HEADLINE: Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran, Plus-Minusnya?

Wacana penambahan menteri Kabinet Prabowo-Gibran menjadi 40 pos kementerian menuai pro-kontra. Langkah itu dianggap sebagai politik dagang sapi untuk mengakomodasi parpol koalisi.

oleh Muhammad Ali diperbarui 09 Mei 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2024, 00:00 WIB
Calon presiden (Capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto
Calon presiden (Capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto menggelar acara Silaturahmi Kebangsaan dengan 1.600 muslimat NU Jawa Timur dan para relawan di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Sabtu, (2/3/2024). (Dok. Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos mencuat usai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Rama memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Kabar ini dibenarkan Gerindra, partai penyokong utama pasangan nomor dua.  Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.

Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono menilai, rencana penambahan kementerian ini akan menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Kursi menteri yang diisi kader parpol disebut sebagai bentuk akomodasi politik dibanding fungsi keahlian dalam memilih kabinet.

Namun begitu menurutnya, penambahan kementerian atau lembaga ini akan menyalahi aturan yang ada. Kabinet yang gemuk akan membuat kinerja pemerintahan tidak efektif.

"Karena kan kalau mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 maksimum 34. Salah satu misi pembuatan undang undang itu kan tidak terlalu banyak karena dianggap nantinya menekankan segi politik, ya akan ada banyak inefficiency. Sepertinya memang pemerintahan Pak Prabowo mengutamakan akomodasi politik," terang dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).

Dia memaparkan, jika mengaca pada negara maju seperti Amerika Serikat, jumlah menterinya terbilang ramping. Jumlahnya yang hanya 15 orang itu disebutnya dapat berjalan secara efektif.

"Kalau kita mengacu pada negara maju misalnya di Amerika Serikat, jumlah secretary-secretary, setingkat menteri, itu hanya 15 orang. Yang hanya setingkat menteri itu totalnya 25, termasuk wakil presiden. Ini kan negara maju dengan kompleksitas masalah yang sebenarnya mirip-mirip Indonesia, bahkan bentuknya lebih dari Indonesia, tetapi jumlah kabinetnya bisa efisien," ujar dia.

Bila dilihat dari sisi konstitusi, ia menambahkan, Indonesia memegang sistem parlementer. Namun dalam praktiknya, menggunakan sistem presidential semi parlementer.

"Kita kan sebenarnya presidential semi parlementer. Walaupun di konstitusi kita presidential, tapi fakta ada akomodasi beberapa partai politik di kabinet itu menunjukkan ada unsur parlemen juga. Kalau kita mau mengacu pada parlementer murni, di Inggris misalnya. Kalau saya baca di inggris, ya jabatannya yang manajerial yang mengepalai semua departemen itu 24 pejabat. Ini menunjukkan bahwa di negara maju pun yang menganut sistem parlementer kabinetnya cukup baik," ujar dia.

Ia pun mengungkapkan sisi positif dan negatif jika kabinet Prabowo-Gibran bertambah jadi 40 kementerian. Menurutnya, kelebihan dari kebijakan tersebut ialah sebagai bentuk akomodasi politik dan respresentasi parpol yang mayoritas ada di kabinet.

"Stabilitas politik akan terjaga sebab semakin besar koalisi, kondisi politik terutama di DPR (terjaga). Semua kebijakan kemungkinan besar akan lolos," ujar dia.

Sementara sisi minusnya, akan memungkinkan terjadinya overlapping dalam tugas kementerian. Dia mengatakan, akan ada persaingan pengaruh pada kebijakan yang orientasi pada elite ketimbang rakyat banyak.

"Yang perlu diperhitungkan oleh Pak Prabowo, mumpung masih ada waktu sampai 20 Oktober, beliau kan suka berkunjung ke luar negeri, sebagai presiden terpilih beliau bisa pelajari, bagaiamana negara maju komposisinya seperti apa, motivasinya seperti apa. Supaya begitu langsung kabinet, setidaknya memiliki kabinet yang kohesif, karyanya mumpuni, kompetensinya tinggi, yang penting team worknya berjalan," terang Vishnu.

Menurut dia, tidak ada korelasi antara penambahan kabinet dengan peningkatan layanan publik. Karena bisa jadi penambahan kabinet bakal mengganggu pelayanan publik.

"Misalnya ada kementerian yang dipecah, hal yang simple pembuatan kop surat, kemudian pemindahan personel, nomenklatur struktural organisasi (berubah). Kadang bisa membutuhkan satu tahun bahkan lebih, sehingga pelayanan malah terganggu," ujar dia.

Adapun menurut Pengamat politik Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, wacana komposisi hingga 40 pos yang disusun oleh Presiden terpilih terlalu berlebihan. Ini tentunya akan membuat gerak pemerintah makin lambat mengingat alur birokrasi kian panjang.

"Komposisi semacam ini cenderung mengakomodasi kepentingan politik dibanding soal laju pembangunan. Akan jauh lebih baik dan diperlukan jika pemerintah lakukan restrukturisasi kementerian di tingkat daerah, saat ini tidak semua kementerian miliki garis struktur yang lengkap hingga ke daerah," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).

Menurut dia, banyaknya pos yang dibentuk Presiden akan menjadi ajang pembagian kekuasaan tim sukses di Pilpres dan juga Partai pengusung. Selain menghabiskan banyak anggaran, juga akan terancam minim kerja.

"Justru, Prabowo seharusnya menghapus banyak pos kementerian dan badan yang tidak diperlukan, misalnya saja menghapus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk menghapus Menko PMK. Lalu menghapus badan semisal Badan Siber, Ristek dilepas dari Kemendibud dan melebur ke BRIN," ujar dia.

Dalam situasi saat ini, dia menilai, Menteri Desa dan Transmigrasi pun sudah layak dihapus. Kegiatan transmigrasi dan kesejahteraan Desa menjadi tanggung jawab banyak kementerian semisal Kemendagri dan Kemensos.

"Begitu halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilebur menjadi satu dengan Kementerian Pertanian," ujar dia.

Dedi menuturkan, menteri hanya bertugas lakukan koordinasi, bukan event organizer. Sehingga tidak terbatas wilayah jangkauannya, karena hanya fokus pada tata kelola administratif.

Menurutnya, rencana itu bakal mudah dilakukan mengingat undang-undang yang mengatur hal tersebut dapat saja diubah. Perubahan undang-undang sudah pernah terjadi dalam memuluskan langkah Gibran sebagai calon wakil presiden.

"UU dengan mudah diubah, jika Gibran dengan mudah masuk kontestasi di Pilpres dengan mengubah UU, tentu akan mudah juga untuk memenuhi keinginan Prabowo-Gibran membuat keputusan anggota kabinet lebih dari 34. Soal reputasi kebijakan, pemerintah sudah banyak dinilai negatif, tetapi kesan negatif itu tidak membuat pemerintah mengevaluasi," Dedi menandaskan.

Infografis Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Pengamat Politik dari Populi Center Usep Saepul Ahyar mengungkapkan, penambahan jumlah kursi kabinet merupakan sebagai bentuk konsekuensi Prabowo dalam mengakomodasi hasrat politik parpol koalisi. Menurutnya, langkah itu bisa saja dilakukan dengan mengubah undang-undang. Namun alangkah baiknya bila tim menjabarkan argumentasinya secara terang benderang hingga publik memahaminya dengan jelas.

"Kita belum mendengar argumentasi yang dilontarkan oleh tim perumus yang punya gagasan penambahan menteri ini. Itu yang tidak terlalu mengemuka," kata Usep kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).

Usep menegaskan sulit untuk tidak mengatakan tidak ada kepentingan akomodasi politik dalam penambahan pos kementerian tersebut. Namun dia mengingatkan, rencana kebijakan itu dapat menimbulkan dampak jalannya roda pemerintahan.

"Kalau ada penambahan (kementerian) prosesnya agak panjang, akhirnya mengubah undang-undang, beberapa nomenklatur juga diubah. Pengalaman yang lalu kan misalnya ada kementerian yang diubah era Gus Dur, tidak terlalu efektif pemerintahannya," jelas dia.

Usep berpandangan Prabowo seharusnya memikirkan untuk mengefektifkan kementerian yang ada dengan penempatan orang-orang yang ahli di bidangnya. Bukan orang politik yang harus diakomodasi karena kepentingan politiknya.

"Akhirnya kalau kepentinganannya lebih kental soal akomodasi politik, akhirnya pertanyaannya dia punya keahlian apa duduki jabatan ini," ucapnya.

Dia menegaskan, langkah ini akan memperbesar anggaran pemerintah. Itu lantaran Prabowo menempatkan pejabat baru beserta fasilitasnya.

"Itu konsekuensi pasti ada, di tengah ada anggaran yang seharusnya diprioritaskan pada persoalan pembangunan yang masih tertinggal, infrastruktur atau pun layanan lain yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan persoalan pejabat," kata dia.

"Yang ada saja kurang optimal, beberapa kementerian itu seharusnya dioptimalkan dalam konteks ini. Saya kira secara teknis kalau hanya soal makan gratis sebenarnya itu kan bisa berada di bawah satu kementerian, mungkin bisa dikoordinasikan semua kementerian itu, apa gunanya Menko, Wakil Presiden untuk mempercepat program pembangunan yang ada," kata dia.

Usep menduga saling tarik kursi menteri kabinet hingga penggelembungan jumlah kementerian atau lembaga menunjukkan komunikasi yang dibangun internal koalisi berjalan tidak baik. Dalam koalisi gemuk, akan banyak hasrat dan keinginan tertentu dari masing masing parpol.

"Komunikasi politik (buruk) bisa iya. Ini konsekuensinya, banyak koalisi yang dimasukkan tentu keinginannya masing-masing punya prasyarat yang harus diakomodasi Pak Prabowo. Ini kan elite elite semuanya mau diakomodasi pemerintahan dengan cara menghabiskan anggaran. Tidak efektif. Itu kan urusan elite, bukan kepentingan rakyat. Rakyat dikedepankan, itu menurut saya yang ditangkap dari konsolidasi politik Pak Prabowo selama ini," dia menandaskan.

Adapun Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menjelaskan, bahwa wacana Calon Presiden RI terpilih Prabowo Subianto yang akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kursi, harus mengubah regulasi yang ada.

"Regulasi harus diubah. Suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi, Rabu (8/5/2024).

Hal ini bertolak belakang dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan jumlah kementerian untuk meningkatkan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jika untuk kemajuan bangsa, anggaran harus dialokasikan, kecuali untuk kepentingan yang tidak bermanfaat, ceritanya berbeda," ujarnya.

 
Infografis Ragam Tanggapan Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Ma’ruf Amin Sebut Jumlah Kementerian Saat Ini Sudah Ideal

Tawa Jokowi dan Prabowo di Istana Merdeka
Presiden Joko Widodo tertawa saat menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Dalam pertemuan tersebut mereka membahas permasalahan bangsa dan koalisi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai penambahan kementerian/lembaga menjadi 40 merupakan otoritas dari presiden terpilih. Namun begitu, menurutnya, jumlah menteri saat ini sudah cukup. 

“Sekarang ini kan 34 (kementerian) itu cukup ideal,” kata Ma’ruf di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (7/5/2024).

Meski demikian, Ma’ruf mengatkan rencana penambahan jumlah kementerian/ lembaga bisa saja dilaksanakan apabila dirasa perlu. “Tapi bisa saja lebih daripada itu (34),” kata Ma’ruf.

“Kalau ada keperluan mungkin bisa lebih daripada itu,” sambungnya.

Terkait dengan latar belakang calon, Ia memberikan masukan kepada pemerintahan berikut. Ia menilai kabinet harus tetap diisi oleh kalangan profesional.

“Saya kira pasti tentu harus diisi kalangan profesional,” kata Ma’ruf.

Ma’ruf menjelaskan, tokoh profesional tersebut dapat berasal dari kalangan partai politik ataupun nonpolitisi, baik tokoh profesional murni maupun tokoh organisasi masyarakat (ormas).

“Cuma profesionalnya bisa dia merepresentasikan partai-partai politik, bisa juga yang lainnya. Nanti tergantung tentu negosiasinya,” sebutnya.

Sementara itu, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla menilai wacana Prabowo Subianto akan menambah jumlah nomenklatur kementerian menjadi 40 dapat disesuaikan dengan kebutuhan. JK menilai, pembentukan kementerian harus sesuai program kerja, agar efektif dalam menjalankan program pemerintah.

"Jadi tergantung kebutuhan lah, pemerintah itu, jangan liat kementerianya dulu, programnya apa, nah dari progran itu disusun organisasinya bukan subkoordinasinya dulu, apa yang mau dikerjakan baru disusun organisasinya," kata JK di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa, (7/5/2024).

"Kalau organisasinya membutuhkan 40 ya silakan, tapi kalau cukup 35-34 cukup (kementerian), bisa digabung sebenarnya," sambungnya.

JK mengatakan, sebenarnya Indonesia pernah mempunyai 100 kabinet di era Soekarno. Namun, Ia menilai semakin banyak orang, semakin kental unsur politiknya.

Menurut eks Ketum Golkar ini, jumlah kementerian yang ada sekarang sudah ideal sebanyak 34.

"Tergantung program kabinetnya, kalau programnya gini itu disesuaikan, tapi 34 itu sudah dihitung perhitungan yang ada, pernah kita 100 menteri itu hanya politis amat, memberikan kesempatan semua orang tapi gak bisa jalan, artinya 34 okelah," ujarnya.

JK pun tak menepis jika pembentukan 40 kementerian dinilai sangat politis. Dia berkata, kabinet tersebut bukan lagi zaken kabinet atau yang diisi kalangan profesional.

"Itu artinya bukan lagi kabinet kerja itu namanya, bukan zaken kabinet, tapi kabinet yang sangat politis," ungkap dia.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyerahkan kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto soal rencana menambah kementerian di pemerintahan ke depan. Jokowi mengaku tak memberi masukan kepada Prabowo soal penambahan kementerian.

"Kabinet yang akan datang ditanyakan dong kepada presiden terpilih. Tanyakan kepada presiden terpilih. Tanyakan pada presiden terpilih," kata Jokowi kepada wartawan di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi, Depok, Jawa Barat, Selasa (7/5/2024).

"Enggak ada (masukan), enggak ada," sambungnya.

Kendati begitu, dia sepakat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan agar Prabowo tak membawa orang toxic ke pemerintahannya.

"Udah bener dong. Bener, bener," tutup Jokowi.

 

Gerindra Sebut Bukan Bagi-Bagi Jatah Politik

Habiburokhman
Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra, Habiburokhman saat memberikan keterangan pers di Kantoor DPP Gerindra, Jakarta, Rabu (8/11/2017). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman menyatakan sepakat dengan wacana Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan akan menambah jumlah kementerian lembaga menjadi 40.

"Kalau memang ingin melibatkan banyak orang menurut saya enggak masalah, justru semakin banyak semakin bagus kalau saya pribadi,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (6/5/2024).

Habiburokhman mengaku tak masalah bila kementerian menjadi gemuk, menurutnya Indonesia negara besar sehingga membutuhkan banyak orang untuk membangunnya.

"Kalau gemuk dalam konteks fisik orang per orang itu kan tidak sehat, tapi dalam konteks negara jumlah yang banyak itu artinya besar, besar justru bagus, negara kita kan negara besar, tantangan kita besar, target kita besar, wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar,” ungkap dia.

Menurut Habiburokhman, pengembangan jumlah Kementerian bukan berarti hanya untuk bagi-bagi jatah ke partai politik. Meski demikian, ia menyatakan masukan dari masyarakat akan tetap menjadi pertimbangan.

"Itulah kesalahan berpikir, dan enggak apa-apa jadi masukan bagi kami jangan sampai hanya untuk mengakomodir kepentingan politik, masukan masyarakat kami terima,” kata dia.

Meski demikian, Habib mengingatkan bahwa kewenangan membentuk kabinet hanya ada di tangan Prabowo selaku presiden terpilih.

"Tapi itu tadi kewenangan membentuk kabinet, formasi berapa, jumlah berapa itu secara substansi itu ada di Pak Prabowo sebagai presiden elected. Apakah besar tidak efektif ya pertimbangan beliau. Karena yang akan terima rapor dari rakyat beliau,” pungkas dia.

Mantan capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo juga menanggapi wacana Prabowo-Gibran yang akan menambah jumlah kementerian menjadi 40. Menurutnya, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam aturan tersebut, jumlah kementerian paling banyak berjumlah 34.

"Setahu saya undang-undang itu sudah membatasi jumlahnya. Maka kalau lebih dari itu pasti tidak cocok atau tidak sesuai dengan undang-undang," kata Ganjar, kepada dikutip dari merdeka.com Rabu (8/5/2024).

Ganjar mengingatkan, terkait 'politik akomodasi' jangan sampai melanggar UU. Ganjar meyakin, Prabowo-Gibran akan bijak dalam menyelesaikan persoalan 'politik akomodasi'.

"Maka kalau mau mengakomodasi dari kelompok-kelompok yang sudah mendukung tentu tempatnya tidak di situ. Saya kira pasangan terpilih pasti bisa sangat bijaksana bisa menentukan," ucap dia.

Ganjar pun menyarankan agar kabinet yang akan dibentuk Prabowo-Gibran menggunakan sistem zaken atau kabinet ahli.

"Maka yang paling bagus kabinetnya adalah zaken kabinet atau kabinet ahli dan efisien yang bisa merespons perubahan global yang sekarang sangat turbulance building," kata Ganjar.

"Saya kira itu yang penting untuk dilakukan pada pemerintahan ini. Maka kita akan melakukan dukungan dengan cara mengontrol agar kemudian jalannya pemerintah jauh lebih baik," tambah 

Infografis Prabowo-Gibran Mulai Bahas Susunan Kabinet

Infografis Prabowo-Gibran Mulai Bahas Susunan Kabinet. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Prabowo-Gibran Mulai Bahas Susunan Kabinet. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya