwar Usman terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3.

“Hakim Terlapor sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti tidak menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optimal, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Penerapan angka 5,” Jimly menandaskan.

Tanggapan Anwar Usman

Anwar Usman
Hakim Konstitusi Anwar Usman saat jumpa pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). (Muhammad Radityo Priyasmoro).

Anwar Usman merespons putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan dirinya melakukan pelanggaran etik berat dan dijatuhi sanksi diberhentikan dari jabatan Ketua MK.

"Kan saya sudah bilang, jabatan milik Allah," kata Anwar Usman kepada awak media di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8/11/22023).

Dia mengatakan tidak ada komentar khusus perihal putusan MKMK tersebut. Dia menilai, pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merupakan skenario untuk membunuh karakternya.

"Sesungguhnya, saya mengetahui dan telah mendapatkan kabar bahwa upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek di dalam berbagai Putusan MK dan Putusan MK terakhir, maupun tentang rencana Pembentukan MKMK, telah saya dengar jauh sebelum MKMK terbentuk," kata Anwar saat konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (8/11).

Meski sudah mengetahui skenario itu, Anwar mengklaim dirinya tetap berbaik sangka. Ia pun tak masalah jika kini dirinya tak lagi menjabat sebagai Ketua MK.

"Tidak ada ada selembar daun pun yang jatuh di muka bumi, tanpa kehendak-Nya dan sebaik-baik skenario manusia tentu, jauh lebih baik skenario Allah SWT," ujar Anwar.

"Saya yakin dan percaya, bahwa di balik semua ini, InsyaAllah ada hikmah besar yang akan menjadi karunia bagi saya, keluarga besar saya, sahabat, dan handai taulan, dan khusus bagi Mahkamah Konstitusi, nusa dan bangsa," tambah Anwar.

Anwar pun juga tetap melakukan tanggung jawabnya sebagai Ketua MK saat itu untuk membentuk MKMK.

"Meski saya mengetahui tentang rencana dan adanya skenario terhadap diri saya melalui Pembentukan MKMK, saya tetap memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua MK, untuk membentuk Majelis Kehormatan MK," ucap Anwar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya