Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan SPSI Tolak UU P2SK

Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP KEP SPSI) menolak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

oleh Fachri pada 04 Jun 2024, 11:00 WIB
Diperbarui 04 Jun 2024, 11:00 WIB
SPSI.
Forum Group Dicusion (FGD) oleh perwakilan perangkat organisasi SP KEP SPSI dari seluruh Indonesia di Wisma Abdi-Bogor, 28-29 Mei 2024. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP KEP SPSI) menolak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), khususnya terkait Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun.

"Setelah dikaji bersama, kami sepakat menolak undang-undang P2SK tersebut, karena undang-undang itu sangat merugikan para tenaga kerja peserta program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS ketenagakerjaan," kata Ketua PP FSP KEP SPSI, R Abdullah dalam siaran pers yang diterima, Selasa (4/6/2024).

Ia menegaskan, lahirnya UU P2SK terutama Bab tentang JHT dan JP dapat diartikan bahwa negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada pekerja atas risiko sosial, justru mengambil alih pengelolaan uang simpanan pekerja untuk penguatan keuangan negara.

"Seluruh perangkat SP KEP SPSI akan melakukan aksi penolakan dengan tema Batalkan dan kelarkan bab JHT dan JP BPJS TK di UU P2SK, para pekerja akan menarik dana peserta BPJS ketenagakerjaan," tegas Abdullah.

"Jaminan Kesejahteraan Sosial telah menjadi komitmen nasional yang diamanatkan secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya," jelasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Sebagai State Obligation

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Sebanyak 500 buruh dari DPD FSP LEM SPSI Jawa Timur melakukan aksi unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), Kamis, (22/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Abdullah mengungkapkan bahwa penyelenggaraan Jaminan Kesejahteraan Sosial melekat sebagai “state obligation” yang dilaksanakan untuk kepentingan seluruh rakyat, terutama bagi warga yang tidak mampu miskin dan mengalami masalah kesejahteraan sosial.

"Dalam hal ini, tentu Serikat Pekerja sebagai salah satu elemen tripartit yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk selalu terlibat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan di bidang ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja dalam rangka memaksimalkan perlindungan bagi pekerja," ungkapnya.

Sebelumnya, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyebut, wacana pemerintah yang membuka peluang bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) ikut mengelola dana Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) adalah tidak tepat.

"Ini akan merugikan buruh dan hasil survei mengatakan, pekerja menolak karena Pasal 58 PP No. 35 Tahun 2021, lalu karena banyak DPPK/DPLK yang bermasalah, DPPK atau DPLK merupakan asuransi komersial yang tidak mengikuti sembilan prinsip SJSN, sedangkan Program JHT dan JP harus mengacu pada sembilan prinsip SJSN," sebutnya.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya